Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
PPN 12 Persen Awal yang Baik atau Justru Sebaliknya?
9 Januari 2025 19:03 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Guswana Adventus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemberlakuan PPN 12 persen di awal tahun 2025 menjadi perbincangan yang cukup hangat dalam beberapa bulan terakhir. Kenaikan harga barang pokok, terkhususnya pada kelompok makanan dan minuman, akibat inflasi tentunya telah memberatkan masyarakat ditambah dengan adanya kebijakan baru ini, tentu akan menambah tekanan bagi kalangan menengah ke bawah. Namun, angin segar muncul, bertepatan pada Kamis (02/01/2025) dalam siaran pers Kemenko Bidang Perekonomian RI, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Program PPN 12% hanya dikenakan pada kategori barang mewah yang sebelumnya telah dikenai PPN barang mewah. Kabar ini tentunya berbalik dan memberikan keadilan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Selain itu, dalam pers tersebut juga dinyatakan bahwa PPN 12% bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat, menjaga inflasi rendah, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, mari kita teliti lebih dalam apakah benar kebijakan ini mampu berjalan dengan efektif.
ADVERTISEMENT
Penyebab Kemunculan PPN 12%
Inflasi nasional Year-on-Year pernah mencapai rentang 3,08-5,95% pada April 2022 hingga Agustus 2023 dalam publikasi BPS. Angka tersebut tentunya sempat berada di luar rentang target inflasi yang dikendalikan oleh Kemenko Perekonomian, yakni sebesar 3%. Namun, pada bulan selanjutnya hingga Desember 2024 inflasi nasional mendekati angka 3%. Ketidakstabilan inflasi pada beberapa periode sebelumnya merupakan salah satu alasan perlunya dibentuk kebijakan ini.
Selain itu, deflasi juga dapat dijadikan indikator berkurangnya daya beli masyarakat terhadap barang atau jasa tertentu. Pada Desember 2024, BPS mempublikasikan bahwa beberapa komoditas dari kelompok makanan, perlengkapan rumah, transportasi, dan beberapa kelompok lainnya telah mengalami deflasi. Dengan demikian, masyarakat mengalami penurunan daya beli pada beberapa kelompok barang dan jasa tersebut.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi, menurut Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa "pertumbuhan ekonomi Republik Indonesia (RI) hanya mencapai kisaran 5 persen pada 2024.". Tentunya ini lebih rendah dibandingkan asumsi makro dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang ditetapkan sebesar 5,2 persen. Maka dari itu, aspek-aspek tersebutlah yang menjadi cikal bakal terbentuknya kebijakan naiknya PPN menjadi 12%.
Perbedaan Dengan Kenaikan PPN Sebelumnya
Kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun 2025 lebih menekankan pada pemulihan ekonomi jangka panjang dan pembangunan strategis. Berbeda dengan kenaikan sebelumnya yang lebih difokuskan sebagai langkah awal untuk mengatasi dampak pandemi COVID-19. Selain itu, pada tahun 2025, sektor digital dan jasa tertentu menjadi fokus baru sebagai perluasan penerapan PPN pada objek yang sebelumnya bebas pajak. Berbeda dengan kenaikan sebelumnya yang masih mengecualikan sebagian besar barang kebutuhan pokok.
ADVERTISEMENT
Kilas Balik PPN 11%
Dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk menggenjot penerimaan negara pascapandemi COVID-19, kenaikan PPN bertujuan memperkuat anggaran negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut langkah ini sebagai strategi "pemulihan berkelanjutan." “Kita harus mengurangi ketergantungan pada utang, dan penerimaan pajak yang lebih kuat adalah solusinya,” tegasnya dalam laporan APBN Kita edisi Desember 2024. Hingga akhir tahun 2024, beberapa dampak yang dihasilkan dari kenaikan PPN 11% diantaranya:
Hingga akhir 2024, Kementerian Keuangan melaporkan bahwa penerimaan dari PPN menyumbang 35% dari total penerimaan perpajakan, melampaui ekspektasi. Angka ini mengukuhkan posisi PPN sebagai instrumen andalan untuk menyeimbangkan defisit anggaran yang berhasil ditekan menjadi 2,9% dari PDB—level terendah dalam lima tahun terakhir (APBN Kita, 2024). Dana tambahan dari PPN telah dialokasikan ke berbagai sektor strategis, termasuk subsidi energi dan bantuan sosial. Program bantuan langsung tunai (BLT) dan subsidi pangan mendapat perhatian utama, memastikan masyarakat rentan tidak terlalu terbebani oleh kenaikan harga barang.
ADVERTISEMENT
kenaikan PPN juga membawa dampak langsung pada pola konsumsi masyarakat. Barang dan jasa yang sebelumnya dikenai tarif 10% mengalami kenaikan harga yang proporsional. Meski demikian, kebijakan moneter dan fiskal yang komplementer berhasil menjaga inflasi di angka 3,2% pada akhir 2024, berada dalam target 2-4% yang ditetapkan Bank Indonesia. “Pengendalian inflasi ini adalah hasil kerja keras pemerintah dan BI. Pasokan pangan terjaga, dan subsidi energi melindungi kelompok masyarakat termiskin,” ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam laporan Laporan Kebijakan Moneter (2024).
