Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menengok Model Bisnis Kekinian untuk Media Massa
2 Juni 2018 1:48 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Haekal Husain tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Waktu itu saya masih jadi mahasiswa jurnalistik. Kajian jurnalisme dan media jadi makanan pokok selain nasi. Saya ingat seorang kawan pernah berkeluh panjang lebar tentang media.
ADVERTISEMENT
"Sebagai pembaca, kami ingin memenuhi ego kami untuk membaca konten-konten eksklusif yang tak bisa dibaca banyak orang. Kami tidak ingin hanya menikmati konten-konten mainstream berparagraf pendek.
Kami juga terlalu malas untuk menenteng majalah ke sana ke sini, sangat tidak praktis. e-Magazine? Ah konsep membolak-balikan kertas secara digital sudah tidak asik. Kami ingin informasi mendalam atas sebuah fenomena, bukan sekadar berita yang harus diklik berkali-kali padahal isinya itu-itu aja."
Meski perlu riset lebih lanjut, namun sedikit-banyak saya setuju dengan apa yang diutarakan oleh kawan saya itu. Pembaca media saat ini butuh konten eksklusif sedangkan media di satu sisi juga butuh "pelicin" untuk dapat terus menjalankan roda operasional.
Nah, ada satu solusi yang bisa diterapkan. Model bisnis ini telah diterapkan di beberapa negara maju di Eropa, Amerika, dan segelintir negara di Asia: model bisnis subscription.
ADVERTISEMENT
Konsep subscription dirasa jadi konsep yang paling pas untuk diterapkan saat ini. Sifat orang-orang zaman now yang punya rasa ingin tahu tinggi ditambah ego untuk selalu menjadi yang spesial rasanya cocok untuk menjadi potensial market dari konsep ini. Tinggal pintar-pintarnya saja media tersebut 'menjual' konsep ini kepada pembaca.
Kunci keberhasilan dari model bisnis ini terletak di tim redaksi. Bagaimana redaksi mengolah isu-isu unik tapi penting yang sesuai dengan kebutuhan pembaca. Dibutuhkan insan-insan kreatif nan liar untuk menyukseskan model bisnis ini.
Media harus mampu menawarkan isu unik tapi penting yang disajikan secara eksklusif kepada pembacanya. Jangan malah konten yang biasa-biasa saja, apalagi kalau hanya sekadar konten harian yang didigitalkan.
ADVERTISEMENT
Sejauh konten yang ada worth dengan harga subscription yang ditawarkan, saya rasa model bisnis ini cukup menjanjikan.
Salah satu media yang bisa dijadikan contoh untuk konsep ini adalah Harvard Business Review . HBR pintar memilih isu apa yang menarik dan terasa penting untuk pembacanya. Meski memiliki niche yang cukup spesifik seputar bisnis, profesionalisme, dan leadership, nyatanya konten HBR tetap asyik dibaca oleh khalayak umum.
Beberapa konten seperti "How Living Abroad Helps You Develop a Clearer Sense of Self" dan "5 Ways to Project Confidence in Front of an Audience" sukses dibaca banyak orang. HBR memainkan isu penting dengan topik personal growth atau bagaimana cara meningkatkan kualitas diri.
Ya, HBR pintar menangkap kebutuhan generasi zaman now yang punya rasa ingin tahu dan rasa ingin terus berkembang yang tinggi tapi terlalu malas untuk menghabiskan waktu dan menjinjing buku ke sana kemari.
ADVERTISEMENT
Basis data yang gemuk, pemilihan isu, dan pemilihan judul yang ciamik juga mampu menghipnotis pembacanya untuk terus melakukan klik, again, and again, hingga akhirnya kuota membaca gratis pun habis. Lalu pembaca akan gemas karena ada rasa tak tuntas hingga akhirnya mau tak mau melakukan purchase agar bisa terus membaca artikel yang disediakan HBR. Cerdik bukan?
Meski rasanya tidak ada jaminan model bisnis ini akan berjalan mulus, terlebih di Indonesia yang memiliki minat baca rendah, tapi optimisme selalu ada. Terlebih generasi milenial, generasi yang jadi buah bibir itu, kini sedang memasuki tahap baru.
Uang sudah bukan masalah bagi mereka terlebih banyak yang belum memiliki tanggungan. Asal media mampu menangkap kebutuhan market, model bisnis ini bisa berjalan dengan baik.
ADVERTISEMENT