news-card-video
4 Ramadhan 1446 HSelasa, 04 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Skandal Pertamina: Reformasi Tata Kelola atau Pergantian Elite Oligarki Energi?

Hadi Pradnyana
Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Warmadewa
28 Februari 2025 14:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hadi Pradnyana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus korupsi di PT Pertamina yang melibatkan praktik pengoplosan Pertalite (RON 90) menjadi Pertamax (RON 92) bukan sekadar persoalan ekonomi atau pelanggaran hukum semata. Dengan dugaan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun, skandal ini mencerminkan korupsi yang terstruktur dan sistematis. Dampaknya pun meluas, bukan hanya merugikan konsumen yang mengharapkan kualitas BBM premium, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seharusnya menjadi garda depan dalam melayani masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, pertanyaan yang menggelitik muncul: Apakah ini murni penegakan hukum atas praktik korupsi, atau sebenarnya ada persaingan kekuasaan, pasar, dan monopoli di sektor energi? Apakah ini merupakan upaya perebutan “circle” oligarki energi di Indonesia?
Skema Praktik Korupsi dan State Capture
Menurut temuan Kejaksaan Agung, modus operandi yang digunakan dalam skandal ini melibatkan pembelian Pertalite oleh PT Pertamina Patra Niaga, yang kemudian dioplos menjadi Pertamax di depo atau storage. Meski yang dijual adalah hasil oplosan, namun harga yang dikenakan tetap harga Pertamax yang lebih mahal. Praktik ini jelas mencerminkan manipulasi yang terstruktur dan dilakukan secara sistematis. Lebih jauh lagi, ditemukan pula indikasi penggelembungan biaya pengiriman minyak mentah oleh PT Pertamina International Shipping dengan mark-up mencapai 13% hingga 15%.
ADVERTISEMENT
Modus operandi ini mengingatkan pada konsep State Capture yang dijelaskan oleh Joel S. Hellman (2000) dalam bukunya yang berjudul Seize the State, Seize the Day: State Capture, Corruption, and Influence in Transition. Dalam konsep ini, korupsi tidak hanya terjadi secara horizontal dalam bentuk suap, namun sudah melibatkan aktor-aktor penting yang mampu memengaruhi regulasi dan kebijakan demi keuntungan pribadi dan kelompok tertentu. Dalam kasus Pertamina, ada dugaan kuat bahwa keputusan operasional dan kebijakan perusahaan tidak lagi independen, melainkan didikte oleh kekuatan oligarki yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik di sektor energi.
Degradasi Kepercayaan Publik
Skandal ini berdampak langsung pada masyarakat, terutama bagi konsumen yang memilih bahan bakar tipe Pertamax karena alasan kualitas dan kesadaran untuk tidak menerima subsidi. Dengan adanya pengoplosan, konsumen dirugikan karena mendapatkan BBM dengan kualitas di bawah standar yang dijanjikan, yang berpotensi merusak mesin kendaraan dan meningkatkan emisi gas buang. Hal ini tentu berdampak pada biaya perawatan yang lebih tinggi dan pada akhirnya merugikan konsumen secara finansial dan material.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, skandal ini berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap Pertamina sebagai BUMN yang semestinya menjalankan tata kelola transparan dan akuntabel. Dalam konteks politik, penurunan kepercayaan publik terhadap institusi negara bisa mengakibatkan delegitimasi pemerintahan yang sedang berkuasa. Francis Fukuyama (1995) dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity menjelaskan bahwa kepercayaan adalah fondasi utama dalam pembangunan ekonomi dan politik yang stabil. Ketika kepercayaan publik runtuh, stabilitas sosial dan politik pun akan terancam terganggu.
