Konten dari Pengguna

Pandemi Usai, Krisis Literasi Masih Ada: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Muhammad Habib Ash Shiddiqi
Mahasiswa Magister Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta
29 September 2024 16:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Habib Ash Shiddiqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fenomena puluhan siswa SMP yang tidak bisa membaca pada tahun 2024 merupakan alarm keras bagi dunia pendidikan di Indonesia. Muncul pertanyaan penting: siapa yang bertanggung jawab? Masalah ini tentu tidak sederhana dan tidak bisa sepenuhnya disalahkan pada satu pihak saja. Seperti yang dilaporkan dalam berbagai media sepanjang Agustus hingga September, isu ini mencakup berbagai faktor yang saling terkait, mulai dari dampak pandemi, kesenjangan akses teknologi, hingga ketidakcocokan kurikulum.
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 meninggalkan dampak besar pada pendidikan, di mana pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang berlangsung selama pandemi mengakibatkan learning loss, terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu. Siswa yang kesulitan mengakses teknologi seperti internet dan perangkat digital tertinggal jauh dalam pelajaran, termasuk dalam kemampuan dasar seperti membaca. Hal ini memperburuk kesenjangan pendidikan antara kelompok yang lebih mampu dan yang kurang mampu.
Selain itu, ketimpangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan juga menjadi faktor penting. Fasilitas pendidikan yang tidak merata, terutama di daerah terpencil, membuat siswa di sana tertinggal. Kurangnya guru berkualitas dan fasilitas yang memadai turut berkontribusi pada rendahnya kemampuan literasi siswa. Meski pemerintah sudah berupaya memperbaiki sistem pendidikan melalui Kurikulum Merdeka, implementasi di lapangan masih menghadapi banyak kendala. Di daerah terpencil, banyak guru yang belum sepenuhnya menguasai metode pembelajaran baru, sehingga metode pengajaran tradisional yang kurang efektif masih dominan.
ADVERTISEMENT
Di sini, muncul pertanyaan: apakah ini kesalahan guru, fasilitas pendidikan, atau siswanya sendiri? Jika dilihat dari sudut pandang guru, masalah kompetensi memang menjadi salah satu faktor krusial. Beberapa guru, terutama di daerah terpencil, belum mendapatkan pelatihan yang memadai untuk menerapkan metode pengajaran modern yang lebih interaktif dan relevan dengan kebutuhan siswa. Guru yang kurang kompeten dalam mengajar membaca, khususnya di kelas-kelas awal, berkontribusi pada rendahnya kemampuan literasi siswa di tingkat selanjutnya. Namun, tidak sepenuhnya adil untuk menyalahkan guru saja, karena mereka sendiri sering kali bekerja di
Kegiatan Gerakan Literasi di Sekolah oleh Mahasiswa
bawah tekanan keterbatasan fasilitas dan sumber daya yang tersedia.
Fasilitas pendidikan juga memainkan peran besar. Di banyak daerah terpencil, sekolah-sekolah masih kekurangan buku bacaan, alat peraga, bahkan ruang kelas yang layak. Akses yang terbatas terhadap bahan belajar membuat upaya peningkatan literasi menjadi semakin sulit. Fasilitas yang tidak memadai ini jelas berdampak langsung pada kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa. Namun, mengandalkan fasilitas saja juga tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan peningkatan kualitas pengajaran.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, menyalahkan siswa sepenuhnya juga tidaklah tepat. Siswa adalah produk dari sistem pendidikan yang ada. Jika siswa tidak bisa membaca, itu mencerminkan adanya masalah yang lebih mendalam dalam sistem pengajaran, metode, dan fasilitas yang mereka terima. Tentu saja, motivasi belajar siswa sendiri juga penting, tetapi tanpa dukungan yang memadai dari guru dan fasilitas, bahkan siswa yang paling termotivasi pun akan kesulitan berkembang.
