news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Memahami Peta Depresiasi Rupiah

Hafizh Bakri
Manusia yang selalu berprogres
Konten dari Pengguna
13 Mei 2018 15:01 WIB
Tulisan dari Hafizh Bakri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rupiah melemah terhadap dolar. (Foto: Antara/Hafiz Mubarak)
zoom-in-whitePerbesar
Rupiah melemah terhadap dolar. (Foto: Antara/Hafiz Mubarak)
ADVERTISEMENT
Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menjadi diskursus yang sedang “panas” diperbincangkan oleh khalayak ramai. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan besar bagi sebagian orang, apakah dalam pelemahan rupiah ini memliki dampak yang begitu serius bagi perekonomian kita, sehingga banyak orang berbondong-bondong untuk mengingatkan presiden akan hal ini.
ADVERTISEMENT
Atau mungkin isu ini sengaja lebih digiring ke sisi politisnya, karena sekarang berdekatan dengan momentum pilpres, ditambah Jokowi juga pernah berjanji, sebelum menjadi Presiden, kalo beliau naik maka nilai tukar rupiah-dolar AS bisa naik menjadi Rp 10.000,- .Dan realitasnya nilai tukar rupiah-dolar AS hari ini menembus nilai psikologis sebesar Rp 14.069,-.
Kondisi ini merupakan salah satu pelemahan cukup besar selama Jokowi menjabat sebagai Presiden, yang sebelumnya rupiah pernah menginjak posisi pada Rp 14.400-an pada tahun 2015 bahkan banyak analis menyatakan pelemahan nilai rupiah kali ini bisa menembus level Rp 15.000,- jika tidak ditanggapi dengan serius oleh eksekutif kita. Dan sangat disayangkan respons para eksekutif kita terlalu menggampangkan kondisi ini.
ADVERTISEMENT
Cukup dengan mengatakan “Rupiah kita melemah dikarenakan dipengaruhi faktor eksternal (luar negeri), mulai dari kebijakan The FED, kondisi ekonomi AS sampai kepada kondisi geopolitik dunia”. Memang apa yang dikatakan oleh para eksekutif ini tidak ada yang salah, karena cara yang paling mudah untuk lepas dari kesalahan yaitu dengan cara menyalahkan orang lain.
Pengendalian nilai rupiah pun hanya dilakukan dengan treatment yang biasa-biasa saja, bahkan cenderung bisa menimbulkan masalah baru, yaitu cukup dengan menaikkan tingkat suku bunga Bank Indonesia atau dengan menerbitkan bond (surat utang negara) yang tujuannya jelas untuk men-drive permintaan rupiah meningkat sehingga nilai tukar rupiah akan menguat terhadap mata uang asing termasuk dolar AS. Jarang sekali menggunakan treatment- treatment lain seperti memanfaatkan cadangan devisa kita.
ADVERTISEMENT
Devisa Kita
Secara sederhana, devisa yaitu sejumlah emas dan mata uang asing, yang dipergunakan, diterima, dan diakui oleh dunia internasional. Pemerintah dan swasta wajib memiliki cadangan devisa untuk perdagangan internasional dalam menjaga stabilitas moneter dan makro ekonomi suatu negara. Kuat atau lemahnya ekonomi suatu negara tergantung dari jumlah cadangan devisa yang disimpan oleh negara tersebut.
Menurut Bank Indonesia, cadangan devisa Indonesia per april 2018 mencapai 124,864 billion dollar AS Turun sekitar 2 billion dollar AS dari bulan sebelumnya. Uang segini bukan uang yang kecil, dengan cadangan devisa ini anda bisa membiayai belanja kementerian dan Lembaga 2,5 kali lebih banyak dari anggaran 2018, lebih banyak Rp 140 triliun dari pendapatan pajak 2018 atau tinggal menambah 473 triliun lagi anda bisa membiayai semua pengeluaran negara selama 2018, dana yang besar bukan ?
ADVERTISEMENT
Lalu kenapa uang sebesar ini engga diberdayakan oleh negara? jawabanyanya karena mayoritas uang itu punya swata bukan punya negara. Jadi gini, kita balik lagi ke awal paragraf dari tema “devisa” ini, bahwa devisa itu dihasilkan (ekspor) dari kegiatan perdagangan internasional (ekspor dan impor).
Maka selanjutnya, kita mulai dengan pertanyaan, negara itu pedagang bukan? atau negara itu memproduksi sesuatu terus dijual?, jawabannya “TIDAK”. Yang berdagang dan mengekspor itu pengusaha (baca :Swasta). Sehingga swasta menghasilkan dollar AS yang masuk ke Indonesia yang kita kenal dengan devisa. Dan devisa ini ada di tangan PENGUSAHA EKSPOR, bukan di tangan pemerintah.
Misalnya Indomie ekspor mie ke Amerika, ya dolarnya Indomie yang pegang, atau Adaro (nama perusahaan) ekspor batubara Tiongkok, yang pegang dolarnya tetap Adaro. Jadi nilai devisa 124,864 juta dollar itu benar di Indonesia. Nah, ini yang tidak diberitahu ke publik, kecuali publik yang paham makro ekonomi yaitu dolarnya (devisa) yang pegang swasta bukan negara, dan Pemerintah hanya bantu mencatat saja.
ADVERTISEMENT
Kebijakan kita dalam pengendalian nilai rupiah ini begitu-begitu saja, bahkan sekelas menteri terbaik sedunia pun tidak bisa berbuat banyak. Cuma bisa menerbitkan "bond" dengan bunga yang besar. Sehingga tiap tahun kita harus melepas anggaran belanja kita untuk bayar bunga utang saja.
