Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
16 Ramadhan 1446 HMinggu, 16 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Mengapa Militerisasi Jabatan Sipil Mengancam Demokrasi?
16 Maret 2025 10:57 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Hadi Pradnyana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam sebuah negara demokratis, supremasi sipil atas militer adalah prinsip yang tidak dapat ditawar. Indonesia sedang menghadapi tantangan serius terkait prinsip tersebut. Pemerintah dan DPR RI saat ini sedang membahas revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang salah satu poin kontroversialnya adalah perluasan peran prajurit aktif dalam jabatan sipil. Jika sebelumnya UU TNI hanya mengizinkan perwira aktif mengisi posisi di sepuluh kementerian dan lembaga negara, revisi ini memperluasnya menjadi lima belas institusi.
ADVERTISEMENT
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR RI pada 11 Maret 2025 mengungkapkan bahwa perubahan ini bertujuan untuk mengoptimalkan peran TNI dalam pemerintahan. Namun, di balik argumentasi ini, ada pertanyaan yang lebih mendasar, apakah perluasan peran militer di ranah sipil ini merupakan langkah strategis bagi Indonesia, atau justru menjadi ancaman serius bagi supremasi sipil dan demokrasi?
Kerangka Konseptual: Civil-Military Relations dan Supremasi Sipil
Untuk memahami dampak dari revisi UU TNI ini, kita perlu melihat konsep hubungan sipil-militer (civil-military relations). Dua pendekatan utama yang sering digunakan dalam studi ini adalah teori Objective Civilian Control dari Samuel P. Huntington (1957) dan konsep supremasi sipil dari Thomas Bruneau dan Florina Cristiana Matei (2008).
ADVERTISEMENT
Huntington (1957) dalam The Soldier and the State mengembangkan konsep Objective Civilian Control, yang menekankan bahwa profesionalisme militer dapat dijaga hanya jika mereka tetap berada dalam peran tradisionalnya, yakni pertahanan dan keamanan negara, tanpa campur tangan dalam politik atau ekonomi. Teori ini mengemukakan ketika militer masuk ke dalam jabatan publik, mereka cenderung membawa budaya hierarki komando ke dalam sistem pemerintahan yang seharusnya demokratis dan partisipatif.
Sementara itu, Bruneau dan Matei (2008) dalam The Routledge Handbook of Civil-Military Relations mengembangkan konsep yang lebih luas dengan menyoroti bahwa supremasi sipil tidak hanya berarti menempatkan militer di bawah otoritas sipil, tetapi juga memastikan bahwa institusi sipil memiliki kapasitas yang cukup untuk mengawasi dan mengontrol militer. Dalam konteks ini, masuknya militer ke jabatan publik dapat menciptakan overlapping authority, batas antara sipil dan militer menjadi kabur, mengancam prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan demokratis.
ADVERTISEMENT
Dalam revisi UU TNI yang sedang dibahas, kedua teori ini memberikan gambaran jelas bahwa perluasan peran militer di jabatan sipil bertentangan dengan prinsip dasar supremasi sipil yang seharusnya menjadi fondasi berharga bagi demokrasi.
Pelajaran dari Negara-Negara Lain
Sejarah dari beberapa negara seperti Myanmar, Thailand, Venezuela, dan Mesir menunjukkan bahwa ketika militer mulai masuk ke ranah sipil tanpa pengawasan yang kuat, demokrasi berada dalam bahaya. Myanmar berada di bawah kekuasaan junta militer selama beberapa dekade sejak kudeta militer tahun 1962. Upaya transisi ke demokrasi pada 2010-an sempat memberi harapan, tetapi akhirnya hancur dengan kudeta 2021 yang dilakukan oleh Tatmadaw (militer Myanmar). Salah satu faktornya adalah ketidakseimbangan dalam hubungan sipil-militer. Meskipun pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi berkuasa, militer tetap memiliki posisi kuat di dalam struktur pemerintahan, termasuk mengontrol 25% kursi parlemen dan menguasai kementerian pertahanan, dalam negeri, serta perbatasan. Dengan kata lain, supremasi sipil atas militer tidak pernah benar-benar terwujud, yang pada akhirnya membuka jalan bagi kudeta.
ADVERTISEMENT
Thailand menghadapi masalah serupa. Sejak 1932, negara ini telah mengalami lebih dari 12 kudeta militer, yang terbaru pada tahun 2014 ketika Jenderal Prayuth Chan-o-cha mengambil alih kekuasaan. Seperti Myanmar, salah satu penyebab utama kerapuhan demokrasi Thailand adalah keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil. Setelah kudeta, militer Thailand tidak hanya mengontrol kabinet, tetapi juga mendominasi ekonomi melalui kepemilikan perusahaan dan peran dalam kebijakan ekonomi nasional. Militer juga menggunakan konstitusi yang mereka buat sendiri untuk memastikan dominasi jangka panjang, termasuk dengan membentuk Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban (NCPO) yang memberikan wewenang besar kepada militer dalam pengambilan kebijakan.
