news-card-video
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Kebuntuan di Oval Office: Trump, Zelensky, dan Geopolitik Dunia

Hadi Pradnyana
Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Warmadewa
2 Maret 2025 16:37 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hadi Pradnyana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
getty images
zoom-in-whitePerbesar
getty images
ADVERTISEMENT
Pertemuan antara Donald Trump dan Volodymyr Zelensky di Oval Office, White House telah menjadi momen diplomatik yang mengguncang tatanan geopolitik global. Trump, yang kembali menegaskan pendekatan America First, tampaknya ingin mengurangi keterlibatan AS dalam konflik Ukraina-Rusia dan menekan Zelensky untuk menerima gencatan senjata. Namun, Zelensky menolak
ADVERTISEMENT
dengan tegas, karena melihat bahwa Rusia tidak memberikan jaminan keamanan yang cukup.
Dialog yang terjadi dalam pertemuan ini bukan sekadar percakapan biasa antara dua kepala negara, melainkan cerminan dari dinamika kekuasaan dalam sistem internasional. Dengan menggunakan perspektif neorealisme, teori ketergantungan dan asimetri kekuasaan, diplomasi koersif, serta institusionalisme liberal, kita dapat memahami lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana dampaknya terhadap percaturan geopolitik global.
Neorealisme: Struktur Anarki dan Kepentingan Nasional
Dalam perspektif neorealisme, seperti yang dijelaskan oleh Kenneth Waltz (1979) dalam Theory of International Politics, sistem internasional bersifat anarkis, tanpa otoritas pusat yang dapat mengatur perilaku negara. Oleh karena itu, setiap negara harus bertindak berdasarkan kepentingan nasionalnya untuk mempertahankan keamanan dan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
“In anarchy, there is no automatic harmony… among nations, and states must rely on themselves for security.” (Theory of International Politics, 1979)
Trump melihat bahwa kepentingan nasional AS tidak lagi terikat pada perang yang berkepanjangan di Ukraina. Baginya, keterlibatan militer dan bantuan ekonomi yang terus mengalir ke Kyiv hanya menghabiskan sumber daya AS, yang seharusnya difokuskan untuk memperkuat perekonomian domestik dan menghadapi ancaman yang lebih besar dari China. Dengan perspektif neorealis, Trump berusaha melakukan kalkulasi ulang keseimbangan kekuatan, bukan dengan memenangkan Ukraina, tetapi dengan mendorong kompromi yang dapat mengakhiri konflik tanpa terlalu banyak menguras kepentingan strategis AS.
Sebaliknya, Zelensky memahami bahwa menerima gencatan senjata di bawah tekanan AS hanya akan memperlemah posisi Ukraina dalam menghadapi Rusia. Dalam perspektif neorealis ofensif, seperti yang dikemukakan oleh John Mearsheimer (2001) dalam The Tragedy of Great Power Politics, negara-negara tidak hanya berusaha mempertahankan kekuatan mereka, tetapi juga mencari peluang untuk memperbesar pengaruh untuk mengamankan posisi dalam sistem internasional. Zelensky tahu bahwa menyerah pada tekanan AS akan memberikan keuntungan bagi Rusia, yang mungkin akan semakin agresif di masa depan.
ADVERTISEMENT
Teori Ketergantungan dan Asimetri Kekuasaan
Teori ketergantungan, yang banyak dikembangkan dalam tradisi Marxis oleh Fernando Henrique Cardoso dan Immanuel Wallerstein, menyoroti bagaimana negara-negara berkembang sering kali bergantung pada negara-negara besar dalam sistem ekonomi dan politik global. Ukraina, dalam konteks ini, telah menjadi negara yang sangat bergantung pada bantuan dari Barat, terutama AS dan Uni Eropa.
Namun, hubungan ini tidak setara. Ketika Trump menuntut Zelensky untuk berterima kasih atas bantuan yang telah diberikan AS, ini bukan sekadar ekspresi superioritas, tetapi juga refleksi dari asimetri kekuasaan yang ada dalam hubungan bilateral mereka. AS, sebagai negara donor dan pemasok senjata utama, memiliki leverage politik yang besar terhadap Ukraina. Robert Keohane dan Joseph Nye (1977) dalam Power and Interdependence menekankan bahwa:
ADVERTISEMENT
“Power is often exercised not through direct coercion, but through the structuring of incentives and dependencies in international relations.”
Trump memanfaatkan posisi superior AS untuk menekan Ukraina agar mengikuti agenda politiknya. Namun, Zelensky menolak tunduk begitu saja, karena ia memahami bahwa mengandalkan AS sebagai satu-satunya sekutu bisa menjadi bumerang jika kepemimpinan di Washington berubah arah. Oleh karena itu, ia mulai mempererat hubungan dengan negara-negara Eropa, yang kemudian menunjukkan dukungan mereka secara terbuka setelah pertemuan tersebut.
Diplomasi Koersif: Strategi Tekanan Trump dan Vance
Diplomasi koersif adalah strategi ketika sebuah negara menggunakan ancaman atau tekanan ekonomi, politik, atau militer untuk memengaruhi kebijakan negara lain, tanpa harus menggunakan kekuatan secara langsung. Dalam pertemuan dengan Zelensky, Trump secara implisit memberikan tekanan psikologis, seolah-olah memberi isyarat bahwa dukungan AS tidak akan berlanjut tanpa adanya kompromi dari pihak Ukraina.
