news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Militerisme Jepang di Era Taisho dan Awal Periode Showa

Haidar Trisna Tanaya
Saya adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang
24 Februari 2022 12:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haidar Trisna Tanaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Militerisme telah berkembang ketika masa Meiji. Militerisme era Meiji merupakan titik awal dari militerisme yang bersifat sentralistik, nasionalis dan modern. Hal ini lah yang kemudian memicu perang Boshin dan perang Satsuma. Perang tersebut terjadi ketika golongan militer feodal dari Tokugawa dan Samurai menolak upaya pembangunan militerisme modern ala Meij. Militerisme Meiji dapat dikatakan sebagai peletak dasar dari reorganisasi dan modernisasi militer. Modernisasi tidak hanya sebatas dalam teknologi. Akan tetapi, juga pemahaman, pandangan politik, dan ideologi yang terinspirasi dari rasa nasionalisme.
ADVERTISEMENT
Kemenangan Jepang atas China pada tahun 1895 dan Russia tahun 1905 membawa motivasi baru bagi pembangunan dan penguatan militerisme Jepang sekaligus membuktikan bahwa militerisme dapat mengantarkan Jepang menjadi aktor imperialisme di Asia, setidaknya, Asia Timur. Meiji telah meletakan suatu fondasi militerisme yang sangat penting, yaitu pemahaman bernama Fokoku Kyouhei yang berarti “Negara Kaya, Militer Kuat”. Kemenangan ini kemudian berpengaruh pada tumbuhnya pengaruh militer pada masa Taisho dan Showa.
Militerisme Era Taisho
Era Taisho disebut sebagai era keterbukaan dan demokrasi. Westernisasi secara kultural juga merambah ke masyarakat, termasuk dalam model pakaian dan restoran. Keterbukaan ditandai dengan munculnya banyak surat kabar dan majalah. Pada masa Taisho, Jepang menikmati masa-masa demokrasi dan silang budaya, sesuatu yang tidak dirasakan pada masa Meiji yang otoriter. Imbas dari keterbukaan era Taisho adalah munculnya banyak organisasi massa, khususnya organisas perburuhan yang sangat vokal menentang militerisme, perjanjian tidak adil dan penindasan lainya sebagai akibat keterlibatan Jepang pada Perang Dunia I. Aksi-aksi ini lah yang nantinya akan mendorong militer untuk bergerak dengan dalih mentertibkan situasi dan stabilitas negara.
ADVERTISEMENT
Pengaruh Perang Dunia I sangatlah besar bagi Jepang, salah satunya adalah naiknya inflasi yang berakibat naiknya harga beras. Kenaikan harga beras menimbulkan berbagai aksi protes terhadap pemerintah. Keadaan ini diperparah dengan adanya gempa besar Kanto tahun 1923 yang menyebabkan banyak kerusakan dan munculnya banyak pengungsi. Keadaan yang kacau pasca gempa juga diikuti dengan kerusuhan rasial, terutama terhadap minoritas China dan Korea yang ada di Kanton dan Tokyo.
Melihat keadaan ini, militer Jepang mulai mentertibkan situasi dengan menangkap banyak politisi. Peristiwa dibunuhnya perdana menteri Hara oleh sekelompok anarkis, mendorong politisi konservatif dan militer mengambil alih pemerintahan dan menerapkan undang-undang mengenai pemeliharaan ketertiban tahun 1925. Masa akhir Taisho menjadi masa di mana militer kembali menguat dengan mengambil kesempatan pada serangkaian peristiwa di sekitar gempa bumi Kanton dan krisis ekonomi.
ADVERTISEMENT
Militerisme Masa Awal Showa Sebelum Perang Dunia II
Showa adalah putera dari Taisho, ia menggantikan ayahnya sebagai kaisar ketika ayahnya wafat tahun 1926. Kepemimpinan Showa diwarnai dengan menguatnya pengaruh militer dan politikus ultranasionalis di Jepang setelah mengambil alih pemerintahan karena kerusuhan gempa Kanto. Beberapa kalangan petinggi militer membuat sebuah organisasi ultranasionalis bernama Sakurakai. Organisasi ini dicetuskan oleh Hashimoto Kingoro, panglima tentara imperial Jepang. Sakurakai menjadi simbol dari restorasi yang menginginkan adanya ideologi tunggal berdasarkan nasionalisme dan pemerintahan sentralistik.
Sakurakai menjadi sebuah organisasi atau ultranasionalis dan militeris baru karena banyak diisi oleh para perwira muda militer yang radikal. Pada tahun 1930, Sakurakai mencoba melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil, namun gagal. Organisasi ini kemudian dilarang, meskipun dilarang dan Hashimoto dipaksa untuk mundur, tetapi pemikiran mengenai nasionalisme yang radikal semakin meluas. Militer tetap dominan dan banyak mengambil alih pemerintahan, lebih jauh lagi mereka banyak membuat organisasi-organisasi independen yang setia dan memberikan pengaruh kepada kaisar.
