Konten dari Pengguna

Cancel Culture, Bumerang Digital dan Kita yang Kian Sensitif

Hari Eko Purwanto
Konsultan Komunikasi, Pegiat Philanthropy, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
12 Februari 2025 15:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hari Eko Purwanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Cancel Culture. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Cancel Culture. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, media sosial Indonesia kembali diramaikan oleh fenomena cancel culture. Kali ini, sorotan tertuju pada film adaptasi A Business Proposal versi Indonesia. Namun, kontroversi yang muncul bukan terkait kualitas produksi atau alur ceritanya, melainkan pernyataan salah satu aktornya, Abidzar Al Ghifari, yang mengaku tidak menonton serial aslinya sebagai bagian dari persiapan memerankan tokoh utama hingga saat ia menyebut tak masalah jika filmnya tak ditonton.
ADVERTISEMENT
Pernyataan tersebut langsung menjadi bola panas. Netizen bereaksi cepat, menilainya sebagai sikap tidak profesional, hingga seruan boikot pun menggema. Ironisnya, sebelum film benar-benar tayang, antusiasme publik sudah lebih dulu tenggelam dalam gelombang kecaman.
Fenomena seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Cancel culture telah lama menghantui dunia hiburan, politik, bahkan akademisi. Namun, apakah ini cara terbaik untuk menyampaikan kritik? Atau jangan-jangan, kita sudah terlalu reaktif dalam menanggapi segala hal di era digital?
Cancel culture sering dipahami sebagai mekanisme untuk menuntut pertanggungjawaban. Istilah ini mengacu pada fenomena ketika individu atau institusi yang dianggap melakukan kesalahan akan dikritik secara massal, bahkan hingga tahap "dibatalkan" (cancelled).
Di satu sisi, cancel culture berperan sebagai bentuk kontrol sosial dan menjaga akuntabilitas di era digital. Namun, disisi lain, fenomena ini sering kali kehilangan esensi konstruktifnya. Alih-alih menjadi kritik yang membangun, cancel culture kerap berubah menjadi hukuman sosial yang dampaknya bisa sangat luas, bahkan menghancurkan karier seseorang dalam hitungan hari.
Ilustrasi Cancel Culture. Foto: Shutterstock

Komunikasi di Era Cancel Culture: Tabrakan Berbagai Teori

Sebagai seseorang yang mengamati komunikasi, saya melihat fenomena ini melalui berbagai perspektif teori komunikasi.
ADVERTISEMENT

1. Teori Framing: Narasi yang Dibentuk Media dan Netizen

Dunia digital adalah ajang perang narasi. Dalam kasus Abidzar, media dan netizen dengan cepat membingkai (framing) pernyataannya sebagai bentuk ketidakprofesionalan. Konteksnya? Tidak penting. Yang utama adalah bagaimana pernyataan tersebut dikemas dan dipasarkan di jagat maya.
Akun-akun gosip dan media daring lebih memilih sudut pandang yang membangkitkan emosi: "Abidzar Tidak Nonton Versi Asli, Profesionalisme Dipertanyakan!" Ketika framing seperti ini sudah terbentuk, publik cenderung menerimanya begitu saja tanpa berpikir kritis.

2. Teori Spiral of Silence: Ketika Suara Minoritas Memilih Diam

Saat mayoritas publik sudah sepakat bahwa seseorang harus "dibatalkan", pendapat yang berbeda menjadi semakin langka. Ini sesuai dengan Spiral of Silence Theory dari Elisabeth Noelle-Neumann, yang menjelaskan bahwa individu cenderung diam jika pandangan mereka bertentangan dengan opini mayoritas karena takut dikucilkan atau diserang.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, mungkin ada yang berpikir, "Ya, wajar saja kalau dia punya pendekatan berbeda dalam mendalami karakter." Namun, mereka lebih memilih diam karena takut mendapat serangan balik. Akibatnya, ruang diskusi menjadi satu dimensi, hanya ada satu suara dominan: mengecam.

3. Uses and Gratifications: Kepuasan Moral dibalik Kritik

Mengapa netizen begitu aktif dalam budaya cancel? Salah satu jawabannya ada dalam teori Uses and Gratifications, yang menjelaskan bahwa orang menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan tertentu, termasuk kepuasan moral.
Banyak netizen merasa berkontribusi dalam "menjaga industri" dengan mengkritik keras seorang aktor atau film. Rasanya seperti melakukan sesuatu yang benar, meskipun dampaknya belum tentu bermanfaat. Apakah kritik ini benar-benar memperbaiki industri? Atau justru sekadar menjadi ajang pelampiasan emosi kolektif?

4. Computer-Mediated Communication (CMC): Dunia Digital dan Hilangnya Empati

Komunikasi di dunia maya berbeda dengan komunikasi tatap muka. Melalui teori Computer-Mediated Communication (CMC), kita tahu bahwa di internet, seseorang lebih mudah mengeluarkan kata-kata pedas karena adanya anonimitas dan jarak emosional.
ADVERTISEMENT
Di dunia nyata, kita mungkin berpikir dua kali sebelum menghakimi seseorang secara langsung. Namun, di media sosial? Tidak ada batasan. Hanya butuh beberapa ketikan, dan kritik pun bisa berubah menjadi hujatan.
Ilustrasi Cancel Culture. Foto: Shutterstock

Cancel Culture: Perlukah Direm?

Cancel Culture seharusnya menjadi alat untuk meminta pertanggungjawaban, bukan sarana penghancuran karakter. Kritik yang sehat memang diperlukan, tetapi ada beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan:
Jika kita tidak berhati-hati, Cancel Culture bisa menjadi bumerang. Hari ini kita yang membatalkan orang lain, besok bisa jadi kita yang menjadi sasaran.

Menata Ulang Cara Kita Berkomunikasi di Dunia Digital

Dunia digital telah mengubah cara kita berkomunikasi, dan Cancel Culture adalah salah satu dampaknya. Jika kita ingin budaya ini lebih sehat, kita perlu membangun pola komunikasi yang lebih inklusif:
ADVERTISEMENT
Jika kita ingin dunia digital yang lebih sehat, kita harus memulainya dari cara kita berkomunikasi. Daripada sibuk membatalkan orang lain, lebih baik kita belajar memahami konteks, mendengar berbagai sudut pandang, dan membangun diskusi yang lebih bermakna.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan pantun sederhana:
Selamat berpikir dan berdiskusi, tanpa harus saling membatalkan.
ADVERTISEMENT