Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tidak Optimalnya Implementasi Peraturan Perundang-Undangan Pelanggaran HAM
11 Oktober 2024 10:32 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Hafidz Aulia Faturrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah isu yang bersifat universal, namun setiap negara memiliki sejarah dan dinamika tersendiri dalam memperjuangkan dan mengembangkan HAM, termasuk Indonesia. Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan, hal ini dapat dilihat dari komitmen untuk melindungi dan menegakan hak asasi manusia (HAM) melalui berbagai instrumen hukum. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyatakan salah satu tujuan dari negara Indonesia, yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 28A hingga 28J, secara tegas menjamin hak-hak dasar warga negara. Komitmen ini diperkuat dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menjadi landasan yuridis bagi perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik instrumen hukum yang telah terbangun dengan baik dan sistematis ini, pada realitanya menunjukan suatu hal yang kontras, terutama dalam hal implementasi. Selama lebih dari dua dekade era reformasi, Indonesia masih dibayangi oleh sejumlah kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan. Bulan September menjadi bulan yang identik dengan banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dari berbagai masa. Ingatan bangsa Indonesia seolah selalu dibayangi pada masa masa kelam yang menggoreskan luka mendalam bagi sejarah bangsa Indonesia. Oleh karena itu, terdapat istilah “September Hitam” sebagai bentuk pengingat sekaligus bentuk kepedulian masyarakat terhadap perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia.
Sejarah mencatat berbagai pelanggaran HAM berat di Indonesia yang meninggalkan jejak trauma dalam benak masyarakat. Gerak cepat isu HAM di Indonesia mencerminkan kenyataan pahit bahwa pelanggaran HAM di negeri ini terjadi dalam jumlah yang mencolok dan beragam, mulai dari kasus-kasus sederhana hingga pelanggaran HAM berat. Menurut Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat mencakup kejahatan genosida (the crime of genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), yang sejatinya membutuhkan penanganan serius dan komitmen kuat dari pemerintah. Salah satu yang paling dikenal adalah tragedi G30S PKI 1965. Meski peristiwa ini telah berlalu puluhan tahun, luka yang ditinggalkan masih terasa hingga kini, terutama bagi keluarga korban yang hingga saat ini masih berjuang untuk mendapatkan keadilan. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang juga sampai saat ini masih menjadi PR bagi pemerintahan, seperti : Kematian Munir Said Thalib (7 September 2004), Tragedi Tanjung Priok (12 September 1984), Penembakan Pendeta Yeremia (19 September 2020), Tragedi Semanggi II (11-24 September 1999), Penembakan Randi dan Yusuf (28 September 2019), Pembunuhan Salim Kancil (26 Desember 2015). Banyaknya kasus pelanggaran HAM berat yang belum tertuntaskan, mencerminkan adanya kesenjangan antara regulasi yang ada dan pelaksanaannya.
ADVERTISEMENT
Ketidakmampuan negara dalam menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM, bahkan kasus pelanggaran yang sudah terjadi puluhan tahun lalu, menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas implementasi dari peraturan perundang-undangan HAM di Indonesia. Pasal 71-72 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap HAM menyatakan, “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundnag-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.” Pasal 72 “Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.”
Munculnya berbagai kasus pelanggaran HAM berat telah memicu berbagai diskusi dan aksi dari masyarakat terhadap efektivitas implementasi peraturan perundang-undangan dalam konteks penegakan HAM di Indonesia. Kendati terdapat kemajuan dalam pembentukan regulasi, namun implementasinya masih menghadapi sejumlah kendala baik dari mekanisme, struktural dan kulturalnya. Pengadilan HAM, sebagai forum khusus untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat, memiliki peran sentral dalam mengisi kekosongan hukum dan memastikan tercapainya keadilan bagi korban. Pasal 104 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 secara tegas menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan Peradilan Umum. Hukum acara yang berlaku atas perkara pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 10 UU No.26 Tahun 2000, dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Namun, faktanya, pengadilan HAM di Indonesia justru tidak berfungsi secara optimal. Salah satu alasan utamanya adalah pengadilan ini cenderung terbatas hanya pada kasus-kasus tertentu dan sering kali hasilnya justru mengarah pada pembebasan para terdakwa. Hal ini terlihat dalam beberapa kasus besar yang telah dibawa ke Pengadilan HAM, seperti kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, di mana banyak pelaku yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat justru dibebaskan karena kurangnya bukti atau kegagalan penyelidikan. Proses penyidikan dan penyelidikan dalam kasus-kasus HAM berat juga sering kali terganjal oleh berbagai prosedur yang birokratis dan kurangnya kerjasama antar lembaga penegak hukum.
ADVERTISEMENT
Secara normatif, Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang memadai untuk melindungi dan menegakkan hak asasi manusia. Namun, implementasi dari peraturan perundang-undangan terkait HAM belum berjalan sesuai harapan. Lemahnya penegakan hukum, kurangnya kemauan politik, serta masih adanya hambatan struktural dalam proses peradilan menyebabkan banyak kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak kunjung terselesaikan. Kondisi ini mencerminkan bahwa meskipun negara telah memiliki komitmen secara tertulis dalam bentuk undang-undang, penerapannya di lapangan masih jauh dari kata optimal. Untuk memastikan keadilan bagi para korban dan keluarganya, diperlukan reformasi serius dalam sistem penegakan hukum, penguatan mekanisme rekonsiliasi, dan komitmen penuh dari seluruh elemen negara untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas.
Hafidz Aulia Faturrahman, Mahasiswa S1 Fakultas Hukum
ADVERTISEMENT
Universitas Andalas