Sektor UMKM menghadapi tantangan menyesuaikan harga produk tanpa kehilangan daya saing. Di sisi lain, sektor digital yang kini terkena PPN menunjukkan kemampuan beradaptasi dengan cepat. Pengenaan PPN pada layanan digital seperti streaming dan aplikasi justru membuka peluang bagi pemerintah untuk mengoptimalkan pajak sektor ini, yang sebelumnya kurang tergarap. Sementara itu, sektor yang dikecualikan dari PPN seperti kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan justru mengalami peningkatan permintaan. Hal ini menjadi peluang baru bagi pelaku usaha di sektor tersebut.
ADVERTISEMENT
Meski resistensi awal muncul dari masyarakat, terutama terkait kenaikan harga kebutuhan sehari-hari, survei terbaru dari LSI (2024) menunjukkan bahwa 68% masyarakat mulai memahami pentingnya kebijakan ini untuk pemulihan ekonomi nasional. Salah satu responden survei, Indah, seorang ibu rumah tangga di Surabaya, menyebut, “Awalnya berat, tapi sekarang terlihat manfaatnya, seperti BLT yang membantu kami memenuhi kebutuhan pokok.”
Kenaikan PPN menjadi 11% membuktikan bahwa reformasi perpajakan yang berani dapat menjadi langkah strategis untuk menyeimbangkan anggaran, memulihkan ekonomi, dan menjaga stabilitas sosial. Dengan rencana kenaikan PPN berikutnya menjadi 12% pada 2025, pemerintah dituntut untuk terus menjaga keseimbangan antara mendorong penerimaan dan melindungi daya beli masyarakat.
Kemungkinan Dampak PPN 12%
Pemberlakuan PPN 12% di awal tahun 2025 memunculkan perdebatan yang tajam, dengan dampak yang dapat dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, kebijakan ini membawa potensi positif yang diharapkan pemerintah, namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
Kenaikan PPN dikhawatirkan memperburuk tekanan ekonomi yang sudah ada. Inflasi yang sebelumnya melonjak hingga 5,95% pada periode April 2022 hingga Agustus 2023 telah memberikan beban berat pada masyarakat rentan. Barang kebutuhan pokok, termasuk makanan, transportasi, dan perlengkapan rumah, telah mengalami deflasi pada Desember 2024, menunjukkan daya beli yang melemah. Kebijakan ini, jika tidak diikuti langkah mitigasi yang tepat, dapat memperparah penurunan konsumsi masyarakat, yang berperan besar dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Terlebih lagi, pertumbuhan ekonomi pada 2024 yang lebih rendah dari target mengindikasikan bahwa ruang gerak ekonomi Indonesia masih rapuh, dan kenaikan pajak berpotensi memperlambat pemulihan.
Namun, pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini didesain untuk menjaga stabilitas ekonomi. Dalam siaran pers, dijelaskan bahwa PPN 12% hanya diberlakukan pada barang mewah, memberikan perlindungan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Kebijakan ini juga bertujuan menjaga inflasi tetap rendah dan sekaligus memperluas basis penerimaan pajak untuk mendanai program prioritas nasional seperti infrastruktur dan perlindungan sosial. Dengan pengenaan PPN pada barang mewah, kebijakan ini diharapkan mampu menciptakan keseimbangan antara meningkatkan penerimaan negara dan menjaga daya beli masyarakat kecil.
ADVERTISEMENT
Penutup
Kenaikan PPN 12% adalah langkah yang penuh tantangan. Meskipun ada potensi dampak positif seperti peningkatan pendapatan negara dan stabilisasi ekonomi, risiko melemahnya konsumsi dan tekanan terhadap kelompok rentan tidak bisa diabaikan. Keberhasilan kebijakan ini sepenuhnya bergantung pada implementasi yang tepat, pengawasan ketat, dan langkah-langkah mitigasi untuk memastikan bahwa tujuan keadilan ekonomi benar-benar tercapai tanpa memicu tekanan sosial yang lebih besar.
Sumber:
Bank Indonesia (2024). Laporan Kebijakan Moneter.
BPS (2024). Perkembangan Inflasi Nasional.
BPS (2025). Berita Resmi Statistik: Perkembangan Indeks Harga Konsumen Desember 2024.
BPS (2025, January 2). Inflasi Tahunan (Y-on-Y) (2022=100) Menurut Kelompok dan Sub Kelompok 02 Pakaian dan Alas Kaki (Persen), 2024. Retrieved from Badan Pusat Statistik: https://www.bps.go.id/id
Kementerian Keuangan RI (2024). APBN Kita.
ADVERTISEMENT
Limanseto, H. (2025). Presiden Prabowo Subianto Tegaskan Pemberlakuan PPN 12% Hanya Dikenakan Terhadap Barang dan Jasa Mewah. Retrieved from Kemenko Perekonomian Republik Indonesia: https://www.ekon.go.id/.
LSI (2024). Hasil Survei Persepsi Publik terhadap Kebijakan Fiskal.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024.
Saputra, B. (2025). Sri Mulyani prediksi pertumbuhan ekonomi RI hanya 5 persen pada 2024. Retrieved from ANTARA News: https://www.antaranews.com/.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.