Venezuela dan Mesir juga menunjukkan pola yang sama. Venezuela di bawah Nicolás Maduro telah mengandalkan militer untuk mempertahankan kekuasaannya. Banyak jenderal aktif diberikan jabatan tinggi dalam pemerintahan dan perusahaan negara, yang menyebabkan korupsi sistematis dan melemahnya supremasi sipil. Lalu Mesir mengalami kemunduran demokrasi setelah kudeta militer 2013 yang menggulingkan Presiden Mohamed Morsi. Sejak itu, pemerintahan Abdel Fattah el-Sisi semakin didominasi oleh militer, dengan banyak perwira aktif menduduki jabatan strategis di berbagai sektor.
ADVERTISEMENT
Dampak Militerisasi Jabatan Sipil
Kembali ke konteks Indonesia, jika revisi UU TNI ini disahkan, Indonesia berisiko menghadapi beberapa konsekuensi serius. Pertama, melemahnya kontrol sipil atas militer. Dalam teori Objective Civilian Control dari Huntington (1957), demokrasi yang sehat harus memastikan bahwa militer tetap berada dalam peran pertahanannya dan tidak memiliki pengaruh politik. Dengan memberikan lebih banyak posisi bagi prajurit aktif dalam pemerintahan, Indonesia justru bergerak ke arah sebaliknya.
Kedua, terancamnya transparansi dan akuntabilitas. Kehadiran militer dalam jabatan sipil dapat membuat pengawasan publik terhadap kebijakan negara menjadi lebih sulit. Dalam lingkungan yang hierarkis dan tertutup seperti militer, pengambilan keputusan cenderung tidak transparan dan sulit dikritisi. Ini bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance.
ADVERTISEMENT
Ketiga, konflik kepentingan dan ketimpangan dalam birokrasi. Ketika prajurit aktif mengisi jabatan sipil, mereka membawa kultur militer yang berbasis komando ke dalam sistem pemerintahan yang seharusnya partisipatif dan berbasis meritokrasi. Akibatnya, muncul risiko ketimpangan dalam birokrasi, pejabat sipil yang seharusnya bekerja berdasarkan keahlian justru tersisih oleh perwira militer yang mendapat posisi berdasarkan kebijakan politik.
Keempat, risiko otoritarianisme. Sejarah di berbagai negara menunjukkan bahwa begitu militer mendapatkan akses luas dalam pemerintahan, sulit untuk membatasi pengaruh mereka. Jika tren ini berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali ke era di mana militer memiliki kekuatan politik yang dominan, seperti yang terjadi di masa Orde Baru.
Kesimpulan: Demokrasi Tidak Mati Seketika, Namun Perlahan
ADVERTISEMENT
Revisi UU TNI yang memperluas peran prajurit aktif dalam jabatan sipil bukan sekadar perubahan teknis dalam tata kelola pemerintahan, tetapi sebuah ancaman serius bagi demokrasi Indonesia. Dengan meninjau pendekatan civil-military relations dari Huntington (1957) serta Bruneau dan Matei (2008), kita dapat melihat bahwa kebijakan ini bertentangan dengan prinsip dasar supremasi sipil yang seharusnya menjadi fondasi bagi negara demokratis.
Sejarah telah mencatat bahwa begitu militer diberikan akses luas ke dalam pemerintahan sipil, sulit untuk membatasi pengaruh mereka. Myanmar, Thailand, Venezuela, dan Mesir adalah contoh nyata bagaimana militerisasi pemerintahan berujung pada melemahnya kontrol sipil, korupsi struktural, dan bahkan kembalinya otoritarianisme. Indonesia, yang telah berjuang melepaskan diri dari bayang-bayang Orde Baru, kini menghadapi risiko yang sama.
ADVERTISEMENT
Jika demokrasi ingin tetap bertahan, maka batas antara domain sipil dan militer harus dijaga dengan tegas. Profesionalisme TNI bukan diukur dari seberapa banyak prajuritnya yang menduduki jabatan sipil, tetapi dari sejauh mana mereka mampu menjalankan tugas pertahanan negara dengan baik, tanpa intervensi dalam urusan politik dan birokrasi.
Demokrasi memang tidak akan mati secara tiba-tiba, tetapi perlahan, melalui kebijakan-kebijakan yang mengikis kontrol sipil. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018) dalam buku How Democracies Die memperingatkan bahwa ancaman terbesar bagi demokrasi modern sering kali bukan berasal dari kudeta militer, melainkan dari perubahan bertahap dalam institusi negara yang mengikis prinsip-prinsip demokrasi dari dalam. Levitsky & Ziblatt (3018) menulis, “Democracies erode slowly, in barely visible steps.” Jika kita membiarkan perluasan peran militer dalam jabatan sipil tanpa pengawasan yang ketat, kita mungkin tidak akan langsung melihat kehancuran demokrasi, tetapi akan menyaksikan proses kemundurannya yang perlahan dan sistematis. Indonesia harus belajar dari sejarahnya sendiri. Demokrasi hanya dapat bertahan jika supremasi sipil dijalankan secara substantif, bukan dikompromikan atas nama efisiensi atau stabilitas semu.
ADVERTISEMENT