Menjawab Keraguan Perdagangan Bebas Lewat Sejarah

Indra Sanada Sipayung
Suami dan Ayah, Abdi Negara, Good Samaritans & Bedroom Musician.
Konten dari Pengguna
24 Februari 2019 20:50 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indra Sanada Sipayung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penulis (tengah) ketika merundingkan perjanjian dagang Indonesia - EU Comprehensive Partnership Agreement (IEUCEPA) Working Group on Investment
zoom-in-whitePerbesar
Penulis (tengah) ketika merundingkan perjanjian dagang Indonesia - EU Comprehensive Partnership Agreement (IEUCEPA) Working Group on Investment
ADVERTISEMENT
Globalisasi tengah menghadapi tekanan proteksionisme. Amerika Serikat yang merupakan penggagas perdagangan bebas melalui Washington Consensus justru membatalkan perjanjian dagang Trans-Pacific Partnership (TPP) dan saat ini mengancam tatanan ekonomi dunia melalui perang tarif. Britania Raya (Inggris) yang melahirkan dan membesarkan Adam Smith, pelopor ekonomi liberal, justru saat ini berada dalam proses perceraian dengan Uni Eropa (Brexit). Lalu kita bertanya, jika Amerika Serikat dan Inggris saja yang merupakan ‘nabi’ pengusung perdagangan bebas saat ini sudah menjadi proteksionis, bagaimana dengan Indonesia? Tulisan ini berupaya menjawab pertanyaan tersebut melalui pendekatan sejarah.
ADVERTISEMENT

Revolusi Industri dan Perang Dunia I

Perdagangan bebas dimulai pada masa revolusi industri yakni tahun 1846 ketika Inggris mencabut Corn Law dan membebaskan tarif untuk impor produk benih tanaman. Momen tersebut menandai penerimaan liberalisme ekonomi di Eropa menggantikan merkantilisme. Pada tahun 1860, Perancis dan Inggris menandatangani perjanjian dagang pertama yang bernama Cobden-Chevalier Treaty. Perjanjian tersebut memberikan pengurangan tarif resiprokal untuk produk manufaktur Inggris dan produk minuman anggur Perancis sehingga berhasil meningkatkan perdagangan kedua negara dua kali lipat. Negara-negara Eropa lain kemudian berlomba mendapatkan preferensi tarif yang sama dengan Perancis dan Inggris hingga akhirnya dalam periode tersebut terjadi proliferasi perjanjian dagang antara negara-negara di benua Eropa dan Amerika.
Namun demikian, situasi berubah ketika terjadi krisis ekonomi berkepanjangan (Long Depression) pada periode 1873 – 1896. Perancis membatalkan perjanjian Cobden-Chevalier guna menstabilkan neraca pembayaran akibat impor benih yang terlalu tinggi. Italia menaikkan tarif sampai dengan 60% guna melindungi industri domestik dari eksportir Perancis. Perancis membalas dengan mengeluarkan Meline Tariff Act pada tahun 1892 yang akhirnya menimbulkan perang dagang Italia – Perancis. Jerman yang industrinya sedang berkembang pesat mengalahkan Inggris juga menjadi korban kebijakan proteksionis Amerika Serikat melalui McKinley Tariffs. Perang dagang tidak dapat dihindari dan semakin memperburuk resesi ekonomi global. Tanpa disadari, kondisi ini juga mendorong Jerman, Italia dan Austria-Hungaria untuk membentuk aliansi perdagangan yang akhirnya berubah menjadi Triple Alliance dan melatarbelakangi terjadinya Perang Dunia I.
ADVERTISEMENT
Pasca berakhirnya Perang Dunia I, Jerman sebagai negara yang kalah diwajibkan untuk membayar ganti rugi perang kepada negara-negara sekutu berdasarkan Treaty of Versailles. Total ganti rugi yang harus dibayarkan Jerman sebesar US$ 442 milyar. Ekonomi Jerman yang saat itu baru porak poranda akibat perang jelas tidak mampu membayar. Jerman kemudian mendapatkan pinjaman luar negeri dari Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.