Meskipun Kurikulum Merdeka diharapkan dapat memperbaiki masalah ini, kenyataannya masih ada kesenjangan besar antara tujuan kurikulum dan kebutuhan siswa. Banyak siswa SMP yang masih belum bisa membaca dengan lancar, padahal sudah berada di jenjang pendidikan menengah. Ini menandakan bahwa kurikulum yang ada belum sepenuhnya sesuai dengan tantangan nyata yang dihadapi oleh siswa, terutama mereka yang tertinggal akibat dampak pandemi.
ADVERTISEMENT
Peran teknologi dalam pendidikan juga menjadi isu penting. Di satu sisi, teknologi dapat membantu proses pembelajaran. Namun, di sisi lain, banyak siswa yang justru kecanduan game online dan media sosial, sehingga minat membaca menurun. Kurangnya literasi digital di kalangan siswa dan orang tua memperburuk masalah ini. Banyak orang tua yang kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan mendampingi anak belajar, sehingga penggunaan gadget oleh anak-anak tidak terkontrol dengan baik.
Selain masalah pandemi dan teknologi, penelitian menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia sudah menjadi masalah serius sejak pendidikan dasar. Banyak siswa kelas 1 SD mengalami kesulitan membaca dasar, dan masalah ini terus berlanjut hingga jenjang SMP. Beberapa penyebab utama adalah kompetensi guru yang rendah dalam pengajaran membaca awal, kekurangan sumber daya bacaan, serta ketidaksesuaian kurikulum. Kurikulum pengajaran membaca yang tidak dirancang dengan baik menyebabkan banyak siswa tertinggal dan kesulitan mengikuti pelajaran. Hal ini menyebabkan efek domino yang dikenal sebagai "Matthew effect," di mana siswa yang tidak bisa membaca akan semakin kehilangan motivasi untuk belajar dan akhirnya berpotensi putus sekolah.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi masalah ini, berbagai intervensi telah dilakukan. Program bimbingan belajar terstruktur dan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) telah diperkenalkan untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa. Program GLS, misalnya, mendorong siswa untuk membaca setiap hari dan menggunakan materi bacaan yang sesuai dengan budaya dan konteks lokal. Program-program ini bertujuan untuk menumbuhkan budaya membaca di sekolah-sekolah Indonesia dan membantu siswa yang tertinggal untuk mengejar ketertinggalan mereka.
Menjawab pertanyaan "salah siapa?" tidaklah mudah. Masalah rendahnya kemampuan literasi ini adalah hasil dari berbagai faktor yang saling terkait, mulai dari kebijakan pendidikan, kemampuan guru, hingga peran orang tua di rumah. Pemerintah jelas harus memikul tanggung jawab besar dalam memperbaiki sistem pendidikan, terutama dalam meningkatkan kualitas guru dan menyediakan fasilitas yang merata di seluruh daerah. Namun, peran sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat juga sangat penting.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Pemerintah harus meningkatkan anggaran pendidikan untuk memperbaiki ketimpangan fasilitas antara daerah perkotaan dan pedesaan. Program remedial yang intensif bagi siswa yang tertinggal, terutama akibat pandemi, juga harus diprioritaskan. Selain itu, pelatihan guru yang lebih mendalam dalam implementasi Kurikulum Merdeka sangat penting agar metode pengajaran lebih efektif dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain itu, kampanye literasi digital harus digalakkan untuk mendorong penggunaan teknologi yang bijak di kalangan pelajar. Orang tua perlu dilibatkan secara lebih aktif melalui program pendampingan, agar mereka dapat membantu anak-anak belajar dan memanfaatkan teknologi dengan lebih baik.
Fenomena puluhan siswa SMP yang tidak bisa membaca bukan hanya soal kurikulum atau teknologi, melainkan masalah kompleks yang melibatkan berbagai aspek. Guru, fasilitas pendidikan, hingga dukungan siswa dan keluarga memiliki peran masing-masing dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih baik. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk mengatasinya harus dibagi di antara semua elemen masyarakat. Dengan kerja sama yang baik antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih baik. Hanya dengan upaya bersama, kita dapat memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuan literasi mereka dan membangun masa depan yang lebih cerah bagi bangsa ini.
ADVERTISEMENT