Konten dari Pengguna

Keamanan yang Diperdagangkan: Polarisasi dan Komersialisasi Ruang Aman di Bali

Hadi Pradnyana
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Warmadewa
7 Mei 2025 13:03 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hadi Pradnyana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Balinese Hindu local security called "Pecalang" stand guard during a security preparation for Saudi Arabia's King Salman bin Abdul-Aziz visit in Nusa Dua on Indonesia's resort island of Bali on March 3, 2017. King Salman bin Abdul-Aziz will visit the island from March 4 to 9. / AFP PHOTO / SONNY TUMBELAKA (Photo credit should read SONNY TUMBELAKA/AFP via Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Balinese Hindu local security called "Pecalang" stand guard during a security preparation for Saudi Arabia's King Salman bin Abdul-Aziz visit in Nusa Dua on Indonesia's resort island of Bali on March 3, 2017. King Salman bin Abdul-Aziz will visit the island from March 4 to 9. / AFP PHOTO / SONNY TUMBELAKA (Photo credit should read SONNY TUMBELAKA/AFP via Getty Images)
ADVERTISEMENT
Peralihan Fungsi, Perubahan Kuasa
Di tengah pesatnya transformasi sosial dan tekanan komersialisasi ruang-ruang hidup di Bali, sistem keamanan berbasis masyarakat adat melalui pecalang tetap menjadi fondasi penting bagi ketertiban dan harmoni sosial di Pulau Dewata. Pecalang bukan sekadar satuan penjaga acara adat, tetapi merupakan representasi dari model keamanan yang berakar dalam struktur kultural desa adat, yang menyatukan legitimasi sosial, kewajiban moral, dan solidaritas komunal. Dalam konteks ini, keamanan tidak melulu soal fungsi teknis atau institusional, melainkan bagian dari praktik hidup bersama yang dijaga oleh nilai-nilai lokal.
ADVERTISEMENT
Namun kini, tatanan tersebut berhadapan dengan tantangan serius menyusul masuknya organisasi masyarakat (ormas) luar seperti GRIB Jaya yang dikenal menawarkan jasa keamanan berbasis relasi politik dan ekonomi. Kehadiran ormas luar ini dianggap dapat menggeser pusat kendali dari komunitas lokal menuju aktor-aktor yang tidak memiliki akar kultural maupun tanggung jawab sosial terhadap masyarakat Bali. Dalam konteks ini, isu GRIB Jaya bukan sekadar polemik administratif atau preferensi kelembagaan, melainkan titik kritis dalam perdebatan lebih besar tentang siapa yang berhak mengelola rasa aman, dan atas dasar nilai apa keamanan itu dijalankan.
Setiap desa adat di Bali memiliki struktur organisasi sendiri, dan pecalang merupakan salah satu elemen dari struktur tersebut. Jumlah desa adat di Bali mencapai 1.500, setiap desa adat setidaknya memiliki 30 personel pecalang tergantung pada jumlah masyarakat serta luas dari desa adat, sehingga diperkirakan terdapat paling tidak 45.000 anggota pecalang yang tersebar di seluruh Bali. Para pecalang bekerja bukan karena dipekerjakan, tetapi karena diberi mandat adat, didorong oleh tanggung jawab moral dan ikatan komunal yang tidak bisa ditukar dengan insentif finansial. Pecalang bukan aparat negara, bukan juga bagian dari institusi bisnis keamanan swasta, tetapi aktor sosial yang posisinya terletak pada simpul antara adat, otoritas moral, dan solidaritas kolektif.