Great Depression dan Perang Dunia II

Pada tahun 1930, muncul kembali krisis ekonomi yang lebih dahsyat di Amerika Serikat yang dikenal dengan Great Depression. Krisis yang bermula dari kejatuhan bursa saham Wall Street akhirnya meluas pada penurunan daya beli masyarakat, kehancuran sektor industri dan ritel, peningkatan pengangguran serta kredit macet perbankan. Guna mengatasi krisis ekonomi, Amerika Serikat kembali mengeluarkan kebijakan proteksionis pada tahun 1930 melalui Smoot-Hawley Tariff Act yang menaikkan bea masuk impor sebesar 50%. Tindakan Amerika Serikat tersebut direspon buruk oleh negara-negara Eropa. Spanyol, Italia dan Swiss langsung membalas dengan menaikkan tarif sehingga mengakibatkan impor barang dari Amerika Serikat menurun tajam hingga 40%. Inggris bahkan dengan sengaja menurunkan mata uangnya agar dapat unggul berkompetisi dengan negara lain dalam perang dagang. Alih-alih memulihkan ekonomi dunia, kebijakan proteksionis justru kembali memperburuk krisis ekonomi global.
Koran lokal New York (1930) memberitakan penandatanganan Smot-Hawley Tariff Act. Sumber: www.armstrongeconomics.com
Ironisnya, korban utama dari krisis ekonomi dan kebijakan proteksionis ini lagi-lagi adalah Jerman. Ekonomi Jerman yang tadinya mengandalkan ekspor barang ke Amerika Serikat untuk menutupi defisit impor bahan baku menjadi terhambat oleh keberadaan Smoot-Hawley Tariff Act. Jerman yang juga tergantung pada pinjaman perbankan untuk membayar hutang juga terpaksa harus menggigit jari akibat runtuhnya sistem perbankan di Eropa dan Amerika. Negara-negara sekutu yang saat itu dilanda kesulitan ekonomi menuntut bank-bank di Jerman untuk segera membayarkan tunggakan hutang luar negerinya. Ekonomi Jerman saat itu tidak mampu untuk menahan laju penarikan dana dan modal sehingga pada tahun 1931, hampir seluruh perbankan di Jerman rontok, termasuk dua bank besar yaitu Creditanstalt dan Darmstädter. Kondisi ini menyebabkan krisis ekonomi besar-besaran di Jerman, yang ditandai dengan hiperinflasi, angka pengangguran yang masif dan penurunan daya beli masyarakat. Kepercayaan masyarakat Jerman terhadap pemerintahan incumbent Jerman saat itu merosot tajam hingga akhirnya partai oposisi Nazi di bawah kepemimpinan Adolf Hitler, berhasil memenangkan pemilu pada tahun 1933. Selanjutnya, sejarah menyaksikan meletusnya Perang Dunia II.
Adolf Hitler berhasil mencuri hati rakyat Jerman melalui kebijakan populis dan proteksionis. Sumber: thetimes.co.uk

