Konten dari Pengguna
Data Pribadi Bocor Lagi, Perlindungan Negara Di Mana?
8 Juni 2025 15:18 WIB
·
waktu baca 3 menitKiriman Pengguna
Data Pribadi Bocor Lagi, Perlindungan Negara Di Mana?
Kebocoran data pribadi makin sering terjadi, tapi perlindungan dari negara masih minim. UU PDP mandek, OPDP belum jalan. Data warga jadi komoditas murah di pasar gelap.
Muhammad Hafidz Gafa Ar-Rayyan

Tulisan dari Muhammad Hafidz Gafa Ar-Rayyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Di era digital saat ini, data pribadi kita telah berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan secara bebas. Pada awal 2024, publik dikejutkan oleh kebocoran data 204 juta penduduk Indonesia yang diduga berasal dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu. Namun, itu hanyalah puncak dari gunung es. Data milik peserta BPJS, transaksi di platform e-commerce, hingga sistem pemerintahan juga tak luput dari incaran para peretas.Yang lebih mengkhawatirkan, kebocoran data kini bukan lagi insiden luar biasa, melainkan rutinitas memilukan yang kita terima dengan pasrah. Ramai dibicarakan selama beberapa hari, lalu dilupakan begitu saja.
ADVERTISEMENT
Padahal, data yang bocor bukan sekadar nama atau alamat email. Informasi paling sensitif seperti NIK, alamat rumah, rekam medis, bahkan swafoto dengan KTP beredar bebas di pasar gelap. Yang lebih menyakitkan, harga data kita ternyata sangat murah - hanya Rp20 ribu untuk satu juta data. Situasi ini memunculkan pertanyaan mendasar: di mana perlindungan yang dijanjikan negara?
Pemerintah sebenarnya telah mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sejak 2022. Namun, dua tahun berlalu, implementasinya nyaris tak menunjukkan kemajuan berarti. Otoritas Perlindungan Data Pribadi (OPDP) yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum justru belum berfungsi secara optimal. Akibatnya, setiap kasus kebocoran data ditangani secara serampangan tanpa investigasi menyeluruh, tanpa pertanggungjawaban dari institusi terkait, dan yang paling menyedihkan, tanpa pemberitahuan resmi kepada para korban yang datanya telah bocor.
ADVERTISEMENT
Ironi semakin terasa ketika UU PDP yang digadang-gadang sebagai tonggak sejarah perlindungan data justru menjelma menjadi macan kertas. Regulasi yang seharusnya melindungi warga ini berubah menjadi sekadar formalitas administratif tanpa gigi hukum yang nyata. Polanya selalu berulang: kebocoran terjadi, pihak terkait berlindung di balik alasan "serangan siber", publik tidak mendapatkan kejelasan, dan akhirnya kasus pun tenggelam ditelan waktu. Padahal, UU PDP secara tegas menjamin hak masyarakat untuk mengetahui ketika data mereka bocor (right to be informed), namun kenyataannya, informasi kebocoran justru lebih sering kita dapatkan dari forum-forum hacker daripada dari institusi resmi.
Yang paling memilukan adalah nasib para korban masyarakat biasa yang datanya diperjualbelikan tanpa sepengetahuan mereka. Tak ada pemberitahuan resmi, tak ada panduan perlindungan diri, apalagi kompensasi. Padahal, data yang bocor bisa menjadi alat bagi berbagai kejahatan digital: penipuan, pemerasan, hingga penyalahgunaan identitas.Sebagai contoh, kebocoran data BPJS Kesehatan pada 2021 yang memuat informasi medis sensitif tidak disertai langkah pemulihan yang memadai bagi para korban. Hal serupa juga terjadi pada kasus kebocoran data pemilih Pemilu 2024. Meski data yang tersebar mencakup informasi krusial seperti alamat dan NIK, hingga kini belum ada klarifikasi yang utuh dan transparan dari pihak penyelenggara.
ADVERTISEMENT
Digitalisasi seharusnya membawa kemudahan, bukan ketakutan. Namun selama negara abai dalam menegakkan hukum, ruang digital Indonesia akan tetap menjadi supermarket data bagi para pelaku kejahatan. Jika serius ingin melindungi warganya, pemerintah harus segera mengoperasionalkan OPDP dengan kewenangan investigasi yang independen, mewajibkan notifikasi kebocoran data dalam waktu 72 jam, dan memberikan sanksi tegas berupa denda atau pidana bagi institusi yang lalai. Tanpa langkah nyata ini, UU PDP hanya akan menjadi monumen gagasan yang megah di atas kertas, sementara data pribadi kita tetap menjadi komoditas murah di pasar gelap.
Pada akhirnya, perlindungan data pribadi bukan sekadar masalah regulasi, melainkan komitmen nyata negara dalam menjamin hak dasar warga di era digital. Kita tidak butuh peraturan yang hanya menjadi pajangan, melainkan penegakan hukum yang konsisten dan transparan. Karena ketika data kita bisa dibeli semurah segelas kopi, maka harga diri kita sebagai warga negara pun turut terdegradasi.
ADVERTISEMENT