Konten dari Pengguna

Flexing vs Andhap Asor

Gusti Rara
Mahasiswa S1- Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Sebelas Maret Surakarta
12 Oktober 2022 10:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gusti Rara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi di dunia termasuk di Indonesia berkembang secara pesat. Saat ini kita dapat dengan mudah mengakses internet dan memanfaatkan teknologi. Digital in 2018: Essential Insights into Internet, Social-Media, Mobile, and Ecommerce Use around the World (Kemp, 2018) menunjukkan 132,7 juta pengguna internet, 130 juta pengguna aktif media sosial, 177,9 juta pengguna perangkat seluler dan 120 juta pengguna jejaring sosial dari total 264,4 juta jiwa populasi penduduk Indonesia. Bahkan saat ini internet telah masuk ke pelosok-pelosok, sehingga semakin mempermudah manusia untuk mengakses internet dimanapun dan kapanpun. Salah satu hal yang dapat diakses dan dinikmati melalui internet dengan mudah adalah informasi maupun hiburan melalui media sosial. Berbagai hal dapat dilihat dapat dengan mudah membuat seseorang untuk tertarik dan meniru perilaku-perilaku yang muncul di media sosial.
ADVERTISEMENT
Flexing merupakan salah satu fenomena yang sedang marak terjadi di media sosial. Sejatinya fenomena flexing telah digunakan sejak lama dalam strategi marketing (Khayati, 2022). Misalnya dalam sebuah toko roti terdapat beberapa sertifikat, penghargaan, atau tanda-tangan orang-orang terkenal yang pernah datang ke toko rotinya untuk mendatangkan lebih banyak pelanggan. Namun terkadang melakukan flexing dapat terkesan sombong, norak, bahkan menimbulkan kerugian bagi diri sendiri apabila dilakukan secara berlebihan. Beberapa orang saat ini marak melakukan flexing via media sosial. Mereka memamerkan kekayaan, gaya hidup, ataupun kegiatan mereka yang terkesan mewah. Flexing dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan posisi sosial dan status sosial, menunjukkan kepada kemampuannya untuk melahirkan kesan bagi orang lain (Darmalaksana, 2022).
Flexing dapat berdampak negatif pada diri seseorang yang melakukannya. Dampak negatif tersebut diantaranya adalah:
ADVERTISEMENT
1. Supaya mendapat perhatian dari orang lain baik di sosial media maupun secara langsung perilaku yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari akan semakin konsumtif.
2. Berhutang, mereka kecanduan melakukan flexing mereka akan menggunakan segala cara untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan mereka termasuk berhutang.
3. Rasa empati yang mereka miliki semakin sedikit hal ini dimungkinkan karena mereka tidak lagi peduli pada orang yang membutuhkan bantuan dan hanya fokus untuk memamerkan kekayaan mereka.
Selain berdampak buruk bagi seseorang yang melakukannya kegiatan ini, flexing tidak sesuai dengan salah satu budaya ketimuran terkhusus ya orang jawa yaitu budaya andhap asor atau rendah hati. Nilai andhap asor yang tertanam pada jiwa manusia dapat menjadi upaya untuk menghindari perilaku flexing. Davis (2011) mengatakan bahwa dalam ilmu psikologi rendah hati didefinisikan sebagai perilaku berinteraksi dengan orang lain secara positif yang melibatkan unsur penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain baik itu kekurangan atau kelebihan seseorang. Dalam sebuah cerpen berjudul Jago Kluruk penulis menyebutkan:
ADVERTISEMENT
“Urip prasaja iku wigati banget mungguhing bebrayan ing padusunan. Siji lan sijine ora bakal jor-joran. Kabeh wis mangerti, pratingkah jor-joran gambang ngrubake panas-panasan. Gerah gampang nuwuhake asedah antarane para warga. Akeh contohe warga seneng umuk lan pamer, banjur gawe bethik lan mutik. Para leluhur pitutur kanggo putra wayah. Dedalane guna lawan sekti kudu andhap asor. Wani ngalah luhur wekasane. Pebulang becik mau wus kerep digegulang sajroning pasrawungan. Kabeh mau supaya urip bisa guyub rukun ayem tentrem lahir batin.” Kalimat dalam cerpen ini mengajarkan bahwa salah satu kunci untuk dapat hidup rukun adalah menjalankan hidup yang sederhana dan menghindari gaya hidup berlebihan yang dapat menimbulkan ketidakharmonisan antara warga. Hidup dengan sederhana dan rendah hati merupakan suatu tindakan yang sangat terpuji dan harus terus dijaga oleh masyarakat Jawa (Rohmah, S., Umaya, 2015).
