Konten dari Pengguna

Mengkaji Legalitas Presiden dalam Melaksanakan Kampanye Pemilu

Hafiz Haromain Simbolon
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang
5 Februari 2024 16:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hafiz Haromain Simbolon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilu tahun 2024 merupakan salah satu pemilu dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia yang memiliki persoalan-persoalan yang cukup kompleks, mulai dari sistem pemilu yang proporsional terbuka atau tertutup, polemik putusan Mahkamah Kontitusi mengenai batas usia capres, polemik putusan MKMK terkait pelanggaran etik hakim MK, dan sebagainya. Kemudian timbul lagi suatu persoalan terkait pemilu yang menarik atensi publik yaitu persoalan legalitas presiden dalam melaksanakan kampanye. Apakah presiden legal melaksanakan kampanye mengingat presiden merupakan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara? Jawabannya adalah tentu saja boleh dengan berbagai ketentuan. Namun, diperlukan penjelasan dan pengkajian yang kompleks terkait legalitas presiden dalam melaksanakan kampanye agar potensi kesalahpahaman oleh masyarakat dapat diminimalisir.
pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
pixabay.com
Jika dilihat dari segi teori ilmu hukum, Indonesia merupakan negara yang menganut konsep civil law yang juga secara otomatis menganut aliran hukum positivisme. Dalam aliran hukum positivisme, sumber utama kelegalan suatu perbuatan adalah hukum tertulis berupa hukum positif. Mengkaji mengenai persoalan legalitas, artinya mengkaji mengenai boleh/tidak boleh, sah/tidak sah suatu perbuatan dilaksanakan berdasarkan hukum positif atau hukum yang berlaku saat ini. Oleh karena itu, ketika kita mengkaji legalitas presiden melaksanakan kampanye, berarti kita mengkaji apakah presiden boleh dan sah secara hukum melaksanakan kampanye berdasarkan hukum positif. Dalam konteks Pemilu, hukum positif yang memuat segala ketentuan mengenai pemilu termasuk didalamnya pelaksanaan kampanye adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau yang kerap disebut dengan UU Pemilu. Jadi, pedoman dalam menentukan legalitas presiden dalam melaksanakan kampanye adalah UU Pemilu sebagai hukum posistif yang memuat persoalan Pemilu.
ADVERTISEMENT
Dalam UU pemilu, kampanye dimuat dalam bab VII yang terdiri dari sebelas bagian. Pihak-pihak yang dilarang ikut serta dalam pelaksanaan pemilu dimuat dalam bagian keempat tepatnya dalam pasal 280 ayat (2) yang secara ekplisit verbis melarang beberapa penyelanggara negara ikut serta dalam pelaksanaan kampanye. Beberapa penyelanggara negara tersebut adalah seluruh jajaran hakim Mahkamah Agung termasuk hakim pada semua peradilan yang dinaungi Mahkamah Agung, hakim konstititusi, ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, gubernur/deputi gubernur senior/deputi gubernur Bank Indonesia, direksi, komisaris/dewan pengawas//karyawan Badan Usaha Milik Negara maupun Badan Usaha Milik Daerah, pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural, Aparatur Sipil Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa/perangkat desa dan anggota Badan Permusyawaratan Desa. Dalam deretan nama penyelanggara-penyelanggara negara tersebut, tidak terdapat nomenklatur presiden. Artinya, berdasarkan pasal tersebut presiden tidak dilarang ikut serta dalam pelaksanaan kampanye pemilu.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, masih pada bab VII bagian keempat tepatnya pasal 281 ayat (1-2), ayat 1 pasal tersebut menyebutkan bahwa ketika presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota ikut serta dalam pelaksanaa pemilu, maka harus memenuhi ketentuan-ketentuan berupa tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai perundang-undangan, dan harus menjalani cuti di luar tanggungan negara. Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dari kontruksi pasal tersebut, dapat dipahami bahwa pelaksanaan kampanye oleh presiden adalah sesuatu yang legal dengan batasan-batasan yuridis berupa tidak boleh menggunakan fasilitas negara, harus menjalani cuti dan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara. Kemudian, masih pada bab yang sama, bagian kedelepan tepatnya pasal 299 ayat (1-3) UU Pemilu. Diebutkan secara ekplisit verbis pada ayat (1) bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak berkampanye, kemudian ayat (2) menyebutkan bahwa pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota Partai Politik mempunyai hak melaksanakan kampanye, dan ayat (3) Pejabat negara lainnya yang bukan berstatus sebagai anggota Partai Politik dapat melaksanakan kampanye apabila yang bersangkutan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, anggota tim kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU, atau pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU.
ADVERTISEMENT
Legalitas presiden dalam melaksanakan kampanye dipertegas lagi dalam pasal 300,301, 304, 305 UU Pemilu yang secara keseluruhan memberikan hak kepada presiden untuk melaksakan kampanye dengan batasan-batasan yuridis dan etis berupa tidak menggunakan fasilitas negara, menjalani cuti diluar tanggugungan negara dan tetap memperhatikan tugas penyelenggara negara. Fasilitas negara yang dilarang digunakan dalam pelaksanaan kampanye dijelaskan dalam pasal 304 UU Pemilu, yaitu berupa kendaraan dinas, gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik pemerintah pusat/daerah, kecuali pada daerah terpencil dengan memperhatikan prinsip keadilan, kemudian dilarang juga memakai radio sandi/telekomunikasi milik pemerintah baik itu pusat/daerah,, dan fasilitas lainnya yang dibiayai oleh APBN/APBD terkecuali apabila fasilitas-fasilitas tersebut disewakan kepada umum. Selain itu, pada pasal 305 ayat (1) memberikan pengecualian juga kepada presiden yang melakukan kampanye untuk tetap mendapatkan fasilitas pengamanan, kesehatan, dan protokoler yang dilakukan sesuai kondisi lapangan secara profesional dan proporsional.
ADVERTISEMENT
Jika kita telaah secara teliti pada pasal-pasal yang penulis jelaskan diatas yaitu pasal 281, 299, 300, 301, 304, dan 305, terlihat dengan jelas bahwa terdapat upaya legislator untuk mengklasifir nomenklatur presiden, pejabat negara lainnya, dan pejabat daerah. Berdasarkan hal tersebut dapat ditafsirkan secara tekstual bahwa UU Pemilu sebagai hukum positif mengatribusikan secara khusus seperangkat hak kepada presiden untuk melaksanakan kampanye dengan batasan-batasan tertentu. Seperti yang penulis sampaikan diawal bahwasanya dalam aliran positivisme yang dianut Negara Indonesia diyakini bahwa yang menjadi sumber utama dan standar kelegalan suatu perbuatan adalah hukum positif. Hal tersebut juga berkaitan dengan teori hukum murni oleh Hans Kelsen yang berpandangan bahwa hukum bebas dari anasir-anasir yang non-yuridis seperti sosiologis, politis, historis dan etis. Oleh karena itu, hukum hadir sebagai tiang kokoh yang membuat terang kelegalan atau kebasahan suatu perbuatan. Jadi terlepas dari konfigurasi politik saat ini, keadaan sosial, dan perdebatan etis, pelaksanaan kampanye oleh presiden adalah suatu perbuatan yang legal dengan batasan-batasan berdasarkan hukum positif.
ADVERTISEMENT