Politik Dinasti Menantang Akal Sehat Kita

Habibah Auni
Hanya orang biasa yang suka menulis.
Konten dari Pengguna
27 Juli 2020 10:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Habibah Auni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Panasnya berita ini nyatanya membuat kita resah, sekaligus menantang akal sehat kita. Bagaimana tidak? Di masa pandemi yang menyesakkan ini, kita malah dihantam dengan berita pilkada yang membuat was-was. Katanya seorang anak presiden menyalonkan diri sebagai wali kota di tempat x. Dan beliau diusung ketika bapaknya masih menjabat. Hal ini menimbulkan persepsi publik bahwa beliau ini menggunakan nama besar bapaknya untuk maju ke arena pilkada. Ya wajar aja kalau masyarakat pada naik pitam, bukan?
ADVERTISEMENT
Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Joko Widodo maju sebagai calon Wali Kota Solo. Sumber foto: Kompas.
Padahal perihal politik dinasti ini sudah menjadi momok tersendiri buat Indonesia. Cobalah kau simak pendapat Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi. Beliau mengatakan bahwa politik dinasti sudah berlangsung sejak zaman Belanda memimpin hingga sekarang. Selain itu menurut Nagara Institute, terdapat 14,78% wilayah penggelar pilkada yang terpapar politik dinasti selama tiga periode terakhir (2015, 2016, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa politik dinasti mengakar kuat dan selalu subur.
Saya yakin angka statistik ini setidaknya mewakili masyarakat kekhawatiran masyarakat terhadap politik dinasti. Buktinya perdebatan mengenai tudingan praktik korupsi yang dilakukan Gibran Rakabuming, belakangan ini memenuhi seluruh beranda news media seperti Twitter, Instagram, dll.
Suburnya politik dinasti
Penyebab viralnya isu politik dinasti ini sederhana; karena yang dirugikan adalah rakyat. Terpilihnya seorang kandidat politik dengan faktor famili, terbukti sangat lekat dengan kasus korupsi. Tak sedikit kandidat politik dan sanak keluarganya menyuap lembaga-lembaga pengawasan untuk menyembunyikan praktik korupsi. Alhasil, pengelolaan keuangan birokrasi menjadi amburadul. Kredibilitas pemerintah sebagai good governance pun dipertanyakan.
ADVERTISEMENT
Persoalan praktik korupsi yang dilakukan oleh aktor politik dinasti ini pun bukanlah bualan belaka. Sebut saja contoh kasus nyatanya adalah korupsi yang dilakukan anggota klan ratu Atut. Yang mana tatu Atut beserta adiknya, Tubagus Chaeri Wardana, ditangkap lantaran menyuap penanganan pilkada Lebak dan korupsi pengadaan alkes di Pemerintah Provinsi Banten.
Peta Dinasti Ratu Atut. Sumber foto: detik.com.
Dan ironisnya, meskipun Ratu Atut sudah terdakwa kasus korupsi, tetap saja ada anggota keluarganya yang terpilih menjadi pejabat. Cukup aneh memang, jika dipikirkan. Dengan kredibilitas politik yang turun, sudah mafhumnya elektabilitas politik pun menurun. Akan tetapi bung jika diingat-ingat, adanya harta yang mengalir ke sanak keluarga dan jejaring relasi politik dinasti yang luas, setidaknya menjadi modal terbesar bagi kandidat politik dinasti untuk mengikuti perhelatan politik berikutnya.
ADVERTISEMENT
Gambarannya, politik dinasti ibarat sel yang tidak akan pernah musnah, lantaran terus membelah diri menjadi dua. Kemudian, anak sel itu akan memegang kendali di kehidupan sel berikutnya, dan membelah diri lagi. Akhirnya, jumlah sel akan terus berlipat ganda dan menguasai ekosistem yang ditempati. Hal ini akan terus terjadi, selama induk sel membiarkan anaknya terus berkembang biak. Jumlah sel yang dibasmi pun tiada pernah habis.
Serupa sekali dengan kondisi politik dinasti. Selama klan dinasti memiliki modal kekuasaan, jejaring kuat, dan kekayaan, mereka akan terus berkembang biak tanpa henti. Politik dinasti pun akan terus berjalan, selama cucu-cicit keluarga yang bersangkutan masih mewarisi ambisi nenek moyangnya dalam membajak politik lokal.
Mempermainkan akal sehat
ADVERTISEMENT
Maklum saja, banyak penyebabnya. Toh ada partai yang agak “oleng” pemikirannya. Menolak politik dinasti di satu wilayah, tapi malah mendukung politik dinasti di tempat lain. Kalian tulus menolak politik dinasti, atau karena tidak oposisi menang?
Belum lagi sama masyarakatnya (ya, termasuk penulis). Beberapa kelompok masyarakat dewasa ini sangat enggan berurusan dengan politik. Ya pokoknya kalau udah denger politik bawaan pemikirannya selalu negatif. Jadinya ogah buat baca berita dan artikel tentang politik.
ADVERTISEMENT
Alhasil, kapasitas literasi politik antar lapisan masyarakat tidak sederajat. Padahal pemahaman tentang politik sangat penting buat melawan politik dinasti. Kalau masyarakat sudah mafhum, masyarakat bisa buat konsensus tentang etika politik yang baik, sehingga politik dinasti pun bisa ditangkal dengan tepat dan efektif.
Merawat akal sehat
Makanya perlu banget yang namanya merawat akal sehat. Jika mau memutus mata rantai politik dinasti, maka baik masyarakat ataupun kandidat politik, harus menjaga alam berpikirnya selama proses demokrasi itu berlangsung.
Untuk kandidat politik, sebaiknya menurunkan ego kelompok dan mengedepankan kepentingan publik. Berjuang dari nol dengan kapasitas yang dimiliki, tidak disokong oleh keluarga. Intinya, yah jadi mandiri di politik.
Sedangkan untuk masyarakat, sebaiknya berinisiatif untuk memantau perkembangan manuver kandidat politik di wilayahnya masing-masing. Selain itu, anggota masyarakat yang sudah terliterasi politik dengan baik, seharusnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat yang membutuhkan.
ADVERTISEMENT