ADVERTISEMENT
Menurut Kartomihardjo (1981) andhap asor atau rendah hati adalah prinsip Jawa ketiga untuk menetapkan urip mapan atau urip rukun (hidup dalam harmoni), yang mengharuskan pembicara memperlakukan lawan bicara yang lebih tinggi dengan hormat dan memperlakukan dirinya dengan kerendahan hati (Santoso, 2016). Dengan kata lain, baik sebagai sosok yang lebih muda maupun yang lebih tua kita tetap harus berhati-hati dalam berbicara dan juga bertingkah laku. Perilaku yang menggambarkan seseorang melakukan andhap asor adalah perilaku rendah hati, bersahaja, sopan, santun, menghormati, dan menghargai. Tidak hanya sampai disitu Kartomihardjo juga menyebutkan bahwa perilaku andhap asor apabila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dapat membuat kehidupan menjadi damai sejahtera. Sebagai contoh apabila ada dua orang yang sedang berinteraksi kemudian menerapkan perilaku andhap asor dimana mereka saling menghormati, sopan, santun, dan menghargai maka ketegangan akibat persaingan status tidak akan timbul diantara mereka.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu dapat dilihat bahwa fenomena flexing berakibat merugikan karena cenderung konsumtif, menyebar kesenangan, menyebabkan berhutang, dan menghilangkan rasa empati kepada lingkungan sekitarnya. Sebaliknya sikap andhap asor diperlukan untuk memupuk perilaku sederhana, empati terhadap lingkungan sekitar, guyub rukun, serta menghormati yang sesuai dengan identitas kebudayan Indonesia. Perilaku flexing dapat dihindari dengan menerapkan sikap andhap asor itu sendiri. Misalnya membeli barang sesuai dengan kebutuhan sehingga tidak tergelincir pada perilaku konsumtif yang berlebihan. Kemudian sikap empati dan guyup rukun yang ada dalam andhap asor perlu dikembangkan dan ditanamkan pada generasi muda supaya menghindari perilaku konsumtif yang berlebihan. Caranya adalah memberikan kesadaran baru dengan aktivitas yang positif.
Referensi
Davis, D. E., Hook, J. N., Worthington, E. L., Jr., Van Tongeren, D. R., Gartner, A. L., Jennings, D. J., & Emmons, R. A. (2011). Relational humility: Conceptualizing and measuring humility as a personality judgment. Journal of Personality Assessment, 93(3), 225–234. https://doi.org/10.1080/00223891.2011.558871
ADVERTISEMENT
Darmalaksana, W. (2022). Studi Flexing dalam Pandangan Hadis dengan Metode Tematik dan Analisis Etika Media Sosial. Gunung Djati Conference Series, 8, 73–92. https://conferences.uinsgd.ac.id/gdcs
Khayati, N. (2022). Fenomena Flexing Di Media Sosial Sebagai Ajang Pengakuan Kelas Sosial Dengan Kajian Teori Fungsionalisme Struktural Jurnal Sosialisasi. Jurnal Sosialisasi: Jurnal Hasil Pemikiran, Penelitian, Dan Pengembangan Keilmuan Sosiologi Pendidikan, 9, 113–121.
Kemp, S. (2018, Januari). Digital in 2018: Essential Insights into Internet, Social Media, Mobile, and Ecommerce Use around the World. We Are Sosial. https:// wearesocial.com/blog/2018/01/global-digital[1]report-2018 London, P. (2004). Toward a Holistic Paradigm in Art Education. (K. L. Carroll, Ed.). Maryland: Maryland Institute College of Art.
Rohmah, S., Umaya, N. (2015). Analisis Muatan Toleransi Dalam Tradisi Masyarakat Jawa Pada Cerpen Berjudul “JAGO KLURUK” Karya Bambang Sulanjri dan H.R Utami. TEKS: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 3(April), 49–58.
ADVERTISEMENT
Santoso, D. (2016). The Realisation of Andhap Asor ‘Modest’ and Ngajeni ‘respect’ in the Meeting of Yogyakarta’s Provincial Parliament. International Journal on Studies in English Language and Literature, 4(9). https://doi.org/10.20431/2347-3134.0409008