Konten dari Pengguna

Fenomena Post-Truth di Era Digital: Sensasi Dirayakan dan Esensi Diabaikan

Hafiz Haromain Simbolon
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang
14 Juli 2024 9:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hafiz Haromain Simbolon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Teknologi informasi yang kian canggih membuat interaksi manusia nyaris tidak terbatas oleh ruang dan waktu, siapapun dapat mengekspresikan informasi dan menyebarkannya secara massif. Namun, hal tersebut bagaikan pedang bermata dua, disatu sisi membuat interaksi dan ekspresi manusia tidak terbatas, dan disisi lain menyebabkan terjadinya sebuah malapetaka yang disebut dengan fenomena post-truth. Fenomena post-truth adalah fenomena di era digital yang menggambarkan sebuah kondisi dimana persepsi masyarakat akan suatu informasi lebih dipengaruhi oleh emosi, sensasi dan keuntungan pribadi daripada fakta yang terverifikasi. Terjadinya fenomena post-truth tersebut didukung dengan berseliwurannya arus informasi yang tak terbendung di berbagai platform setiap hari, ketakjuban publik terhadap informasi-informasi yang berseliwuran tersebut bukan lagi tentang esensi tetapi tentang sensasi. Publik baik secara individu maupun kelompok lebih menggaungkan informasi yang mempuyai pesona, sensasional, dan selaras dengan keuntungan pribadinya. Sebaliknya, rasionalitas dalam menyaring informasi cenderung dihindari karena terkesan kaku dan membosankan.
ADVERTISEMENT
Fenomena post-truth diawali ketika informasi yang berseliwuran di media sosial tidak ditelaah oleh publik dengan rasional dan kritis. Informasi yang mempuyai pesona, sensasional, dan selaras dengan keyakinan pribadi terus menerus dibagikan diberbagai media tanpa melalukan verifikasi terlebih dahulu akan fakta dan kebenaran dalam informasi tersebut. Suatu informasi yang penuh dengan sensasi akan dibagikan tanpa memperdulikan apakah informasi tersebut memuat fakta yang terverikasi atau tidak, sedangkan informasi yang memiliki substansi dan esensi kerap diabaikan. Itulah yang dinamakan fenomena post-truth, publik lebih memilih sesuatu yang ringkas dan sensasional tanpa mau berpikir rasional dan kritis terhadap ojektivitas suatu informasi. Fenomena ini membuat iklim sosial media telah mengabaikan objektivitas dan rasionalitas dengan membiarkan sensasi dan hasrat memihak pada keyakinan, walaupun fakta memperlihatkan hal yang berbeda. Femonomena ini juga membuat informasi yang selaras dengan keuntungan dan keyakinan pribadi lebih diutamakan daripada data dan logika dalam ruang publik.
pixabay.com
Fenomena post-truth di era disrupsi tekonologi saat ini membuat publik dapat sangat mudah dibodohi, mulai dari informasi dalam fyp media sosial, konspirasi tidak berdasar, hingga penyebaran hoaks yang massif. Pembodohan tersebut terjadi ketika publik tidak mampu dalam memverifikasi kebenaran suatu informasi. Selama tahun 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menangani sebanyak 1.615 konten isu hoaks yang beredar di website dan platform digital. Total sejak bulan Agustus 2018, sudah 12.547 konten isu hoaks yang telah ditangani Kementerian Kominfo. Tingginya angka peredaran konten hoaks tersebut merupakan salah satu dampak dari fenomena post-truth. Hal itu desebabkan karena konten yang memuat informasi sansasional dan selaras dengan keyakinan pribadi terus menerus dibagikan secara massif oleh banyak orang tanpa melewati proses seleksi dan filterisasi terlebih dahulu. Pada kondisi tersebut, mentalitas imiah berperan untuk menemukan ruang rasionalitas melalui nalar ktitis dalam menelaah kenaran suatu informasi. Namun, dengan angka 12.547 konten hoaks diatas menunjukkan bahwa rasionalitas berupa nalar kritis dewasa ini telah terhimpit oleh konten yang dibungkus dengan pesona sensasional yang selaras dengan keyakinan pribadi.
pixabay.com
Fenomena post-truth pada akhirnya menujukkan bahwa ketakjubab publik bukan lagi soal esensi, tetapi sensasi dan eksistensi. Fenomena ini menuntut kita untuk lebih arif dan bijaksana dalam merespon suatu informasi yang diterima untuk mencegah penyebaran hoaks. Melalui tulisan ini, penulis hendak mengajak kita semua untuk mengaktifkan mentalitas ilmiah dan nalar kritis dalam menerima dan menyebarkan suatu informasi dalam rangka mencegah penyebaran konten hoaks. Pencegahan penyebaran konten hoaks adalah tanggungjawab kolektif pengguna sosial media. Salah satu caranya adalah dengan mengisi ruang kosong di otak dengan ilmu pengetahuan dan memperindah perilaku yang sesuai dengan moralitas. Selain itu, perlu rasanya kita untuk meperhatikan kredibilitas platform/penyebar informasi sebelum membaca dan menyebarkan suatu informasi.
ADVERTISEMENT