Konten dari Pengguna

Ekonomi Hijau sebagai Basis Mekanisme Pembangunan Berkelanjutan

HAIDHAR FADHIL WARDOYO
Mahasiswa hubungan internasional, Universitas Islam Indonesia
30 Desember 2021 14:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari HAIDHAR FADHIL WARDOYO tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dewasa ini, negara-negara dari berbagai macam belahan dunia sedang mengalami kemelut yang berhubungan dengan sumber daya. Bagaimana tidak, di era yang semakin modern ini pertumbuhan ekonomi dunia realitanya tidak berjalan beriringan dengan sumber daya yang mencukupi. Akibatnya, kondisi dan stabilitas lingkungan yang paling terkena dampaknya. Berbagai macam permasalahan kemudian hadir seperti adanya krisis pangan, krisis air, efek rumah kaca, pemanasan global, polusi, perubahan iklim, hingga deforestasi dan kerusakan alam.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal tersebut, pemerintahan dunia kemudian bekerja sama dan mencanangkan suatu konsep yang disebut sebagai sustainable development atau pembangunan berkelanjutan. Konsep ini bertujuan agar pembangunan yang ada akan sesuai dengan kebutuhan generasi dan dinamika yang terjadi di era sekarang, namun tanpa memberikan adanya dampak negatif atau sesuatu yang berbahaya bagi generasi di masa depan. Adapun konsep ini sejatinya tidak hanya fokus terhadap isu lingkungan semata, namun juga mencakup tiga aspek kebijakan, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan juga perlindungan terhadap lingkungan. Aspek ini kemudian menjelma menjadi Sustainable Development Goals (SDGs) dengan 17 tujuan utama yang berakar pada tiga aspek tersebut.
Adapun seiring dengan perkembangannya, muncul konsep baru yang kemudian melengkapi komponen yang ada di dalam konsep sustainable development. Konsep ini disebut sebagai green economy atau ekonomi hijau. Ekonomi hijau sendiri berangkat dari perdebatan mengenai pembangunan yang pada dasarnya memang harus berkelanjutan. Pembangunan ini harus memperhatikan tiga hal, yaitu alasan moralitas, ekologi, dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Kemudian, di tengah pembangunan ekonomi dunia yang begitu eksploitatif tanpa memperhatikan atau bahkan sadar akan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, konsep ini lahir menjadi motor penggerak dari pembangunan berkelanjutan. Menurut Indonesia Green Growth Program, ekonomi hijau ini merupakan suatu mekanisme untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat, ramah terhadap lingkungan, dan inklusif secara sosial. Ekonomi hijau didorong oleh pengembangan dan pemanfaatan terhadap sumber daya secara berkelanjutan, namun tetap memperhatikan aspek lingkungan dan dinamika sosial yang ada.
Sejak tahun 2008, salah satu badan organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfokus pada permasalahan lingkungan, yaitu United Nations Environment Programme (UNEP) telah meluncurkan Green Economy Initiative (GEI) guna mendorong negara-negara dunia untuk turut serta menerapkan green economy dalam wacana pembangunan berkelanjutan mereka. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertumbuhan ekonomi dalam setengah abad terakhir yang ternyata mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan yang begitu signifikan bahkan cenderung mengkhawatirkan. Meskipun secara realis konsep ini cenderung utopis layaknya penerapan marxisme di peradaban ini, namun ekonomi hijau dapat menjadi opsi alternatif apabila didukung oleh negara-negara dunia.
ADVERTISEMENT
Tantangan terbesar dari penerapan ekonomi hijau adalah bagaimana menciptakan harmonisasi dalam struktural pembangunan berkelanjutan, yaitu aspek lingkungan, aspek sosial, dan juga aspek ekonomi. Penciptaan harmonisasi ini jelas membutuhkan begitu banyak dukungan yang bersinggungan terhadap tiga aspek dalam struktural pembangunan berkelanjutan seperti dukungan investasi atau funding, pembentukan traktat atau perjanjian, dan eksistensi gerakan-gerakan sosial oleh masyarakat dunia. Sebab, meskipun penerapan GEI yang diprakarsai oleh UNEP telah diimplementasikan secara menyeluruh, namun dukungan yang ada masih sangat minim.