ADVERTISEMENT
Keunikan sistem pecalang terletak pada legitimasi sosialnya. Mereka dihormati bukan karena bersenjata atau punya wewenang hukum formal, tetapi karena bagian integral dari masyarakat itu sendiri. Keberadaan mereka tidak mengintimidasi, melainkan menjaga harmoni. Dalam konteks upacara keagamaan, ritual adat, hingga pengelolaan lalu lintas di desa adat, pecalang hadir sebagai perpanjangan tangan nilai-nilai tri hita karana, sebuah konsep keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Dalam dunia yang semakin tergantung pada model keamanan koersif dan komersial, pecalang adalah pengecualian yang langka. Ia menunjukkan bahwa sistem keamanan tidak harus datang dari luar, atau dari atas, melainkan bisa tumbuh dari dalam. Justru karena itu, sistem ini bukan hanya unik secara kultural, tetapi juga memiliki signifikansi politis sebagai representasi kedaulatan lokal atas ruang aman. Oleh sebab itu, ketika aktor keamanan non-negara seperti ormas datang membawa tawaran jasa keamanan di Bali, persoalan yang muncul bukan hanya soal administratif atau legal, tetapi menyangkut benturan nilai, identitas, dan klaim atas siapa yang berhak mengelola rasa aman di tanah yang sarat makna spiritual ini.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi pergeseran aktor dan struktur dalam lanskap keamanan di Bali. Munculnya berbagai organisasi masyarakat (ormas) yang menawarkan jasa pengamanan secara terbuka telah mengubah wajah keamanan Bali. Ormas lokal seperti Laskar Bali, Baladika, PBB, hingga kehadiran baru ormas dari luar Bali yaitu GRIB Jaya, memperlihatkan bahwa keamanan telah menjadi arena kontestasi, bahkan komodifikasi. Keamanan tak lagi dilihat sebagai tanggung jawab komunal atau hak publik, melainkan sebagai barang yang bisa diperjualbelikan kepada siapa saja yang memiliki daya beli.
Di sinilah letak persoalan yang perlu dikritisi. Ketika keamanan memasuki logika pasar, maka ia tak lagi netral atau berbasis kebutuhan kolektif, melainkan tunduk pada mekanisme untung-rugi. Ini bukan sekadar soal perubahan aktor, tetapi menyangkut pergeseran nilai, struktur kekuasaan, hingga potensi polarisasi sosial yang lebih dalam. Komodifikasi keamanan menciptakan ruang-ruang eksklusif yang hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu, sementara yang lainnya dibiarkan rentan. Akibatnya, terjadi fragmentasi dalam persepsi aman dan bentuk pengelolaan ketertiban.
ADVERTISEMENT
Komersialisasi dan Kolonisasi Keamanan
Matt McDonald and Lee Wilson (2017) dalam publikasi jurnal berjudul Trouble in Paradise: Contesting Security in Bali telah mengelaborasi isu komersialisasi keamanan di Bali, yang pada akhirnya menuju pada bentuk kontestasi. Komersialisasi keamanan di Bali tidak dapat dilepaskan dari struktur pariwisata yang berkembang secara pesat, namun tidak sepenuhnya inklusif. Dalam konteks ini, kebutuhan akan proteksi seringkali muncul dari sektor swasta seperti pemilik vila, klub malam, atau proyek properti, yang barangkali merasa bahwa aparat negara dan pecalang tidak cukup mampu (atau tidak cukup fleksibel) untuk mengakomodasi kebutuhan mereka. Di sinilah jasa keamanan dari ormas mulai masuk sebagai alternatif, bahkan menjadi bagian dari sistem informal yang diandalkan.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini disebut sebagai privatisasi keamanan. Otoritas keamanan tidak lagi sepenuhnya dimiliki negara atau komunitas, melainkan digeser oleh aktor-aktor non-negara yang beroperasi berdasarkan relasi ekonomi. Dalam konteks Bali, aktor-aktor ini tidak hanya menjual jasa proteksi, tetapi juga menjual simbol kekuasaan informal. Keberadaan mereka sering kali diasosiasikan dengan kekuatan politik hingga hubungan dekat dengan elite atau tokoh-tokoh tertentu. Akibatnya, keberadaan mereka tidak hanya soal "siapa yang menjaga," tetapi juga soal "siapa yang berhak atas rasa aman."
Yang menjadi masalah adalah ketika jasa keamanan tersebut tidak dibatasi oleh kerangka legal yang kuat dan tidak memiliki akuntabilitas kepada masyarakat luas. Mereka bekerja berdasarkan kontrak informal dan loyalitas sektoral, bukan pada norma hukum atau adat. Ketika terjadi pelanggaran atau kekerasan, tidak jarang penyelesaian dilakukan secara kekeluargaan atau diredam oleh kekuatan jaringan, bukan melalui mekanisme hukum yang adil. Hal ini menciptakan ruang kelabu dalam penegakan hukum dan melemahkan prinsip rule of law.
