Konten dari Pengguna

Potensi Kegagalan Pertanian Vertikal

Fadli Hafizulhaq
Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas.
10 Juni 2024 9:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadli Hafizulhaq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bibit sayur sebagai salah satu tanaman yang cocok untuk pertanian vertikal. Foto: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Bibit sayur sebagai salah satu tanaman yang cocok untuk pertanian vertikal. Foto: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun belakangan, pertanian vertikal menarik perhatian banyak praktisi pertanian dan masyarakat umum di seluruh dunia. Bagaimana tidak, konsep pertanian ini memungkinkan kita untuk bisa bertani pada lahan yang sangat terbatas. Pertanian vertikal menghadirkan mimpi bahwa suatu hari nanti manusia dapat memproduksi bahan makanan dari lahan kecil yang ia miliki. Akan tetapi saat ini orang-orang mulai meragukan mimpi indah itu.
ADVERTISEMENT
Jika kita kaji betul, sesungguhnya mimpi tadi sangat beralasan. Alasan kuatnya adalah adanya ancaman krisis pangan global yang diprediksi terjadi pada 2050 nanti. Food and Agriculture Organization (FAO), sebuah badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), memperkirakan bahwa pada 2050 nanti pertumbuhan lahan pertanian tertahan pada 4% karena besarnya pertumbuhan penduduk. Di saat yang sama kebutuhan makanan di negara berkembang menjadi dua kali lipat.
Konsep pertanian vertikal digaung-gaungkan dapat menjadi solusi atas sangat rendahnya penambahan lahan pertanian tersebut. Jika pada pertanian konvensional tanaman ditanam secara mendatar, pertanian vertikal mengusung teknik penanaman secara bertingkat naik yang minim atau bahkan tanpa menggunakan tanah.

Permasalahan Pertanian Vertikal

Munculnya keraguan terhadap pertanian vertikal didasari oleh berbagai permasalahan yang menyertainya. Persoalan ini meliputi hal-hal teknis hingga lainnya. Sebagai contoh, pertanian vertikal membutuhkan biaya yang sangat besar. Biaya ini mencakup penyediaan energi dan tenaga kerja profesional.
ADVERTISEMENT
Seiring booming-nya konsep pertanian vertikal, sebuah kekhawatiran juga membayang-bayangi pelakunya. Kekhawatiran itu adalah bagaimana bisnis pertanian vertikal ini bisa mendatangkan keuntungan dan menghasilkan produk yang harganya lebih murah dari pada produk pertanian konvensional.
Dalam sebuah pemberitaan di laman sifted.eu, pada 2020 lalu perusahaan rintisan pertanian vertikal di Eropa berhasil meraup dana sebesar setengah miliar poundsterling sebagai modal usaha dari Venture Capital, namun beberapa tahun berikutnya sebagian besar perusahaan tersebut disebut bangkrut.
Kemudian, persoalan besar lainnya terkait penerapan penerapan pertanian vertikal adalah terbatasnya jenis tanaman yang dapat ditanam. Sejauh ini pertanian vertikal umumnya masih mengandalkan metode hidroponik dalam proses produksinya. Kemampuan hidroponik terbatas pada tanaman-tanaman yang tidak membutuhkan banyak energi.
Hal tersebut membuat petani ataupun pengembang harus menemukan desain khusus jika ingin menanam tanaman yang membutuhkan energi intensif seperti melon ataupun tanaman buah-buahan yang berbentuk pepohonan. Sebagaimana yang kita ketahui, pepohonan membutuhkan media tanam yang solid agar bisa kuat mengakar.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, menimbang pertanian vertikal juga masih dalam tahap pengembangan, persoalan juga dapat muncul dari aktivitas berbagi data antara petani dengan peneliti. Kelompok pengembang teknologi ini tentu akan berpikir ulang jika diminta untuk membagikan strategi dan data penggunaan sumber daya mereka kepada khalayak umum. Kondisi ini memperkecil kemungkinan pertanian vertikal dapat diterapkan pada pertanian secara ideal.

Prospek dan Proyeksi

Hadirnya berbagai persoalan yang menyertai pertanian vertikal memunculkan sebuah pertanyaan tentang seberapa bagus prospek teknologi ini. Apakah ia bisa menjadi solusi dari semakin berkurangnya lahan pertanian sekarang ini?
Dalam konteks hari ini, penulis menilai agaknya masih jauh panggang dari pada api jika kita berharap pertanian vertikal bisa menjadi substitusi dari pertanian konvensional. Hal ini didasarkan pada belum ditemukannya formulasi terbaik dalam pengaplikasian pertanian vertikal itu sendiri. Instalasi media tanam yang tersusun vertikal membutuhkan energi yang besar dalam proses penyiraman dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Namun bukan berarti pertanian vertikal tidak layak untuk diterapkan di kondisi kekinian. Orang-orang yang mengutamakan makanan sehat dapat menggunakan teknologi ini untuk memproduksi sendiri sayuran yang bisa dijaga kualitasnya. Penggunaan teknik hidroponik pada pertanian vertikal dapat meminimalisir penggunaan pestisida yang banyak digunakan pada pertanian konvensional.
Kebutuhan lahan yang kecil membuat pertanian vertikal bisa dikembangkan oleh siapa saja terutama kalangan berekonomi menengah ke atas. Konsep pertanian modern ini juga sangat cocok untuk dikembangkan oleh para penghobi yang orientasinya bukanlah ekonomi melainkan kepuasan hati.