Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Gunung Burangrang, Mulai dari Teriakan Hingga Suara Raungan
3 Desember 2017 15:15 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Habib Allbi Ferdian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cerita ini bukan karangan bebas yang kebanyakan anak SD lakukan di sekolah, tulisan ini bukan kajian ilmiah yang kebanyakan mahasiswa lakukan di kuliah, kisah ini bukan mitos yang kebanyakan masyarakat dongengkan.
ADVERTISEMENT
Namun, tulisan ini merupakan rangkain kata-kata yang menceritakan sebuah pengalaman berharga tentang teriakan nama seseorang saat melakukan pendakian di malam hari, tentang raungan hewan buas yang terdengar beberapa langkah dari kami.
Beberapa bulan yang lalu, pada Juli 2017, saya bersama tiga orang teman memutuskan untuk pergi mendaki gunung di daerah Cisarua, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, tepatnya di Gunung Burangrang yang memiliki ketinggian 2050 Mdpl.
Seperti orang-orang kebanyakan, sebelum melakukan pendakian, kami mengemas barang-barang terlebih dahulu guna menunjang kebutuhan saat melakukan tracking dan berkemah. Mulai dari sleeping bag, tenda, obat-obatan, air mineral, hingga beberapa makanan untuk dijadikan santapan makan malam.
Tampaknya, cuaca pada hari itu memang tidak begitu bagus untuk melakukan pendakian. Selain angin yang bertiup cukup kencang, hujan juga mulai membasahi jalanan yang akan dilalui.
ADVERTISEMENT
Setelah dua jam menunggu hujan reda, sekitar pukul 17.00 WIB, akhirnya kami putuskan untuk berangkat ke lokasi tujuan. Butuh satu jam perjalanan untuk menuju pos pertama, jadi sekitar pukul 18.00 WIB, baru melakukan pendakian.
Motor sudah diparkir di salah satu rumah warga, cukup membayar seikhlasnya, keamanan sudah terjamin. Sebelum melakukan pendaikan, kami sempatkan untuk salat magrib terlebih dahulu. Setelah berdoa dan mempersiapkan diri, kami berempat langsung tancap gas.
Belum lama melangkah, rasa lelah sudah menghantui, diiringi dengan kuburan yang berada di kiri dan kanan jalan.
Sekitar setengah jam berjalan, beratnya track yang dilalui membuat salah satu tim menyarankan untuk berhenti terlebih dahulu. Sembari menunggu, saya ambil air minum untuk menambah energi yang mulai terkuras.
ADVERTISEMENT
Sekitar lima menit berhenti, kami lanjutkan perjalanan, menelusuri jalan setapak dengan senter sebagai satu-satunya sumber penerangan. Satu jam berjalan, kami mulai memasuki hutan yang cukup lebat dengan jalanan yang mulai curam. Kondisi alam yang sangat gelap, serta banyaknya duri yang menghalangi jalan, membuat lajur perjalanan sedikit tersendat.
Kami terus berjalan menyusuri jalan. Arah jarum jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Suasana hutan semakin terasa, dan suara hewan malam mulai bermunculan mengiringi perjalanan.
Kami berjalan dengan posisi berderet memanjang, karena memang jalanan yang dilalui hanya cukup satu orang. Saat melewati sebuah reruntuhan pohon besar yang melintang di tengah jalan, perasaan aneh mulai terjadi.
Beberapa kali saya mendengar suara yang memanggil dari kejauhan, suara tersebut memiliki jeda cukup lama, antara lima sampai sepuluh menit. Tapi, saya mencoba berpikir positif karena memang melihat teman saya yang ada di depan tampak tenang-tenang saja.
ADVERTISEMENT
Sampai pada akhirnya, suara teriakan seorang wanita terdengar begitu nyaring ditelinga saya, dan seketika menghentikan lajur kami. “Morrys,” begitu kira-kira suara itu memanggil salah satu nama teman saya.
Sekali, sampai dua kali, tidak dihiraukan. Ketiga kali suara itu memanggil, akhirnya kami memutuskan untuk berhenti. Di tengah keheningan malam, teman saya bernama Rizal tiba-tiba berbicara “Dengar enggak?” saya hanya menganggukkan kepala, sedangkan Morrys dan Agung langsung menyahutnya “Ya, dengar.”
“Tunggu sebentar, jangan dulu jalan,” sambung Rizal. Kami berhenti sejenak, pada saat itu tidak ada yang berani bicara. Entah apa yang kami tunggu, yang pasti suara panggilan itu juga ikut berhenti.
Sekitar lima menit berhenti, Rizal kembali mengambil alih komando “Yuk, jalan,” Kami lanjutkan perjalanan, baru saja berjalan beberapa langkah, lagi-lagi suara itu muncul, “Morrys,” dan entah kenapa, seakan sudah paham pada situasi tersebut, kami kembali menghentikan perjalanan.
ADVERTISEMENT
Dalam keadaan lelah, dengan kepala tertunduk lesu, tiba-tiba Morrys memegang pundak saya seraya berkata “lihat ke atas,” seketika saya melihat ke atas pohon, dan bayangan putih terlihat terbang dari satu pohon ke pohon lain.
Sosoknya memang seperti wanita gaib dalam film-film setan, memakai kain putih, berambut panjang, kondisi muka tidak terlihat, dan sedikit remang karena saat itu benar-benar gelap.
Saya hanya memberi isyarat kepada Rizal dan Agung. Tampaknya mereka berdua juga melihatnya, tanpa basa-basi kita berempat langsung tancap gas.
Seiring berjalannya waktu, suara panggilan itu menghilang, tapi suara dari makhluk lain muncul. “Sialan” ujarku dalam hati.
Suara itu seperti raungan dari makhluk buas, entah itu harimau, macam tutul, babi hutan, atau makhluk tak kasat mata, yang pasti, suara itu terdengar cukup jelas. Namun, mendengar suara monyet bersautan, kami tahu bahwa hal tersebut mengisyarakatkan adanya tanda bahaya.
ADVERTISEMENT
Meski sudah sangat lelah, mau tak mau kami harus bergerak cepat, dan untungnya kami selamat sampai puncak. Perjalanan yang harusnya di tempuh 5 jam, akhirnya kami tempuh dalam waktu 4 jam saja.
Meski kami harus memasang tenda di sebelah batu nisan seorang pendaki yang meninggal pada 2013 silam. Tapi kami menikmati malam itu, keheningan tampaknya berlalu hingga pagi. Entah cape atau syok, yang pasti, di pagi hari kami bercerita seputar kejadian tadi malam, dan tampaknya temanku Morrys masih terngiang suara tante-tante yang terus-menerus memanggilnya. Hehe.
Sekian cerita hari ini. Selamat berakhir pekan.