Mencegah Penjara Kedua: Memasyarakatkan Pemasyarakatan

Hafizh Mamesah
Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas II Metro
Konten dari Pengguna
22 Agustus 2023 9:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hafizh Mamesah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Tulisan ini akan diterbitkan juga dalam buku Kapita Selekta Pemasyarakatan edisi IV, kolaborasi antara Ditjen Pemasyarakatan, Kemenkumham Muda dan Mahar Bumi

Seminar dan Diskusi Bapas Kelas II Metro tentang Peran PK dalam UU KUHP dan UU Pemasyarakatan / Arsip Bapas Kelas II Metro
zoom-in-whitePerbesar
Seminar dan Diskusi Bapas Kelas II Metro tentang Peran PK dalam UU KUHP dan UU Pemasyarakatan / Arsip Bapas Kelas II Metro
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Diskursus mengenai relevansi pemenjaraan semakin sering diperbincangkan setelah UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disahkan.
ADVERTISEMENT
Salah satu wacana yang mengemuka adalah watak punitif masyarakat dimana penghukuman dan pembalasan dianggap setimpal apabila pelanggar hukum diberikan hukuman “seberat-beratnya”.
Penghukuman tersebut tidak terlepas dari stigma dan stereotip bahwa Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dianggap sulit berbaur kembali ke masyarakat dan akan memicu pengulangan tindak pidana (residivisme).
Faktanya, persepsi mengenai pemenjaraan tersebut seringkali hanya menyasar efek jera pelaku tanpa secara khusus memberikan perhatian kepada kebutuhan korban. Karena pemenjaraan, narapidana yang telah hilang kemerdekaan berpotensi menerima hukuman berganda.
Yakni hilang kemerdekaan bagi dirinya sendiri, berkurangnya kesempatan untuk berkumpul dengan keluarganya, dan terpisah dengan perkembangan sosial dan teknologi di tengah masyarakat.

Keadilan Restoratif dan Alternatif Pemenjaraan

Ilustrasi penjara di Amerika Serikat. Foto: PAUL BUCK/AFP
Bertolak belakang dengan sudut pandang yang hanya menitikberatkan terhadap pelaku, Indonesia mulai menerapkan prinsip “keadilan restoratif” melalui UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan akan menyusul UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP.
ADVERTISEMENT
UNODC menuliskan, keadilan restoratif adalah pendekatan yang mengutamakan pada pemulihan kondisi semula terhadap korban. Dalam keadilan restoratif, Aparat Penegak Hukum dituntut memiliki pemahaman terhadap upaya perdamaian dengan melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat untuk menemukan solusi yang terbaik bagi korban.
Penerapan keadilan restoratif di Indonesia baru berlaku efektif pada perkara Anak. Salah satu terobosan dalam penerapan keadilan restoratif pada perkara Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) adalah dilibatkannya Pembimbing Kemasyarakatan (PK) sebagai petugas Balai Pemasyarakatan (Bapas) sejak tahap pra-ajudikasi, ajudikasi, hingga pasca-ajudikasi.
PK dituntut untuk memberikan pendampingan, pengawasan, pembimbingan, dan penelitian kemasyarakatan terhadap ABH dengan mengupayakan kepentingan terbaik bagi Anak. Pasal 2 huruf i UU SPPA mengatur salah satu asasnya bahwa perampasan kemerdekaan dan pemidanaan (pemenjaraan) terhadap ABH sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
ADVERTISEMENT
Selain perkara ABH, keadilan restoratif juga akan semakin gencar diterapkan pada tersangka dewasa. UU KUHP yang baru disahkan tahun 2023 menjadi penanda harmonisasi kebijakan keadilan restoratif yang sebelumnya masih berjalan parsial pada regulasi masing-masing instansi penegakan hukum.
UU KUHP berpotensi meningkatkan peran PK dari yang sebelumnya dilibatkan sebatas pasca-ajudikasi menjadi sejak pra-ajudikasi. Pasal 54 ayat (1) huruf g UU KUHP mengatur bahwa dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku tindak pidana.
Poin pertimbangan pemidanaan tersebut amat sesuai dengan definisi Penelitian Kemasyarakatan yang biasa dikerjakan oleh PK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 UU Pemasyarakatan.
KUHP juga menyinggung peran PK dalam ketentuan mengenai Pidana Pengawasan dan Pidana Kerja Sosial. Pertimbangan PK dapat menjadi landasan bagi Jaksa untuk mengusulkan atau tidak mengusulkan kepada hakim perubahan masa pengawasan dan pidana pengawasan menjadi pidana penjara. Sedangkan dalam pidana kerja sosial, PK berperan memberikan pembimbingan selama masa pidana dijalani oleh WBP.
ADVERTISEMENT