ADVERTISEMENT
Tokoh militer penting yang kemudian muncul dan menjadi bagian dalam kementrian pertahanan, salah satunya Sadao Araki yang mencetuskan gagasan kodoha yang berarti “Jalan Kekaisaran”. Kodoha merupakan kebijakan radikal ultranasionalis yang kelak membawa Jepang seperti negara-negara fasis di Eropa. Kebijakan kodoha berisi gagasan ekspansionisme, ultranasionalisme dan totalitarisme, di mana menanamkan pemikiran bahwa Jepang akan menjadi pusat kekuatan dan pusat peradaban.
Ketika Sadao Araki menjadi menteri pendidikan, gagasan kodoha diterapkan pada bidang pendidikan. Penerapan ini membawa tradisi militer seperti kedisiplinan, kesetiaan, kepatuhan dan nasionalisme mulai digalakan di sekolah-sekolah. Pelatihan-pelatihan militer juga mulai mengisi di kurikulum dan kegiatann sekolah. Buku-buku sejarah direvisi ulang, di mana hanya berisi sejarah keunggulan Jepang. Pers dan kebebasan berpendapat dibatasi, terutama yang bertentangan dengan kebijakan kodoha.
ADVERTISEMENT
Kudeta Militer pada Era Awal Showa
Kegiatan, aktivitas, dan ambisi kelompok radikal militer mulai menguat, tidak hanya dilakukan oleh para petinggi militer, akan tetapi juga dilakukan oleh kelompok-kelompok perwira muda dan kadet. Kegiatan militerisme dalam ranah politik tidak hanya berupa masuknya kelompok militer dalam pemerintahan, akan tetapi juga mulai merambah ke arah perebutan kekuasaan yang waktu itu di tangan perdana menteri. Perebutan kekuasaan ini dilakukan lewat cara-cara kekerasan, salah satunya adalah kudeta.
Kudeta yang pertamakali dilakukan oleh Sakurakai, namun kudeta ini gagal mengambil alih pemerintahan, hanya berhasil menangkap orang-orang politik. Sepanjang tahun 1930-133 terdapat tiga kudeta di Jepang. Kudeta pertama mentargetkan Haguchi Osachi. Penyebabnya, para perwira muda menganggap dia bertanggungjawab akan direndahkanya martabat Jepang pada Perjanjian London mengenai ketentuan yang mengatur angkatan laut Jepang.
ADVERTISEMENT
Kudeta kedua mentargetkan menteri keuangan Inoue Junnosuke karena dianggap gagal mengatasi kemiskinan dan masalah depresi ekonomi tahun 1929-1930an. Kudeta ketiga dilakukan oleh sekelompok kadet dan perwira muda angkatan laut tahun 1932 dan berhasil membunuh perdana menteri Inukai. Perdana menteri Inukai digantikan oleh perdana menteri yang didukung oleh seorang Jenderal eks Genro, Saionji bernama Tahashi Kurekiyo yang kemudian digantikan oleh Saito Makoto di tahun yang sama.
Kudeta kemudian terjadi lagi tanggal 26 Februari 1936. Kudeta dilakukan sekelompok perwira dan tentara muda yang radikal berpaham ultranasionalis. Mereka berusaha untuk melakukan kudeta terhadap pemerintahan Keisuke Okada, disebabkan kabinet Okada dianggap telah menipu Kaisar dan melakukan korupsi, akan tetapi usaha kudeta ini gagal. Kudeta ini meskipun gagal memiliki dampak berupa menguatnya kekuatan ultranasionalis, terutama untuk menyingkirkan politisi-politisi sipil dan pengusaha-pengusaha swasta.
ADVERTISEMENT
Setelah terjadinya insiden 26 Februari, militerisme-fasisme menguat. Pergerakanya dalam politik tidak lagi menggunakan pendekatan bawah (kudeta kadet) melainkan mengambil alih pemerintahan dari atas. Para jenderal yang terpengaruh ide ultranasionalis, kemudian menggunakan peristiwa 26 Februari sebagai dalih untuk menyelamatkan negara.
Rebel Troops in February 26th Incident. Foto: Japanese book "Showa History: February 26th Incident" Published by Mainichi Newspapers Company.
Langkah-langkah seperti pengurangan kewenangan parlemen pun dilakukan. Langkah ini digagas oleh Perdana Menteri Terauchi. Sejak saat itu, Jepang di bawah dominasi pengaruh militer hingga akhir Perang Dunia II atau ketika menyerahnya Jepang.
Dengan demikian dapat lah diambil ringkasan bahwa periode kebangkitan militerisme Jepang sebelum Perang Dunia II dibagi menjadi tiga tahap, pertama masa konflik dengan sipil ketika masa akhir Taisho, kedua adalah masa-masa Militerisme dari bawah dengan merebut kekuasaan lewat kudeta di awal-awal periode Showa sekitar tahun 1930-1936, kemudian, ketiga ketika golongan elite militer menduduki kursi pemerintahan baik menjadi perdana menteri maupun kursi pejabat diluar kementrian yang berlangsung setelah insiden 26 Februari 1936 hingga menyerahnya Jepang tahun 1945.
ADVERTISEMENT