Spiritual Kuat, Kemiskinan Terhambat!

Asma Taqiyyah
Mahasiswa Ekonomi Syariah IPB University Angkatan 2020
Konten dari Pengguna
21 Maret 2022 10:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asma Taqiyyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kemiskinan menjadi permasalahan di berbagai negara. (source: unsplash.com)
zoom-in-whitePerbesar
Kemiskinan menjadi permasalahan di berbagai negara. (source: unsplash.com)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Begitu cara The World Bank Organization menggambarkan sebuah kemiskinan. Keadaan seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya, bahkan yang paling dasar sekalipun. Sebuah kondisi yang akan terus ada sampai dunia berhasil menerapkan keadilan yang sebenar-benarnya. Saat kekayaan dunia tidak menumpuk pada golongan tertentu saja, melainkan didistribusikan juga kepada mereka yang kekurangan sehingga dapat meningkatkan jumlah dan kepemilikan harta yang dimilikinya.
Kondisi kemiskinan di Indonesia per bulan September 2021 berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai angka 26,50 juta jiwa. Tandanya, ada sekitar 9,71 persen masyarakat Indonesia yang belum bisa memenuhi kebutuhannya. Perhitungan ini berdasarkan pada indeks garis kemiskinan, yaitu perhitungannya berdasarkan ketidakmampuan seseorang memenuhi berbagai kebutuhan materialnya. Padahal, selain kebutuhan material yang menjadi dasar penentuan status seseorang, ada kebutuhan lain yang menjadi akar dari mentalitas seseorang dalam memenuhi kebutuhannya, yaitu kebutuhan spiritual.
ADVERTISEMENT
Konsep kebutuhan dalam Islam bersifat dinamis atau merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Menurut Al-Syatibi, rumusan kebutuhan manusia dalam Islam terdiri dari tiga jenjang, yaitu Dharuriyat yaitu kebutuhan primer, Hajiyat yang berarti kebutuhan sekunder, dan Tahsiniyat yaitu kebutuhan tersier. Dalam kebutuhan primer mencakup agama (din), kehidupan (nafs), pendidikan (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Kekuatan spiritual ini menjadi dasar qana’ah seseorang yang kebutuhannya terpenuhi.
Persoalan kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks. Kemiskinan tidak hanya dilihat pada dimensi ekonomi saja, melainkan juga berkaitan dengan berbagai dimensi sosial, budaya, sosial politik, lingkungan, dan agama. Kemiskinan spiritual menggambarkan situasi kehidupan batin seseorang yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimiliki dan diperolehnya. Kemiskinan spiritual bisa saja terjadi pada kehidupan seseorang yang secara ekonomis mempunyai penghasilan yang mencukupi, bahkan berlebihan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai pedoman hidup bagi manusia, tentunya setiap agama selalu memperhatikan realitas hidup manusia. Al-Qur'an menegaskan bahwa pendusta agama ialah mereka yang menelantarkan anak-anak yatim dan tidak mau memberi makan orang miskin.

Spiritualitas dan resiliensi

Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Artinya, resiliensi merupakan satu hal yang penting untuk dimiliki setiap individu agar dapat menyambut kesulitan dengan sebuah kesiapan. Resiliensi bertujuan untuk dapat beradaptasi, mempertahankan diri, dan mempelajari kondisi sulit yang menekan dari berbagai sisi.
Resiliensi bukanlah sebuah karakteristik kepribadian seseorang, melainkan sebuah proses dinamis yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Resiliensi sangat diperlukan oleh seseorang yang sedang berada dalam situasi dan masa sulit, termasuk ke dalamnya ruang kemiskinan. Faktor internal resiliensi seperti harga diri, efikasi diri, kemampuan mengatasi masalah, regulasi emosi, dan optimisme dapat dirangkum dalam kecerdasan spiritual seseorang dan kepatuhan terhadap agama.
ADVERTISEMENT

Spiritualitas, moralitas, dan kinerja

Budi pekerti seseorang diwujudkan melalui karakter moral dan karakter kinerja. Kedua karakter tersebut dapat tumbuh dan tertanam dalam diri seseorang apabila ia berusaha untuk meraihnya. Karakter moral mencakup kejujuran, ketakwaan, sopan, dan santun, serta tatakrama. Karakter kinerja mencakup kerja keras, tangguh, tuntas, ulet, dan rajin. Dua karakter ini dapat mudah terinternalisasi dengan menanamkan agama kepada seorang individu sejak kecil. Spiritualitas yang kuat dan tangguh akan melahirkan kedua karakter tersebut dan ia hadir dari akidah yang lurus.

