Konten dari Pengguna

Realisasi Prinsip Equality of Opportunity dalam Putusan MK No. 60/PUU-XII/2024

Hafidz Aulia Faturrahman
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Andalas
23 Oktober 2024 14:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hafidz Aulia Faturrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pengesahan putusan dalam persidangan (Sumber:https://cdn.pixabay.com/photo/2021/07/22/17/43/gavel-6485824_1280.jpg)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengesahan putusan dalam persidangan (Sumber:https://cdn.pixabay.com/photo/2021/07/22/17/43/gavel-6485824_1280.jpg)
ADVERTISEMENT
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXIII/2024 telah mengguncang panggung politik Indonesia. MK memutuskan untuk menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah, yang sebelumnya mengunci banyak partai kecil dari arena Pilkada. Kini, partai politik hanya perlu meraih antara 6,5% hingga 10% dukungan dari daftar pemilih tetap di daerah masing-masing untuk mengusung calon kepala daerah. Keputusan ini tidak hanya memicu perdebatan hangat di tengah masyarakat, tetapi juga membawa angin segar bagi demokrasi sesuai dengan prinsip “equality of opportunity” yang menjadi salah satu landasan dalam sistem demokrasi. Namun, di balik semua ini, muncul sebuah wacana dari Badan Legislasi Pemilu untuk mengembalikan ambang batas kepala daerah dan mengabaikan putusan dari MK.
ADVERTISEMENT
Makhamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan dari Partai Buruh dan Partai Gelora untuk Sebagian ambang batas kepala daerah. Dalam putusannya, MK memutuskan bahwa ambang batas (threshold) pencalonan kepada daerah tidak lagi sebesar 25% perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20% kursi DPRD. MK memutuskan threshold pencalonan kepada daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepada daerah jalur independent/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada pada 41 dan 42 UU Pilkada.
Wacana pengembalian ambang batas Pilkada mendapat penolakan yang sangat keras dari berbagai lapisan masyarakat, banyak aksi demonstrasi di berbagai penjuru Indonesia untuk menolak wacana ini, mulai dari kalangan pelajar, seniman, politikus hingga akademisi. Alasan utamanya adalah karena putusan MK bersifat final dan mengikat sesuai dengan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Pasal ini menegaskan bahwa sifat putusan MK adalah langsung dapat dilaksanakan. Dengan demikian, tidak ada lagi forum peradilan yang dapat ditempuh setelah amar putusan keluar. Sehingga tidak ada peluang untuk mengajukan penolakan, karena itu akan bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Kemudian, fenomena dominasi politik oleh koalisi pemerintahan yang sedang berkuasa, membuat masyarakat resah karena akan memunculkan kandidat-kandidat yang kurang mewakili aspirasi masyarakat, akibat mereka berasal dari koalisi partai besar yang mengutamakan kepentingan partai dan golongan. Dengan adanya penurunan ambang batas (threshold) ini juga akan membuat kompetisi politik menjadi lebih seimbang, dan masyarakat dapat memiliki alternatif pilihan yang benar-benar merespresentasikan apa yang mereka butuhkan.
ADVERTISEMENT
A Theory of Justice oleh John Rawls menekankan pada distribusi hak-hak politik yang adil tanpa memprioritaskan golongan tertentu. Jika ambang batas dipulihkan seperti sebelumnya (20-25%), ini menciptakan diskriminasi antara partai besar dan partai kecil, serta mengurangi akses politik partai kecil untuk berpartisipasi dalam proses pencalonan kepala daerah. Hal ini bertentangan dengan realisasi dari prinsip "kesetaraan kesempatan" (equality of opportunity) yang menjadi salah satu landasan demokrasi. Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik, tidak boleh ada diskriminasi atau hambatan yang menghalangi partisipasi politik, karena setiap partai politik memiliki akses yang setara untuk menyuarakan kepentingannya selama tidak bertentangan dengan konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 menjadi dasar hukum yang kuat untuk menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. MK mengakui bahwa ambang batas yang tinggi menciptakan ketidakadilan dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas keadilan dan kesetaraan dalam proses hukum. MK juga mempertimbangkan bahwa ambang batas 25% dalam Pasal 40 UU Pilkada telah menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap partai politik yang tidak memiliki kursi, tetapi memiliki suara sah yang signifikan. Oleh karena itu, keputusan MK memberikan penegasan yuridis bahwa ambang batas yang lebih rendah sesuai dengan prinsip keadilan pemilu (electoral justice).
ADVERTISEMENT
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXIII/2024 untuk menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah adalah langkah penting dalam memperkuat prinsip demokrasi dan keadilan politik di Indonesia. Dengan ambang batas yang lebih rendah, kompetisi politik menjadi lebih terbuka dan partisipasi dari partai-partai kecil lebih terjamin, sehingga memperkaya pilihan bagi masyarakat. Demi menjaga kualitas demokrasi dan mencegah dominasi politik oleh koalisi partai besar, penting bagi Badan Legislasi Pemilu untuk menghormati putusan MK ini dan menghindari upaya mengembalikan ambang batas yang justru akan bertentangan dengan realisasi prinsip equality of opportunity dalam sistem demokrasi.