Menggali Persoalan Oligarki dan Kekuasaan
Kasus ini juga menunjukkan wajah gelap dari politik demokrasi yang dibajak oleh oligarki. Jeffrey Winters (2011) dalam bukunya yang berjudul Oligarchy menjelaskan bahwa oligarki dalam demokrasi sering kali tidak tampak secara kasat mata, namun mengendalikan kekuasaan melalui kekayaan yang terkonsentrasi pada segelintir elite ekonomi. Dalam konteks ini, skandal Pertamina tidak dapat dilepaskan dari dinamika kekuasaan dan monopoli di sektor energi.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan yang muncul adalah "apakah kasus ini murni penegakan hukum atas praktik korupsi, atau sebenarnya ada persaingan kekuasaan, pasar, dan monopoli di sektor energi? Lebih menarik lagi, ataukah ini upaya untuk merebut circle oligarki energi yang selama ini memiliki pengaruh kuat terhadap regulasi energi di Indonesia?
C. Wright Mills (1956) dalam The Power Elite menyoroti bagaimana kekuasaan dalam masyarakat modern tidak lagi tersebar merata, melainkan terkonsentrasi di tangan segelintir elite yang memiliki akses ke sumber daya ekonomi dan politik. Dalam konteks Indonesia, sumber daya energi menjadi arena pertarungan kekuasaan yang melibatkan aktor politik, pengusaha, dan pejabat negara.
Korupsi sebagai Krisis Demokrasi
Dalam perspektif politik, korupsi di Pertamina ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih dibayangi oleh oligarki yang mengendalikan kebijakan publik melalui kekuasaan ekonomi. Larry Diamond (1999) dalam bukunya, Developing Democracy: Toward Consolidation, mengingatkan bahwa korupsi yang melibatkan aktor politik dan ekonomi dapat menggerus legitimasi demokrasi dan merusak tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, kasus Pertamina tidak sekadar korupsi finansial, tetapi juga krisis demokrasi yang mengancam prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan. Ketika kebijakan publik dimanipulasi untuk keuntungan oligarki, kedaulatan rakyat menjadi terdegradasi dan proses demokrasi kehilangan esensi.
Pertarungan Kekuasaan dan Perebutan Oligarki Energi
Dengan adanya dugaan keterlibatan aktor-aktor kuat di balik skandal ini, muncul spekulasi bahwa kasus ini tidak sekadar penegakan hukum, tetapi juga bagian dari perebutan kekuasaan dalam lingkaran oligarki energi di Indonesia. Pasar energi adalah arena strategis yang melibatkan kepentingan ekonomi dan politik besar.
Apakah ini merupakan upaya untuk merebut hegemoni dalam monopoli energi nasional? Apakah ada circle kekuatan politik baru yang sedang berupaya menggulingkan oligarki lama, yang selama ini menguasai sektor energi? Ataukah ini hanyalah permainan politik untuk mengalihkan perhatian publik dari isu yang lebih besar?
ADVERTISEMENT
Michel Foucault (1980) dalam salah satu karya fenomenalnya, Power/Knowledge, menjelaskan bahwa kekuasaan bukan hanya soal dominasi politik, tetapi juga kontrol terhadap pengetahuan dan informasi. Dalam konteks ini, skandal Pertamina bisa saja digunakan sebagai instrumen kekuasaan untuk merebut pengaruh politik dan ekonomi dalam struktur oligarki yang lebih luas.
Kesimpulan: Membangun Akuntabilitas dan Reformasi Struktural
Kasus korupsi Pertamina ini menjadi cerminan betapa peliknya masalah tata kelola pemerintahan dan kekuasaan oligarki di Indonesia. Diperlukan penegakan hukum yang transparan dan akuntabel untuk membongkar praktik korupsi yang sistematis. Lebih dari itu, reformasi struktural yang menyentuh aspek regulasi energi dan transparansi korporasi menjadi kebutuhan yang mendesak.
Namun publik juga harus tetap kritis, apakah ini murni penegakan hukum, atau sekadar babak baru dalam pertarungan kekuasaan di sektor energi? Mengakhiri skandal ini tidak cukup dengan menjatuhkan hukuman pada segelintir pelaku. Diperlukan perubahan struktural yang radikal untuk mencabut akar korupsi yang telah terlembaga dalam sistem tata kelola energi. Jika tidak, Indonesia hanya akan mengulang siklus korupsi yang sama dalam wajah yang berbeda.
ADVERTISEMENT