ADVERTISEMENT
Bahkan lebih jauh, isu masuknya ormas luar seperti GRIB Jaya dapat menggeser wajah keamanan di Bali dari yang sebelumnya berbasis pada sistem internal komunitas menjadi sistem yang terbuka bagi aktor eksternal. Ormas dari luar ini hadir bukan karena kebutuhan sosial lokal, melainkan karena celah ekonomi yang memungkinkan penetrasi. Ini adalah bentuk kolonisasi ruang aman oleh logika pasar, yang mengabaikan kompleksitas sosial dan budaya Bali.
Polarisasi Sosial dan Keamanan Komunitarian
Ketika keamanan diprivatisasi dan diperdagangkan, yang terjadi bukan sekadar perubahan mekanisme penyediaan jasa, tetapi juga restrukturisasi relasi sosial. Komunitas lokal yang tidak memiliki akses terhadap jasa keamanan akan semakin terpinggirkan. Mereka harus bergantung pada pecalang atau sistem komunal yang mulai kehilangan ruang operasionalnya karena tekanan pasar dan intervensi eksternal. Sebaliknya, kelompok yang mampu membayar akan memiliki kuasa atas siapa yang menjaga, kapan dijaga, dan untuk kepentingan siapa.
ADVERTISEMENT
Inilah awal dari polarisasi. Ruang sosial tidak lagi terorganisir oleh norma kolektif, tetapi oleh kekuatan ekonomi yang menciptakan batas-batas eksklusivitas. Keamanan yang seharusnya menjadi instrumen kolektif untuk menjamin ketertiban sosial justru berubah menjadi alat dominasi dan eksklusi. Di tengah lanskap sosial seperti ini, rasa aman menjadi tidak merata. Masyarakat lokal akan merasa semakin tidak berdaya ketika ruang publik mereka mulai dikuasai oleh aktor luar yang membawa sistem nilai dan relasi kuasa yang berbeda.
Pendekatan communitarian security atau keamanan komunitarian yang dikembangkan oleh Barry Buzan dan Ole Wæver (1998) sangat relevan untuk membaca situasi ini. Dalam buku berjudul Security: A New Framework for Analysis, Buzan dan Wæver (1998) menekankan bahwa keamanan tidak semata soal pertahanan atau kekerasan fisik, tetapi juga soal keberlangsungan identitas komunitas. Ketika suatu komunitas merasa nilai-nilainya diganggu, norma-normanya dilemahkan, dan ruang hidupnya direbut oleh aktor luar, maka komunitas tersebut berada dalam situasi ketidakamanan yang esensial. Dalam konteks Bali, hal ini bukan lagi hipotesis. Masuknya ormas luar seperti GRIB Jaya yang dapat mendominasi sektor keamanan adalah bentuk nyata dari apa yang disebut Buzan dan Wæver (1998) sebagai ancaman terhadap eksistensi komunitas.
ADVERTISEMENT
Langkah Apa yang Dapat Dilakukan?
Situasi ini menuntut respons yang serius dan komprehensif dari berbagai pihak. Pemerintah daerah, aparat keamanan, majelis desa adat, dan masyarakat sipil harus menyadari bahwa keamanan tidak boleh dibiarkan menjadi komoditas yang dijual bebas di pasar sosial. Bali bukan sekadar destinasi wisata, tetapi ruang hidup komunitas adat yang memiliki sistem keamanan berbasis nilai-nilai sosial dan tradisi.
Langkah fundamental yang harus dilakukan adalah memperkuat posisi pecalang sebagai aktor utama dalam sistem keamanan komunal. Ini bukan berarti menutup ruang bagi kerja sama dengan aparat negara, tetapi memastikan bahwa pecalang tidak didegradasi oleh kehadiran aktor-aktor luar yang bekerja dalam logika ekonomi dan kekuasaan informal. Selain itu, regulasi terhadap ormas yang bergerak di sektor keamanan harus diperketat. Negara tidak boleh bersikap ambigu terhadap aktor-aktor ini karena implikasinya sangat besar terhadap ketertiban dan integrasi sosial.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, yang harus diingat adalah keamanan bukan hanya soal bebas dari kekerasan, tetapi juga soal keterikatan, rasa memiliki, dan pengakuan atas identitas komunitas. Ketika keamanan telah diperdagangkan, maka yang dijual bukan hanya jasa perlindungan, tetapi juga martabat kolektif. Dan Bali, dengan seluruh nilai spiritual dan budayanya, tidak bisa dikorbankan di altar komersialisasi.