Spiritualitas dan pengelola negara

Seorang tokoh negara merupakan ujung tombak dari kelangsungan hidup berjuta-juta rakyatnya. Setiap kebijakan dan regulasi yang diterapkan akan memberikan dampak terhadap perekonomian rakyat. Para petinggi harus punya kemampuan intelektual dan nalar yang tinggi dalam merumuskan kebijakan-kebijakan. Namun, kecerdasan intelektual saja tidak akan cukup untuk mengelola sebuah negara. Dibutuhkan keberadaan hati nurani dan kekuatan spiritual mereka sebagai standar keberhasilan kinerja.
ADVERTISEMENT
Sebuah negara tidak akan berdaya kuat jika dipimpin dan diatur oleh pemerintah yang amoral, zalim, dan hanya haus akan tahta dan harta. Agama sangat jelas dan lantang melarang seseorang mengambil yang bukan haknya, apalagi seorang pemimpin merampas kepemilikan rakyatnya.
Kita dapat mengambil contoh dari Khalifah Umar bin Khattab r.a. yang dalam masa kepemimpinannya beliau memiliki kebiasaan untuk jalan menyusuri daerah kekuasaannya. Hal itu beliau lakukan untuk memeriksa apakah ada rakyatnya yang kesulitan dan membutuhkan bantuan. Mentalitas pemimpin yang seperti ini lah yang seharusnya ada pada zaman penuh krisis moral seperti sekarang.

Solusi Model CIBEST

Cara untuk mengatasi dan meminimalisir kemiskinan diantaranya adalah melalui zakat. Allah telah memberikan perintah kepada umatnya dalam rukun Islam untuk membersihkan hartanya melalui zakat. Zakat menjadi media interaksi dalam sarana pemerataan ekonomi sehingga diharapkan mampu mengurangi ketimpangan. Pengukuran dampak zakat sebagai pengurang kemiskinan umumnya hanya terbatas dalam dimensi material. Maka dibutuhkan model CIBEST yang mampu membantu permasalahan mengenai kemiskinan.
ADVERTISEMENT
CIBEST merupakan alat ukur kemiskinan dengan melihat dimensi secara materiil maupun spiritual. Model CIBEST bertujuan untuk menganalisis pendayagunaan zakat produktif terhadap kemiskinan secara signifikan. Menurut pandangan islam pengukuran kemiskinan akan lebih efektif karena dimensi spiritual merupakan bagian dari dimensi zakat dan menjadi suatu kebutuhan yang harus terpenuhi menurut pandangan islam
Kemiskinan spiritual menggambarkan situasi kehidupan batin seseorang yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang mereka miliki, sedangkan kemiskinan material bersifat ekonomis, yaitu penghasilan yang diperoleh sangat rendah. Seseorang yang miskin harta merasakan penderitaan, tetapi seseorang yang miskin spiritual jauh lebih menderita dan lebih berbahaya.
Kemiskinan sebagai suatu realitas kehidupan sepenuhnya tidak dapat dihilangkan. Kemiskinan hanya dapat diubah, dikurangi ataupun diperbaiki agar tidak menghancurkan derajat kemanusiaan. Dalam hal ini, kekuatan spiritual menjadi dasar qana’ah seseorang yang kebutuhannya terpenuhi. Kekuatan spiritual hadir dari akidah yang lurus. Apabila diibaratkan dengan sebuah pohon, akidah merupakan sebuah akar, yaitu sebagai penopang kehidupan. Akidah yang lurus menjadikan seseorang melaksanakan ibadah, sebagai penopang hidupnya, secara sempurna. Jika akar dan batangnya kokoh maka buah dan daun yang ada di pohon tersebut akan terlihat indah.
ADVERTISEMENT