ADVERTISEMENT
Alexander L. George (1991) dalam Forceful Persuasion: Coercive Diplomacy as an Alternative to War menjelaskan bahwa diplomasi koersif sering kali bekerja dalam tiga tahapan, yaitu ancaman eksplisit atau implisit, sanksi atau pengurangan bantuan, dan tawaran insentif terbatas. Trump tampaknya menggunakan kombinasi dari ketiganya untuk mendorong Zelensky menuju jalan yang lebih menguntungkan bagi kepentingan AS.
Namun, Zelensky memahami bahwa menerima tekanan ini akan melemahkan legitimasi domestiknya. Jika ia setuju untuk berkompromi dengan Rusia di bawah tekanan AS, ia berisiko kehilangan dukungan politik di dalam negeri dan melemahkan moral pasukan militer Ukraina. Dengan menolak, Zelensky tidak hanya mempertahankan kedaulatan Ukraina, tetapi juga menunjukkan bahwa negaranya tidak akan tunduk begitu saja pada tekanan kekuatan besar, bahkan dari sekutunya sendiri.
ADVERTISEMENT
Institusionalisme Liberal: Solidaritas yang Retak?
Institusionalisme liberal, seperti yang dikembangkan oleh Robert Keohane (1984) dalam After Hegemony, menekankan bahwa organisasi internasional dan kerja sama multilateral dapat mengurangi ketegangan dalam dinamika hubungan internasional. Namun, respons negara-negara Eropa setelah pertemuan Trump-Zelensky menunjukkan bahwa mereka merasa perlu untuk memperjelas posisi mereka.
Sejumlah kepala negara di Eropa secara terbuka menyatakan dukungan kepada Zelensky melalui media sosial. Seperti Kanselir Jerman, Olaf Scholz, menulis di platform X (Twitter):
“Nobody wants peace more than the Ukrainians do. Therefore we are working on a common path to a lasting and just peace. Ukraine can rely on Germany – and on Europe.”
Reaksi serupa juga datang dari pemimpin Denmark, Rumania, Finlandia, Estonia, Prancis, Portugal, dan negara-negara Eropa lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun AS mungkin akan mengubah sikapnya terhadap Ukraina di bawah kepemimpinan Trump, Uni Eropa tetap berkomitmen untuk mendukung Kyiv.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, apakah ini akan memperburuk hubungan AS-Uni Eropa? Jika Trump secara eksplisit menarik dukungan AS atau mendesak NATO untuk tidak lagi memprioritaskan Ukraina, Eropa mungkin akan dipaksa untuk mengambil peran kepemimpinan yang lebih besar dalam keamanan regional. Hal ini bisa menciptakan ketegangan antara Washington dan Brussel, mengingat perbedaan pandangan mengenai bagaimana menangani konflik Rusia-Ukraina.
Dampak pada Geopolitik Global
Ketegangan dalam diplomasi Trump-Zelensky tidak hanya berdampak pada hubungan bilateral AS-Ukraina, tetapi juga berpotensi mengubah peta geopolitik dunia. Jika AS benar-benar menarik sebagian dukungannya dari Ukraina, maka Uni Eropa harus mengisi kekosongan tersebut, yang dapat mendorong Jerman dan Prancis untuk mempercepat langkah-langkah menuju otonomi strategis mereka dalam bidang pertahanan.
Sementara itu, Rusia bisa melihat ini sebagai celah untuk memperkuat posisi militernya di Ukraina, dengan asumsi bahwa tanpa dukungan penuh AS, Ukraina akan lebih rentan terhadap tekanan di medan perang. China, yang mengamati situasi ini, mungkin akan menafsirkan ketidakpastian AS sebagai tanda bahwa Washington tidak akan terlalu agresif dalam membela sekutu-sekutunya, termasuk Taiwan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Peristiwa ini mungkin menjadi penanda bahwa dunia sedang bergerak menuju fase baru dalam dinamika geopolitik global dan keseimbangan kekuatan terus bergeser. Dari perspektif neorealisme, tekanan Trump mencerminkan strategi pragmatis AS yang semakin mengutamakan kepentingan domestik. Namun, Zelensky menolak tunduk, menunjukkan bahwa negara kecil pun dapat menolak dominasi kekuatan besar dalam asimetri kekuasaan.
Gagalnya diplomasi koersif Trump memperlihatkan bahwa Ukraina tetap bergantung pada dukungan Barat, yang langsung ditegaskan melalui respons institusionalisme liberal dari Uni Eropa. Jika AS benar-benar menarik diri, fragmentasi transatlantik bisa semakin dalam, membuka ruang bagi Rusia dan China untuk memperkuat posisinya.
Deadlock di Oval Office White House ini menjadi pengingat bahwa politik internasional telah memasuki era baru, yang mana ketidakpastian dan realpolitik kembali menjadi penentu utama arah percaturan geopolitik global.
ADVERTISEMENT