Kolaborasi Memasyarakatkan Pemasyarakatan

Ilustrasi Penjara. Foto: Shutter Stock
Peningkatan peran dan kewenangan PK dalam KUHP dan UU Pemasyarakatan menjadi tantangan sekaligus ajang pembuktian kesiapan insan pengayoman yang sejak dahulu telah mendambakan Pemasyarakatan.
Karenanya, diperlukan semangat kolaborasi dan partisipasi dalam rangka memasyarakatkan Pemasyarakatan. Salah satu konsep praktis yang dapat menjadi rujukan adalah “Crowdsourcing”.
Daren C. Brabham menguraikan, crowdsourcing adalah metode untuk menggali gagasan, potensi, dan sumber daya yang terdapat pada pihak eksternal untuk dapat berkontribusi dan berkolaborasi untuk mewujudkan tujuan yang serupa.
Pada dasarnya Bapas telah memiliki modal awal melalui Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan (Pokmas Lipas) untuk menginisiasi kolaborasi dengan pihak eksternal tersebut.
Terlebih, Pemerintah telah memberikan perhatian khusus terhadap wadah kolaborasi dan partisipasi masyarakat melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-36.OT.02.02. Tahun 2022 tentang Pembentukan dan Penyelenggaraan Griya Abhipraya.
ADVERTISEMENT
Selain menanti kebijakan top-down pasca disahkannya UU KUHP, Bapas sepantasnya dapat memantik inisiatif berbagai pihak untuk dapat terlibat dalam penyelenggaraan Pemasyarakatan. Melalui crowdsourcing, PK berpotensi mempertemukan (connecting the dots) kebutuhan kriminogenik dan responsivitas WBP dengan sumber daya yang dimiliki Pokmas.
Mengingat terbatasnya sumber daya Bapas, terdapat dua cara untuk mengoptimalkan keberhasilan partisipasi pihak eksternal. Pertama, mempertemukan kepentingan dan tujuan yang serupa antara Bapas dengan berbagai pihak.
Misal, optimalisasi program Kabupaten/Kota Layak Anak dan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Satuan Pendidikan Non-Formal Sejenis (SPNFS) oleh Pemerintah Daerah, pembangunan Kampung Restorative Justice oleh Kejaksaan, advokasi hukum oleh Paralegal, rehabilitasi medis/sosial oleh Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota, dan masih banyak lagi.
Kedua, pemberian apresiasi atau insentif bagi pihak yang berpartisipasi aktif dalam kolaborasi baik dari sektor swasta maupun lembaga pemerintah.
ADVERTISEMENT
Apresiasi terhadap kontribusi Pokmas tidak hanya dalam bentuk finansial, namun dapat juga berupa publikasi terhadap kinerja yang baik, pengenalan jejaring yang dimiliki Bapas, dan dukungan timbal balik terhadap kebutuhan Pokmas.
Mengacu pada Barabham, terdapat setidaknya dua nilai tambah apabila crowdsourcing diterapkan dalam kolaborasi sektor publik, yakni substitution value dan supplementary value. Substution value diperoleh ketika kolaborasi yang berjalan dapat mendukung sekaligus mengurangi beban kerja Bapas. Supplementary value diperoleh ketika kolaborasi yang berjalan dapat berkontribusi terhadap inovasi dan kebermanfaatan yang sebelumnya tidak dapat dikerjakan hanya oleh Bapas dan PK.
Bapas memang harus gencar menjalin komunikasi dan menjaring aspirasi untuk mewujudkan Pemasyarakatan berbasis masyarakat. Berpegang teguh pada tujuan integrasi yang dicetuskan sejak 59 tahun lalu,
ADVERTISEMENT
PK Bapas diharapkan konsisten mengikis stigma agar tidak ada lagi penjara kedua bagi WBP di tengah masyarakat.