Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ekonomi dan Perasaan
30 April 2023 13:56 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Hafiz Minhajuel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1975, Pepsi menantang Coca-Cola dalam adu rasa melalui blind taste melalui kampanye "Pepsi Challenge". Dalam tantangan ini, Pepsi mengadakan uji rasa secara buta di mana konsumen akan mencicipi kedua minuman tanpa mengetahui mereknya, dan memberikan penilaian terhadap rasa yang lebih disukai.
Hasilnya rasa Pepsi lebih disukai dibandingkan dengan Coca-Cola. Kemenangan mutlak menjadi milik Pepsi. Namun hal ini menimbulkan pertanyaan:
Read Montague, seorang neuroscientist, mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menjalankan studi yang menarik tentang Pepsi Challenge dan aktivitas otak manusia.
Dalam studi ini, Montague dan timnya melakukan eksperimen dengan menggunakan teknologi pemindaian otak fungsional (fMRI) untuk memonitor aktivitas otak subjek saat mereka mencicipi Pepsi dan Coca-Cola.
Para subjek juga diminta untuk melakukan Pepsi Challenge, di mana mereka diminta untuk mencicipi kedua minuman tanpa mengetahui mereknya dan memilih yang lebih disukai.
ADVERTISEMENT
Jawabannya tetap sama, hasil studi menunjukkan bahwa sebagian besar subjek lebih menyukai rasa Pepsi. Namun yang menarik adalah ketika label merek dipasang, preferensi mereka berubah dan sebagian besar memilih Coca-Cola.
Aktivitas otak yang lebih tinggi diamati saat subjek mencicipi Coca-Cola, menunjukkan bahwa minuman ini lebih menarik bagi subjek secara emosional. Pada saat itu ia menyimpulkan bahwa otak sedang mengingat hal-hal dari iklan Coca-Cola, dan emosi yang melekat pada merek mengesampingkan kualitas produk yang sebenarnya.
Konsumen Membeli Perasaan
Steve Jobs pernah ditanya apakah dia ingin mengerjakan riset pasar, Ia menjawab,
Sebagai konsumen, kita merasa mengerti akan apa yang kita inginkan. Pada kenyataannya, kita tidak tahu banyak tentang diri kita sendiri. Berbagai keputusan ekonomi yang kita buat setiap harinya banyak dipengaruhi dan bahkan didominasi oleh emotional consideration ketimbang rational consideration.
ADVERTISEMENT
Studi yang dilakukan Montague menunjukkan bagaimana kenangan dan hubungan emosional dapat mengubah keputusan dan mengesampingkan kualitas yang selama ini kita anggap sebagai kunci dalam bisnis.
Kita sering melihat di mana seseorang membeli produk atau jasa bukan hanya karena kebutuhan fungsionalnya, tetapi juga karena keinginan untuk mendapatkan perasaan tertentu. Misalnya, seseorang mungkin membeli produk baju atau tas yang mahal bukan hanya karena kualitasnya yang baik, tetapi juga karena merasa lebih percaya diri.
Dalam dunia pemasaran, banyak merek ternama yang berhasil menjual produk mereka dengan mengaitkan emosi atau perasaan tertentu dengan produk yang mereka tawarkan, seperti Nike, Starbucks,Coca-Cola, dan merek Indonesia seperti Wardah hingga Hijup.
Kita melihat bagaimana nama-nama besar tersebut tidak hanya menunjukkan fitur dari produk yang mereka jual, tetapi juga cerita yang menyentuh emosional dan experience yang mereka tawarkan membuat mereka menjadi pilihan konsumen.
ADVERTISEMENT
Strategi pemasaran seperti branding, iklan, dan promosi seringkali dirancang untuk membangkitkan perasaan tertentu pada konsumen, seperti kepercayaan diri, kebahagiaan, atau rasa aman. I
ni dapat dilihat dalam iklan-iklan yang menampilkan orang-orang bahagia dan sukses yang menggunakan produk tertentu, atau dalam kampanye iklan yang menekankan keamanan dan kualitas produk.
Perasaan dan Uang
Ketika kondisi ekonomi stabil dan bertumbuh, maka orang-orang cenderung merasa senang, percaya diri, dan optimistis tentang masa depan. Di sisi lain, ketika kondisi ekonomi buruk, orang-orang cenderung merasa khawatir, gelisah, dan pesimis.
Begitu pula ketika kita cenderung memiliki perasaan negatif atau positif, kita sering mengabaikan fakta dan mengikuti apa kata hati.
Orang yang memiliki kekhawatiran tinggi akan mudah dipengaruhi sehingga tidak heran banyak orang membeli suatu produk hanya sekadar ikut-ikutan karena takut ketinggalan tren, fear of missing out (FOMO), hingga panic buying.
ADVERTISEMENT
Ketika orang yang sedang happy dan euforia, mereka juga lebih mudah mengeluarkan uang . Hal ini sering kita lihat di acara-acara konser atau tempat wisata di mana mereka membeli merchandise atau oleh-oleh yang sebenarnya tidak terlalu mereka butuhkan.
Tetapi mereka tidak ingin kebahagiaan-kebahagiaan saat itu hilang. Buah tangan yang mereka bawa pulang diharapkan menjadi kenangan untuk mengingat momen kebahagiaan itu.
Tidak jarang setiap akhir bulan kita mendengar teman kita mengeluh,
Dalam buku "The Psychology of Money" yang ditulis oleh Morgan Housel menjelaskan bagaimana manusia sangat sulit dan tidak rasional dalam mengelola keuangan. Padahal jika kita berpikir secara sederhana, mengelola keuangan sesungguhnya mudah.
Namun kembali lagi, yang memegang uang adalah manusia, bukan robot dengan kalkulator. Perasaan manusia yang mengatur uang kemana harus dikeluarkan untuk mencari kebahagiaan sesaat dan menjauhi kepedihan.
ADVERTISEMENT
Perputaran Ekonomi Didorong oleh Perasaan
Kita bisa melihat bahwa ekonomi tidak bisa dipelajari hanya melalui hitung-hitungan dan data statistik. Kebahagiaan, kesedihan, dan rasa takut manusia sangat berpengaruh besar dalam ekonomi.
Mereka yang bisa mengenali dan mengelola emosi pada diri sendiri cenderung lebih melihat informasi, untung-rugi, dan bijak dalam mengambil keputusan.
Persaingan antara Pepsi dengan Coca-Cola menjadi contoh bagaimana ikatan emosional sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan.
Begitu pula ketika manusia berurusan dengan uang di mana kita sering sekali menggunakan uang tidak tepat karena lebih mementingkan kebahagiaan sementara.
Ekonomi dan perasaan bergandengan mesra, tidak bisa dipisahkan. Hal ini karena kegiatan ekonomi dijalankan oleh manusia, makhluk yang berperasaan.