Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dilema dalam Fenomena No Viral No Justice
4 Agustus 2024 9:16 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Hafidz Aulia Faturrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai negara yang menganut prinsip negara hukum (nomocratic) dan kedaulatan rakyat (democratic), peran dan partisipasi dari masyarakat adalah suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari setiap keputusan hukum yang berlaku. Partisipasi dari masyarakat ini dapat dalam beragam bentuk, seperti memberikan saran dan masukan untuk menjaga nlai-nilai hukum dan keadilan di tengah masyarakat. Fenomena no viral no justice adalah buah hasil dari masyarakat sebagai respon atas kinerja lembaga penegak hukum yang dinilai terlalu lama dalam bertindak dan melakukan proses terhadap kasus-kasus yang ada.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan publik adalah unsur terpenting dalam membatasi perilaku masyarakat terhadap setiap keputusan dan sistem hukum yang berlaku. Namun, pada praktiknya terdapat suatu penurunan kepercayaan dari masyarakat, hal ini dapat kita lihat dari adanya fenomena no viral no justice. Masyarakat kini semakin aktif dan partisipatif dalam mengawal setiap peristiwa dan kasus-kasus yang terjadi di Indonesia, termasuk kasus-kasus hukum yang sedang ditangani atau bahkan belum diproses oleh institusi hukum Indonesia. Tindakan yang sudah melampaui batas dari masyarakat itu, bahkan dapat dikategorikan dalam tindakan “contempt of court.” Butir 4 Alinea ke-4 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan: “Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court.”
ADVERTISEMENT
Contempt of court adalah segala perbuatan, perkataan, tingkah laku seseorang yang dapat merongrong wibawa pengadilan. Apabila dikontekstualkan dengan fenomena no viral no justice, maka akan dapat disadari bahwasannya fenomena tersebut muncul karena adanya rasa ketidakpuasan dalam masyarakat terhadap kinerja penegak hukum, sehingga timbulnya keterlibatan dalam masyarakat yang tidak terkendali dan mendorong lembaga penegak hukum untuk segera menangani kasus yang sedang viral tersebut. Tentunya hal ini tidak dapat dikatakan suatu proses hukum yang baik, karena sedari awal timbul suatu persepsi bahwa lembaga penegak hukum hanya akan melakukan proses hukum terhadap suatu kasus apabila mendapat tekanan dari masyarakat untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Permasalahan utama dari fenomena no viral no justice adalah minimnya pengetahuan dan pemahaman hukum oleh para netizen dalam menanggapi suatu kasus. Umumnya mereka tidak melakukan cross check dan tidak peduli dengan benar atau salah dalam setiap kasus yang ada, namun yang terpenting bagi mereka adalah karena kasus tersebut viral. Hal ini tentunya memberikan kerugian terhadap berbagai aspek masyarakat, termasuk kepada lembaga penegak hukum / pengadilan, bahkan masyarakat itu sendiri. Seringkali lembaga penegakan hukum seperti Kejaksaan menerima sindiran, hujatan dan tanggapan-tanggapan negatif lainnya. Tentu saja hal ini dapat melecehkan martabat lembaga penegakan hukum, dan dapat menimbulkan boomerang effect bagi pelaku.
ADVERTISEMENT
Fenomena no viral no justice menjadi suatu fenomena yang kompleks dan melahirkan multitafsir di antara masyarakat, akademisi hukum dan institusi pengadilan. Pada satu sisi, fenomena ini menunjukan kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam mengawal keadilan. Namun, pada sisi lain, fenomena ini juga menunjukan minimnya pengetahuan hukum di kalangan masyarakat yang pada akhirnya dapat merugikan pihak-pihak terkait. Jika tidak segera diatasi, fenomena ini akan semakin menjerat masyarakat kepada standar-standar viral dan penanganan proses pengadilan yang tidak berdasarkan pada mekanisme hukum yang seharusnya. Jangan sampai aspek viralitas ini menjadi suatu tolak ukur, yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi / golongan tertentu.
Hafidz Aulia Faturrahman, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas, Sumatera Barat.
ADVERTISEMENT