Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Antre Gas LPG 3 Kg dalam Perspektif Komunikasi
6 Februari 2025 18:31 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Hari Eko Purwanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Percakapan dan Situasi Antrean Gas LPG 3 kg seperti di atas mungkin sudah sering kita lihat dan dengar akhir-akhir ini. Gas LPG 3 kg mendadak sulit ditemukan di berbagai daerah. Berita pun ramai memberitakan fenomena ini, media sibuk mengulas, warganet gaduh di media sosial, sementara pejabat berulang kali menegaskan bahwa stok masih aman. Tapi pertanyaannya, kenapa ini bisa terjadi? Dan siapa sebenarnya yang mengendalikan narasi ini?
ADVERTISEMENT
Media Menentukan Apa yang Kita Pikirkan
Dalam teori komunikasi, konsep agenda setting menjelaskan bagaimana media memiliki kekuatan besar dalam menentukan isu apa yang seharusnya menjadi perhatian masyarakat. Saat ini, kelangkaan gas LPG 3 kg menjadi salah satu isu utama yang mendominasi pemberitaan.
Namun, apakah ini benar-benar persoalan besar yang muncul secara spontan? Atau ini hanyalah cara agar masyarakat lebih sibuk memikirkan gas daripada isu lain yang sebenarnya lebih krusial? Bisa jadi ada isu besar lain yang tengah ditutupi oleh kehebohan ini. Media memilih untuk menyoroti kelangkaan gas, dan masyarakat pun ikut terbawa arus. Sementara itu, isu lain yang mungkin lebih berdampak, seperti kebijakan energi, ekonomi, atau bahkan permasalahan pagar yang tenggelam dalam lautan, atau lainnya yang lebih strategis, hanyut dalam kepanikan terkait gas LPG 3 kg yang langka.
ADVERTISEMENT
Riuh Narasi Dunia Digital
Di era media baru, informasi tidak hanya bersumber dari media mainstream, tetapi juga dari media sosial. Ketika berita tentang kelangkaan gas LPG merebak, warganet pun ikut menyuarakan keluhan mereka di berbagai platform media sosial seperti X, Instagram, hingga TikTok. Efeknya? Opini publik terbentuk dengan sangat cepat.
Pemerintah pun tidak tinggal diam. Lewat akun resmi dan konferensi pers, mereka berusaha menenangkan masyarakat. Namun, di saat yang sama, isu ini terus berkembang liar di dunia maya. Inilah fenomena di era digital: siapa yang lebih cepat menguasai narasi, dialah yang menang. Sayangnya, dalam banyak kasus, masyarakat justru lebih percaya pada cerita viral dibandingkan klarifikasi resmi dari pemerintah.
Bagaimana Media Mengemas Berita
ADVERTISEMENT
Salah satu hal menarik dalam teori framing adalah bagaimana media mengemas suatu isu agar publik melihatnya dari sudut pandang tertentu. Dalam kasus ini, ada media yang menyoroti kelangkaan gas sebagai "masalah distribusi", ada yang menyalahkan "panic buying" masyarakat, dan ada juga yang menggiring opini bahwa ini adalah tanda perlunya evaluasi terhadap kebijakan subsidi ataupun kebijakan pemerintah.
Namun, ada satu pertanyaan yang jarang muncul: siapa yang sebenarnya paling diuntungkan dari kelangkaan ini? Apakah ini benar-benar hanya masalah distribusi, atau ada kepentingan bisnis dan politik yang turut bermain di balik layar? Media dan masyarakat terkadang sering kali lebih fokus pada “fakta lapangan” tanpa benar-benar menggali lebih dalam tentang aktor - aktor di balik situasi ini.
ADVERTISEMENT
Rakyat jadi Korban Narasi
Seperti biasa, yang menjadi korban adalah rakyat kecil. Mereka bingung, marah, dan akhirnya hanya bisa pasrah. Sementara media dan pemerintah saling berlomba menyusun narasi, masyarakat tetap harus mencari gas untuk memasak hari ini.
Ironis nya, isu kelangkaan ini mungkin akan mereda dalam beberapa minggu, kemudian digantikan dengan isu lain yang kembali mengalihkan perhatian publik.
Jadi, apakah gas LPG 3 kg ini benar-benar langka? Atau kita hanya sedang diarahkan untuk fokus pada satu isu, sementara ada hal lain yang lebih penting tapi sengaja ditutupi?
Dalam dunia komunikasi, realitas bukan hanya tentang fakta, tetapi juga bagaimana fakta itu di konstruksi dan didistribusi. Dan di penghujung, rakyat sering kali hanya menjadi penonton dalam realitas ini.
ADVERTISEMENT