Memeluk Luka: Belajar Menerima Maaf untuk Diri Sendiri

Hadhiratul Ghaida
mahasiswa Fakultas Kedoteran, Prodi Psikologi, Universitas Syiah Kuala
Konten dari Pengguna
2 Maret 2024 8:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hadhiratul Ghaida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Карина Каржавина from Pixels
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Карина Каржавина from Pixels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam hidup, kita selalu dikelilingi oleh manusia dengan beragam kebiasaan dan kepribadian. Perbedaan yang selalu dianggap sebagai satu bagian dari keindahan ini tak jarang juga menjadi penyebab perselisihan. Namun, tak jarang pula kita memaafkan, memberi kesempatan, bahkan mengalah dengan mencoba menerima mereka yang mungkin bertentangan dengan kita. Pertanyaannya, apakah kita sanggup melakukan hal tersebut pada diri sendiri? Memaafkan kemudian mencoba menerima keadaan yang sudah ada atau sudah terjadi sepertinya menjadi suatu tantangan tersendiri. Padahal, orang lain yang lebih kita perhatikan itu akan pergi dan terganti. Sebaliknya, raga, jiwa, masa lalu, dan emosi diri akan terus berdampingan pada kita sampai mati.
ADVERTISEMENT
Meskipun mengetahui fakta tersebut, rasanya untuk berdamai dengan diri tetap sulit. Pengampunan diri menjadi lebih rumit karena proses berdamai dengan diri itu mengharuskan keterlibatan pengakuan dan penerimaan diri seutuhnya, pengakuan bahwa di dalam diri terdapat kelebihan yang dibersamai oleh kelemahan, serta berusaha untuk mencintai diri setelah menjalani masa lalu yang mungkin susah diampuni.
Pangkal yang menjadi asal-muasal munculnya dendam pada pribadi itu banyak jenisnya. Secara umum, pada remaja maupun orang dewasa permasalahan yang mereka hadapi tak jauh dari:
a. Konflik internal: sesorang bisa mengalami struggle yang bersumber dari ketidak-cocokan antara keinginan, cita-cita, dan harapan orang lain terhadap diri mereka. Misalnya, kebingungan apakah harus mengutamakan pendidikan yang tinggi, atau langsung bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Konflik semacam ini dapat menyulitkan seseorang untuk merasa puas dengan pilihan hidup yang mereka buat.
ADVERTISEMENT
b. Standar yang tidak realistis: Menurut Brene Brown (2020), kita hidup dalam budaya tuntutan kesempurnaan. Kondisi penuh tekanan ini memaksa kita untuk secara sadar atau tidak memasang standar yang terlampau tinggi. Ketika standar tersebut tidak terpenuhi, konsekuensinya adalah perasaan kecewa dan perasaan bahwa diri kita tidak layak.
c. Trauma: trauma bukan sesuatu yang layak dikesampingkan. Pengalaman traumatis yang terjadi di masa lalu seseorang dapat membuat mereka sulit untuk menerima dan mencintai diri sepenuhnya.
d. Persepsi buruk: bentuk berpikir negatif dan self-talk negatif, dapat membuat seseorang sulit berdamai dengan diri. Tanpa sadar, seseorang tersebut akan terus mengkritik diri dengan keras dan terlalu mendengar pendapat buruk orang lain tentang diri mereka.
e. Kesulitan menerima kesalahan: sebagai manusia yang tidak sempurna, kita pasti pernah melakukan kesalahan. Kesalahan yang seharusnya diterima dan dijadikan pembelajaran, malah dijadikan media untuk terus terkurung dalam rasa bersalah.
ADVERTISEMENT
Pengampunan diri merupakan langkah pertama menuju penerimaan diri. Memaafkan adalah sebuah pilihan, bukan keharusan (Enright, 2001). Memaafkan juga salah satu cara seseorang untuk melepas dendam atau perasaan negatif dengan cara yang paling positif. Pemaafan diri bukan hanya tindakan melepaskan kesalahan di masa lalu. Lebih dari itu, memberi maaf pada diri adalah bagian dari proses penyembuhan diri sendiri (Rengganis, 2019). Walau sulit, ketahuilah bahwa memaafkan diri adalah proses yang bisa dipelajari dan dikuasai asal memiliki keinginan untuk keluar dari labirin dendam dan emosi negatif. Memaafkan tidak berarti melupakan atau meniadakan kesalahan yang sudah terjadi, namun merupakan keputusan untuk terlepas dari emosi yang meracuni.
