Konten dari Pengguna

Antara Norma Konstitusi dan Kepentingan Politik

Haidar Robbani
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30 April 2025 11:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haidar Robbani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh KATRIN  BOLOVTSOVA: https://www.pexels.com/id-id/foto/buku-buku-pustaka-perpustakaan-dalam-ruangan-6077123/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh KATRIN BOLOVTSOVA: https://www.pexels.com/id-id/foto/buku-buku-pustaka-perpustakaan-dalam-ruangan-6077123/
ADVERTISEMENT
Dalam Negara demokrasi yang berlandaskan hukum, konstitusi adalah dasar atau fondasi dari suatu Negara yang bersifat mengatur dan merupakan sumber hukum yang tertinggi. Konstitusi tidak hanya mengatur struktur suatu Negara, tetapi ia juga menjamin hak-hak dasar warga Negara. Di Negara kita ini, Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) adalah wujud nyata dari sebuah perjanjian luhur bangsa yang menjadi pedoman moral dan sumber hukum bagi seluruh penyelenggara Negara.
ADVERTISEMENT
Namun dalam praktik ketatanegaraan, sering kali muncul keresahan antara norma konstitusi yang bersifat ideal dan tetap dengan kepentingan politik yang bersifat dinamis dan fleksibel. Peristiwa ini merupakan bentuk realitas bahwa dalam sistem politik modern,hukum tidak selalu berdiri sendiri, tetapi berada di dalam arena tarik-menarik kepentingan oleh pihak-pihak yang menginginkan kekuasaan.
Norma konstitusi adalah ketentuan dasar yang terdapat dalam konstitusi yang mengatur prinsip-prinsip penyelenggaraan Negara dengan adil. Norma ini memiliki kekuatan mengikat yang tertinggi, dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ditegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Artinya, segala bentuk kekuasaan dan alat untuk mengatur Negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif harus tunduk dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, terutama hukum dasar Negara yaitu konstitusi.
ADVERTISEMENT
Norma konstitusi tidak hanya mengatur mekanisme formal, tetapi juga di dalamnya terkandung nilai-nilai dasar seperti demokrasi, keadilan, kedaulatan rakyat, dan perlindungan hak asasi manusia. Ditegaskan pula dalam pasal 28 D ayat (1) berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Norma yang seperti ini seharusnya menjadi landasan utama dalam menentukan setiap keputusan politik dan hukum yang dibuat oleh Negara.
Di sisi lain, politik adalah proses atau alat untuk mencapai, mempertahankan, dan menggunakan kekuasaan dalam masyarakat. Politik bersifat dinamis dan fleksibel yang artinya, politik mengikuti perubahan kepentingan. Ketika proses politik masuk ke dalam ruang hukum, terutama dalam perumusan perundang-undangan atau penafsiran konstitusi, maka tidak jarang hukum menjadi alat legitimasi politik. Dalam buku “Politik hukum di Indonesia” yang ditulis oleh Mahfud MD menjelaskan bahwa “Hukum tidak pernah steril dari kepentingan politik, bahkan hukum yang berlaku adalah hasil dari keputusan politik”
ADVERTISEMENT
Contoh nyata di Indonesia yaitu dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2023 yang berisi tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan tersebut mengubah ketentuan awal yang semula hanya memperbolehkan calon presiden berusia minimal 40 tahun, berubah menjadi memperbolehkan mereka yang berusia di bawah 40 tahun asalkan pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah. Putusan ini mendapat kritik karena dianggap mengandung muatan politik dan menguntungkan tokoh tertentu dalam pemilihan presiden 2024. Ketika hukum digunakan untuk kepentingan politik, maka hukum dijadikan alat untuk memperkuat kekuasaan, bukan membatasinya. Padahal, dalam Negara hukum yang baik, hukum seharusnya menjadi pembatas kekuasaan dan pelindung hak-hak dari setiap warga Negara.
Konstitusi merupakan akar dari Negara hukum dan demokrasi, bukan hanya sekadar tulisan hukum belaka. Norma-norma konstitusi tidak seharusnya tunduk pada kekuasaan, tapi justru menjadi penjaga moral dan hak-hak warga Negara. Perlu adanya komitmen bersama dari elite politik, lembaga yudikatif, dan masyarakat untuk menjaga konstitusi tetap murni dan konsisten tanpa dikotori oleh pengaruh kepentingan tokoh atau kelompok tertentu. Sebagaimana yang dikatakan Jimly Asshiddiqie “Konstitusi adalah kontrak sosial, jika dilanggar oleh pemegang kekuasaan, maka kepercayaan rakyat akan hilang”
ADVERTISEMENT