Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Menuju OECD: Siapkah Rakyat Bayar Harganya?
3 Februari 2025 21:55 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari HAFIZ SULIH SYADRIA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam waktu satu sampai dua tahun kedepan, pemerintah Indonesia menjadikan target untuk bisa menjadi anggota penuh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sebagai prioritas ekonomi internasional. Sebagai anggota penuh, berbagai manfaat dapat diperoleh, seperti akses yang lebih luas terhadap informasi dan pengetahuan yang dimiliki OECD sebagai pusat pemikiran global. Selain itu, keanggotaan ini membuka peluang lebih besar untuk berpartisipasi dalam penelitian kebijakan antarnegara. Pemerintah juga mendapat keuntungan berupa akses awal terhadap diskusi mengenai standar kebijakan ekonomi dan pembangunan yang dirumuskan oleh OECD.
Namun, OECD memberikan sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh Indonesia untuk bisa menjadi anggota penuh, salah satunya meningkatkan rasio pajak (tax ratio). OECD memberikan beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam meningkatkan rasio perpajakan, salah satunya adalah memperluas objek pajak.
ADVERTISEMENT
Ya, untuk meningkatkan tax ratio yang dilakukan adalah memperluas objek pajak bukan meningkatkan tarif pajak. Artinya, makin banyak lapisan masyarakat yang akan terjaring sebagai wajib pajak yang diwajibkan untuk menyetorkan pajaknya setiap tahunnya. Hal yang dapat dilakukan diantaranya dengan menurunkan ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) dan menurunkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Dikutip dari laporan OECD, "Menurunkan ambang batas kewajiban pajak serta mengurangi jumlah sektor yang tidak kena kewajiban pajak akan meningkat penerimaan perpajakan”. Pengusaha kena pajak yang saat ini senilai Rp4,8 miliar dari omzet per tahun direncanakan akan diturunkan menjadi Rp3,6 miliar dari omzet per tahun. Untuk pajak penghasilan (PPh) orang pribadi diturunkan dari saat ini Rp54 juta dalam rangka meningkatkan basis pajak. Untuk ambang batas yang baru disesuaikan kembali dengan keperluan pemerintah dan keadaan ekonomi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan OECD, nilai PTKP saat ini setara dengan 65% dari produk domestik bruto (PDB) per kapita masyarakat Indonesia. Hal ini menyebabkan sebagian besar kelas menengah di Indonesia tidak terkena Pajak Penghasilan (PPh). Akibatnya, hanya sekitar 10% masyarakat Indonesia yang membayar PPh, jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara ASEAN, di mana 15% masyarakatnya menjadi pembayar pajak.
Fakta di lapangan tak seindah teori di ruangan. Hal tersebut akan memicu dan megakibatkan gejolak di masyarakat dan bukan tidak mungkin efek domino akan terjadi di berbagai sektor. Bukan hanya masyarakat berpendapatan rendah yang merasakan dampaknya tetapi masyarakat berpendapatan lebih tinggi juga merasakan karena adanya penambahan pajak per lapisannya. Dampak yang paling dirasakan adalah penurunan daya beli masyarakat, terutama masyarakat berpendapatan rendah.
ADVERTISEMENT
Dengan bertambahnya individu yang akan dikenakan pajak penghasilan, mereka akan dihadapkan pada beban finansial yang bertambah sehingga dapat mengurangi kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Hal tersebut memiliki potensi untuk memperburuk kondisi ekonomi nasional karena daya beli yang menurun dapat berakibat pada penurunan permintaan barang dan jasa.
Risiko memperluas kesenjangan sosial yang mana masyarakat yang sudah rentan akan semakin tertekan oleh kewajiban pajak yang baru juga menjadi ancaman. Apabila tidak dikelola dengan sesuai, situasi ini dapat memicu ketidakpuasan dan gejolak sosial di tengah masyarakat.
Penurunan PTKP tidak hanya terbatas pada dampak langsung terhadap individu tetapi dapat memengaruhi kondisi roda perekonomian secara nasional. Peningkatan jumlah wajib pajak akibat penurunan PTKP dimimpikan dapat serta merta meningkatkan penerimaan negara melalui perpajakan. Namun, yang dapat terjadi malah hal sebaliknya yang mana dapat mendorong praktik penghindaran pajak, di mana individu mencari celah untuk mengurangi, bahkan menghindari kewajiban pajak mereka.
ADVERTISEMENT
Selain itu, apabila kebijakan yang diterapkan tidak disertai dengan peningkatan transparansi dan keadilan dalam pengelolaan anggaran negara, tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah akan terus menurun. Masyarakat dapat merasa bahwa mereka kurang bahkan tidak mendapatkan imbal balik yang setimpal dari pajak yang mereka bayarkan sehingga menciptakan rasa ketidakpuasan yang lebih luas. Dalam jangka panjang, semua faktor tersebut dapat memberikan dampak negatif pada stabilitas sosial dan ekonomi Indonesia.