Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Socio-legal dalam Kajian Hukum: Memahami Hukum tidak Sekedar Doktrin Normatif
21 Oktober 2024 12:06 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Hafiz Haromain Simbolon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pertanyaan mengenai persoalan kompleksitas hukum dan keadilan yang menyangkut kaum terpinggirkan kerap kali tidak bisa dijawab hanya dengan mengandalkan doktrin normatif secara tekstual. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan pendekatan lintas bidang untuk penelitian hukum berupa pendekatan interdisipliner yang menggunakan perspektif dari berbagai ilmu sosial lain. Oleh karena itu, pendekatan socio-legal hadir untuk memahami persoalan komplesitas hukum dari studi besar tentang ilmu hukum dan ilmu-ilmu tentang hukum dari perspektif kemasyarakatan yang cakupan outputnya lebih mendasar, komprehensif, dan mencerahkan.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya, pendekatan untuk penelitian hukum dibagi menjadi dua. Pertama, metode pendekatan doctrinal atau sering disebut sebagai penelitian hukum normatif (black-letter approach). Kedua, metode pendekatan non-doktrinal atau yang sering disebut penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif berfokus pada hukum sebagai dogma. Sedangkan fokus penelitian hukum empiris adalah hukum dalam kenyataan (law in action). Namun, seiring berkembangnya zaman, para akademisi mencoba menggabungkan kedua metode di atas. Hal tersebut dilakukan guna menjawab kompleksitas masalah hukum, sehingga kemudian muncul pendekatan baru berupa penelitian hukum “yuridis-empiris”. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian yuridis-empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengidentifikasi hukum sekaligus menelisik efektivitas implementasinya di masyarakat.

Pembeda pendekatan socio-legal dengan ketiga metode penelitian hukum sebelumnya adalah lintas bidang yang diterapkan dalam socio-legal dalam memandang permasalahan hukum (interdisipliner). Dalam artian, Socio-legal memanfaatkan pendekatan antar bidang keilmuan yang mengintegrasikan studi hukum dengan ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan ilmu politik. Pendekatan ini pada umumnya digunakan untuk memahami bagaimana hukum diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Fokus pendekatan socio-legal adalah mengkaji hukum dan masyarakat serta menyelidiki dinamikanya secara teoritikal dan praktikal.
ADVERTISEMENT
Secara historis, Istilah socio-legal ini sudah dikenalkan oleh Paul Scholten, pendiri sekolah hukum pertama yang didirikan di Batavia tahun 1924 (Rechtshogeschool). Paul Scholten memperkenalkan istilah socio-legal dilatarbelakangi oleh pemahamannya bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang mencari pengertian tentang hal yang ada (het bestaande), dan untuk mencari pengertian tersebut tidak dapat dicapai tanpa mengkorelasikan hukum dengan bahan-bahan historikal maupun kultural. Pemahaman Scholten terhadap ilmu hukum itu berawal dari kritikannya terhadap aliran positivisme oleh Kelsenian. Aliran positivisme oleh Kesenian menganggap hukum adalah data hukum normatif yang terbatas dan terisolasi dari konteks-konteks historical dan kultural. Menurut Scholten, hukum bukanlah benda terbatas dan terisolasi, hanya berupa Doktrin hukum normatif. Perlu dipahami bahwa doktin hukum normatif berupa peraturan perundang-undangan dan berbagai kebijakan sekalipun, adalah produk dari tawar menawar politik, kultural, dan historikal. Oleh karena itu, akan sukar menganggap bahwa hukum bisa dibatasi dan diisolasi dari kepentingan politis, historis, kultural dan bahkan relasi kuasa dalam praktiknya dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Memahami pendekatan socio-legal terhadap praktisi hukum, terkhusus penyandang pelaksana kekuasaan kehakiman (Magistraat) adalah sesuatu yang penting. Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pelaksana kekuasaan kehakiman dalam mengemban kewenangan, tugas, dan tanggungjawabnya tidak boleh hanya berpedoman pada doktrinal normatif semata, tetapi juga harus mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Pendekatan Socio¬-legal dapat membantu hakim dalam menemukan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut melalui penggunaan disiplin bidang-bidang keilmuan sosial seperti, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
Kemudian, sama halnya dengan Instansi Kejaksaan, Pasal 8 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan mewajibkan para Jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus bertindak berdasarkan hukum dan hati nurani, dengan mempertimbangkan norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, sambil senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya. Pendekatan Socio-legal dapat membantu jaksa dalam menemukan norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat tersebut melalui penggunaan disiplin bidang-bidang keilmuan sosial seperti, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Dari uraian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pendekatan socio-legal berimplikasi terhadap semakin luasnya perspektif yang diperoleh terhadap suatu persoalan hukum di masyarakat. Pendekatan socio-legal tidak hanya berpedoman pada doktrinal hukum secara tekstual, tetapi juga kontekstual ketika hukum tersebut diimplementasikan. Hal itu tercermin dari makna kata ‘socio’ dalam socio-legal studies yang merepresentasikan keterkaitan antara hukum dan konteks di mana hukum tersebut berada (an interface with a context within which law exists).