Pentingnya pengampunan diri itu agar kita dapat mencapai kedamaian batin dan kesejahteraan emosional. Dengan pengampunan, sebuah luka dapat menjadi batu loncatan sebagai media menjadi manusia dengan versi yang paling baik dari sebelumnya. Ia melepaskan kita dari beban negatif tanpa berusaha menolak penderitaan yang sudah dialami. Hasilnya, kita dapat mencintai kelebihan dan menerima ketidaksempurnaan.
ADVERTISEMENT
Kita sadari, memberi maaf pada diri sendiri bukanlah sebuah hal yang mudah dan langsung bisa diterapkan. Oleh sebab itu, terdapat beberapa tips untuk melakukan hal ini, di antaranya yakni:
a. Menemukan akar masalah: sebelum memberi maaf tentu kita harus mengenali dulu sebenarnya apa yang pertama kali menjadi pemicu permasalahan ini muncul.
b. Memiliki keinginan untuk memaafkan: dorongan yang kuat itu berasal dari dalam diri. Sekuat apa pun orang lain berusaha untuk menarik kita dari jeratan rasa malu dan bersalah, bila kita tak berkeinginan untuk keluar dari jeratan tersebut, maka hal tersebut mustahil terjadi.
c. Belajar menerima diri tanpa syarat (Barch, 2004): belajar untuk tidak perlu terlalu peduli dengan bagaimana pandangan dan ekspektasi orang lain terhadap diri kita.
ADVERTISEMENT
d. Menerima ketidaksempurnaan (Brown, 2020): tidak perlu menggunakan topeng untuk menutupi kekurangan. Kita harus belajar untuk berhenti menganggap ketidaksempurnaan sebagai bagian cacat dari diri, tetapi tanamkan bahwa ketidaksempurnaan merupakan perkara manusiawi dan anugerah untuk menjalani hidup dengan sepenuh hati.
e. Melepaskan standar kesempurnaan: menggantinya dengan perasaan cinta pada diri sendiri, mendukung diri menjadi lebih baik, dan mengakui ketidaksempurnaan.
f. Penerimaan radikal (Barch, 2004): yakni merangkul sepenuhnya diri dan realitas serta menerima sepenuhnya, baik kesenangan maupun kesengsaraan.
g. Berfikir positif dan hanya mengatakan hal yang baik pada diri sendiri: dengan menerapkan metode ini, pikiran bisa menjadi lebih tenang dan sikap juga menjadi lebih baik. Sebab, sejatinya kita akan bersikap sesuai dengan bagaimana gambaran diri kita di pikiran sendiri.
ADVERTISEMENT
h. Terus improvisasi diri: kita tidak harus terus terpenjara oleh emosi negatif dan mulailah berusaha menjadi versi terbaik untuk diri sendiri.
Ingatlah, bahwa memaafkan diri sama seperti bercermin di sungai yang jernih. Jika kita bercermin dari atas perahu tanpa mempedulikan kegelapan yang ada di dasar sana, maka yang terlihat adalah seberapa indah pantulan dari sungai tersebut. Tetapi jika kita memilih pasrah tenggelam dan hanya bercermin pada keindahan orang lain di atas sana, maka kita akan terus merasa kecil hingga perlahan tenggelam sendirian ke dasar yang gelap.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memberi maaf pada diri, masa lalu, dan berusaha berdamai dengan segala ekspektasi yang tidak terpenuhi. Dengan begitu, kedamaian batin dan kesejahteraan emosional akan terpuaskan sempurna.
ADVERTISEMENT
Referensi
Barch, T. (2004). Radical Acceptance: Embracing Your Life with the Heart of a Buddha. New York: Bantam Books.
Brown, B. (2020). The gift of Imperfection: Let Go of Who You Think You are Supposed to be. New York: Hazelden FIRM.
Enright, R. (2001). Forgiveness is a choice: A Step-By-Step Process for Resolving Anger and Restoring Hope. washington: APA Life Tools.
Kornfield, J. (2010). Art of Forgiveness, Lovingkindness, and Peace. United Kingdom: Ebury Publishing.
Luskin, F. (2010). Forgive for Good: A Proven Presciption for Health ang Happiness. New York: Harper Collins.
Neff, K. (2011). Self-Compassion: The Proven Power of Being Kind to Yourself. New York: William Morrow Paperbacks.
Rengganis, S. (2019). Maaf. Yogyakarta: Psikologi Corner.
ADVERTISEMENT