Padahal kita bisa optimalkan juga peran BUMN sebagai pemasok devisa negara, akan tetapi realitasnya BUMN kita malah loyo (defisit). Laporan kuartal pertama PLN rugi 6 triliun, Pertamina rugi 5 triliun, BPJS lebih parah 10 triliun dan Garuda rugi 2 triliun. Sehingga kondisi negara tidak banyak mengalami perubahan dan mengelola persoalan ini. Selain faktor devisa, faktor Amerika Serikat juga dominan.
Peranan Paman Sam
Penguatan dan pelemahan rupiah tidak bisa dipisahkan dari kebijakan ekonomi politik AS, ketika AS memutuskan untuk menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga, maka itu akan mempengaruhi posisi rupiah terhadap dolar AS.
ADVERTISEMENT
Bahkan para pakar ekonomi sering berguyon seperti ini, kalo AS kena “Flu” maka Indonesia bisa demam”. Hal ini dikarenakan kita sangat ketergantungan dengan AS. Hal itu dibuktikan dengan 90 % transaksi luar negeri Indonesia menggunakan dolar AS. Jadi kita sangat terikat oleh AS.
Apalagi pada awal tahun 2018 kemaren kita sama-sama menyaksikan shifting kebijakan ekonomi AS, dari Quantitative Easing (QE) bergeser ke Quantitative Tightening (QT), yaitu dari pelonggaran keuangan (membeli asset public, menurunkan suku bunga agar uang di masyarakat banyak) ke pengetatan keuangan (menjual asset publik, menaikkan tingkat suku bunga, agar uang dimasyarakat berkurang). kebijakan berimplikasi pada jumlah dolar di seluruh dunia yang semakin menipis dikarenakan dollar AS kembali ke AS alias “pulang kampung”.
ADVERTISEMENT
Tapi kebijakan QT ini ternyata tidak terlalu menggerus nilai tukar mata uang negara, seperti poundsterling, dollar Singapura, dan dollar Australia. Hal ini membantah pernyataan menteri terbaik se-dunia yang menyatakan pelemahan mata uang terjadi di semua negara. Bahkan Singapura, nyaman dengan kondisi ini.
Karena paham ke mana harus merespons kenaikan suku bunga The FED sejak januari kemarin, makanya di Singapura sejak januari juga sudah menaikan tingkat suku bunganya dari 5,28% (januari) ke 5,33% (februari-april) silahkan cek saja ke (www.tradingeconomics.com). Berbeda dengan Indonesia yang tidak merubah tingkat suku bunganya sejak september 2017 hingga sekarang di poin 4,25%.
Peristiwa ini merupakan tamparan kecil dari Amerika untuk para eksekutif yang menjabat hari ini, karena Indonesia pada masa pemerintahan ini sangat ke kiri Tiongkok, sehingga AS sebagai sekutu lama Indonesia menegur melalaui kebijakan ini, ditambah hubungan Tiongkok dengan AS sedang “panas”, menyusul kebijakan “protektif” Donald Trump terhadap barang yang masuk ke AS terkhusus dari Tiongkok. Apalagi pernah ada wacana Indonesia mau ganti kiblat ke Yuan (Tiongkok). Sehingga perlu rasanya kita berhati-hati dalam melangkah, agar selamat dari trap ini.
ADVERTISEMENT
Najib salah satu korban dari perang kepentingan negara super power ini, di masa pemerintahannya seluruh sisi selatan Malaysia tersandera ke Tiongkok menjadi Selat Malaka jadi “Quasi Teritori” Tiongkok. Merasa terganggu kepentingannya, AS tidak mungkin menyerang Tiongkok, karena AS masih memiliki utang ke Tiongkok, maka dari itu yang menjadi sasaran serangannya ke Malaysia, lewat peristiwa hilangnya Pesawat Malaysia Airlines MH 370, MH 17 Malaysia yang dieksekusi untuk menurunkan kepercayaan publik pada Najib.
Ditambah dengan dibukanya oleh AS kasus korupsi 1MDB dan terkahir terkuaknya oleh FBI kapal pesiar milik Najib di Benoa, Bali, serta di blow up seminggu di media TEMPO tentang yang menceritakan dosa Najib. Sehingga kita ketahui bersama hasilnya hari ini.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi ini, kita ibarat seperti si buah simalakama, melangkah kiri salah dan ke kanan salah, kita seolah-olah terjebak dalam kekuatan besar ini, Tapi percayalah di setiap kita pasti bisa keluar dari kondisi ini. Kita cukup fokus pada masalah kita dan berani untuk keluar dari kondisi ini,
Kembali keakar masalahnya, yang kalo kita runut kejadian depresiasi rupiah ini bukanlah kali pertama dan ini merupakan kejadian rutin yang kita alami selama republik ini berdiri, kalo misalkan kondisi rupiah-dollar AS itu, seperti detak jantung kita yang terekam di monitor medis, kadang naik dan turun yang secara tidak beraturan.
Namun, walaupun kita berkoalisi erat dengan AS, tapi tidak akan pernah lepas dari depresiasi rupiah. Karena, banyak faktor yang mampu melemahkan nilai rupiah kita, mulai dari jenis mata uang yang kita gunakan yaitu fiat money (uang kertas) yang digunakan produksi tanpa back up dari sesuatu yang berharga dan perilaku pasar yang cenderung spekulatif yang keputusannya tidak jauh dari bunga. Sehingga kita butuh mata uang yang mampu cenderung stabil. Bersambung…
ADVERTISEMENT