Bretton Wood System, GATT dan WTO

Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, negara-negara Eropa dan Amerika menyadari bahwa untuk menghindari krisis ekonomi dan terulangnya perang dunia adalah dengan melaksanakan perdagangan bebas serta menghindari kebijakan ‘beggar thy neighbor’ seperti proteksionisme dan devaluasi mata uang yang hanya menguntungkan diri sendiri namun menghancurkan negara mitra dagang. Untuk itu, pada bulan Juli 1944, negara-negara sekutu berkumpul di Bretton Woods, Amerika Serikat dan menyepakati dibentuknya dua badan dunia yaitu; 1) Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengawasi stabilitas nilai tukar dan aliran dana finansial; dan 2) Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) untuk membantu pembiayaan rekonstruksi negara-negara Eropa pasca Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
Tidak lama setelah Perang Dunia II berakhir, 23 negara berkumpul di Jenewa, Swiss pada tahun 1947 dan menyepakati penghapusan kebijakan proteksionisme melalui perjanjian perdagangan multilateral yang dikenal dengan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). GATT berhasil menurunkan tarif bea masuk rata-rata negara-negara anggota dari 40% menjadi 22%. Selain itu, GATT juga menerapkan aturan non-diskriminasi sehingga negara anggota tidak boleh membedakan perlakuan tarif antara barang impor dengan barang lokal (national treatment) maupun antara barang impor satu negara dengan negara lain (most-favoured nation treatment). Namun negara perumus GATT gagal membentuk organisasi perdagangan dunia (ITO) yang kandas akibat Kongres Amerika Serikat menolak meratifikasi perjanjian pembentukan ITO.
Di sisi lain, Perang Dunia II juga melahirkan negara-negara baru, termasuk Indonesia. Negara-negara baru ini bercita-cita membangun industri dalam negeri yang dapat berkompetisi dengan industri negara maju. Namun sebagai entitas yang baru merdeka, negara-negara ini tentu tidak memiliki kemampuan finansial maupun teknologi untuk membangun industri tersebut. Negara-negara baru ini kemudian berusaha memaksa pelaku usaha di negara maju untuk datang membangun industri langsung di negara tersebut dengan cara mengenakan tarif setinggi-tingginya (tariff jumping) sehingga pelaku usaha tersebut tidak dapat mengekspor barangnya ke negara berkembang karena akan menyebabkan harga barang impor menjadi mahal dan tidak kompetitif.
ADVERTISEMENT
Kebijakan tariff jumping pada awalnya cukup efektif memaksa investor asing untuk datang ke negara berkembang melalui skema penanaman modal langsung (FDI) guna menghindari pengenaan tarif yang tinggi. Situasi ini yang mendorong negara-negara berkembang untuk tetap memberlakukan tarif yang tinggi sampai dengan 40% meskipun telah bergabung dengan GATT. Dalam perjalanannya, negara-negara berkembang dihadapkan pada permasalahan ketersediaan bahan baku untuk industri di dalam negeri. Investor asing di sektor otomotif misalnya, membutuhkan bahan baku elektronika yang belum dapat disediakan oleh pengusaha lokal negara berkembang saat itu. Sebagai gantinya, investor asing tersebut terpaksa harus mengimpor bahan baku dari luar dengan tarif yang tinggi akibat kebijakan tariff jumping. Negara berkembang akhirnya mengalami defisit neraca perdagangan karena terlalu banyak mengimpor bahan baku. Selain itu, kebijakan tarif yang tinggi juga berdampak pada biaya produksi yang semakin mahal dan produk yang dihasilkan menjadi tidak kompetitif untuk diekspor.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, FDI pada periode GATT kebanyakan berorientasi pada pemenuhan pasar domestik dan bukan untuk ekspor. Hal tersebut tentu tidak terlalu berdampak pada pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara berkembang karena kegiatan produksi yang dihasilkan hanya untuk konsumsi dalam negeri. Guna meningkatkan PDB, negara berkembang harus meningkatkan ekspornya dan untuk meningkatkan ekspor, negara berkembang membutuhkan FDI yang berorientasi ekspor. Permasalahannya, FDI yang berorientasi ekspor membutuhkan ketersediaan bahan baku produksi dengan harga yang kompetitif yang notabene tidak akan dapat tercapai apabila negara tetap mempertahankan kebijakan proteksionis dengan tarif yang tinggi guna menghindari impor. Selain itu, FDI ini juga mencari negara yang memiliki akses pasar paling banyak ke negara-negara lain agar dapat lebih efisien mengekspor dengan skema hub and spoke model.
ADVERTISEMENT
Dilatarbelakangi hal tersebut, negara-negara membentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 1995 sebagai kelanjutan liberalisasi GATT. WTO beranggotakan lebih dari 164 negara dan saat ini masih terdapat 22 negara yang sedang mengantri untuk menjadi anggota. Kehadiran WTO berhasil menurunkan rata-rata tarif menjadi 9%. WTO juga berhasil meningkatkan nilai perdagangan barang dunia secara signifikan dari USD 5 trilyun di tahun 1996 menjadi US$ 19 trilyun di tahun 2013. Tidak hanya itu, WTO juga memberikan keleluasaan bagi anggotanya untuk saling membuat perjanjian dagang (PTA) yang lebih memberikan komitmen penurunan tarif dan perlakuan preferensi lainnya. Fleksibilitas ini membuat negara-negara berlomba untuk membuat PTA diantara mereka agar semakin kompetitif menarik FDI yang berorientasi ekspor. Hingga saat ini, telah terdapat 291 PTA yang dibuat negara anggota WTO baik di tingkat bilateral maupun regional. Indonesia sendiri telah memliki PTA dengan Jepang dan EFTA serta beberapa PTA dalam kerangka ASEAN. Tidak cukup dengan itu, Indonesia saat ini tengah merundingkan PTA dengan Uni Eropa dan Australia guna memperluas akses pasar.
Grafik Pertumbuhan PDB Dunia (1960 - 2017). Terlihat adanya peningkatan signifikan yang terjadi paska dibentuknya WTO tahun 1995. Sumber: World Bank
Sejarah membuktikan bahwa perdagangan bebas berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi negara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. 20 tahun yang lalu, PDB per kapita Indonesia hanya sebesar USD 400. Saat ini, rakyat Indonesia menikmati kenaikan PDB per kapita 10 kali lipat, yaitu sebesar USD 4130 (2018). Sebaliknya, sejarah juga membuktikan bahwa kebijakan proteksionis justru berdampak buruk bagi perekonomian negara dan bahkan menjadi penyebab terjadinya perang dunia. Lalu mengapa Trump mengubah Amerika Serikat menjadi proteksionis? Dan bagaimana sikap Indonesia ? Silahkan anda simpulkan sendiri jawabannya dari 'cuitan' Trump di bawah ini.
ADVERTISEMENT
Cuitan Trump yang menggambarkan kebijakan 'beggar thy neighbors' Amerika Serikat. Sumber: Twitter