Diskursus mengenai ekonomi hijau dalam pembangunan berkelanjutan kemudian semakin menyempit. Hal ini dapat dilihat pada KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 2012 silam hanya menghasilkan perdebatan-perdebatan dan presentasi ilmiah tanpa adanya refleksi maupun aksi yang nyata. Dua puluh tahun berlalu pascakonferensi pertama mengenai bumi, lingkungan, dan pembangunan, namun sejauh ini belum ada hasil yang dapat dipetik.
ADVERTISEMENT
Bahkan, sampai kemunculan malapetaka baru, yakni pandemi Covid-19 yang dalam dua tahun belakangan membuat dunia mengalami krisis dalam berbagai sektor, efektivitas dari konferensi ini masih perlu dipertanyakan. Kita masih bisa melihat eksploitasi terhadap lingkungan di sekitar kita, perusakan hutan dan pencemaran laut di mana-mana, hingga emisi karbon dan gas rumah kaca bukannya semakin turun malah semakin tinggi. Pertumbuhan ekonomi dunia yang mengalami krisis selama pandemi Covid-19 juga tidak berpengaruh banyak dalam mengurangi permasalahan lingkungan yang ada.
Adapun dari sekian banyak solusi alternatif guna menyelamatkan bumi, terutama guna mencapai sustainable development goals. Ekonomi hijau rasanya akan sangat relevan apabila didukung dan dikaji lebih lanjut. Menjadikan ekonomi hijau sebagai basis dari mekanisme pembangunan berkelanjutan juga tidak mustahil mengingat keadaan dunia yang semakin tercemar.
ADVERTISEMENT
Tiga pilar utama yang tak kalah penting dalam mendorong konsep pembangunan berkelanjutan adalah manusia, bumi, dan profit atau keuntungan. Maka dari itu, tiga pilar tersebut sejatinya harus berjalan stabil tanpa ada yang lebih di antaranya. Harmonisasi dalam aspek struktural juga akan tercipta apabila dorongan tersebut berkembang bersama.
Banyak sekali negara yang sebenarnya memiliki kapabilitas untuk mengubah sistem ekonomi atau arah pembangunan mereka menuju ke konsep ekonomi hijau. Potensi untuk memanfaatkan sumber daya yang ada dengan lebih dipertanggungjawabkan juga cukup baik, Maka dari itu, bukan tidak mungkin negara-negara tersebut akan mendapatkan manfaat dari penerapan ekonomi hijau seperti faktor produksi dan biaya yang lebih bertanggung jawab, peningkatan konsumsi energi yang efisien; pengurangan limbah yang signifikan, terciptanya lapangan pekerjaan baru, hingga harmonisasi pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan dunia.
ADVERTISEMENT
Akhir kata, ekonomi hijau pada akhirnya hanya akan menjadi angan-angan belaka apabila negara-negara dunia tidak mau bekerja sama dalam berperan aktif dan memfasilitasi praktik-praktik pembangunan ekonomi hijau pada berbagai macam sektor. Namun, apabila timbul kerja sama yang kuat baik dari pemerintah, perusahaan, sistem, kebijakan, hingga elemen masyarakat, maka bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi kita dapat terus menanjak tinggi tanpa menimbulkan akibat terhadap lingkungan maupun aspek lainnya.
Permasalahan pada aspek lingkungan seperti polusi, pencemaran, emisi karbon, efek rumah kaca dapat teratasi atau paling tidak terminimalisir. Kemudian pada aspek ekonomi dan sosial, gap yang begitu besar, buta huruf yang masih tinggi, sektor kesehatan yang buruk, hingga permasalahan seputar kemiskinan setidaknya dapat diatasi dengan cara yang paling baik dan adil. Lalu tentu saja, tidak hanya kita, tetapi juga generasi di masa yang akan datang dapat hidup lebih aman, damai, dan sejahtera dalam menjalani kehidupannya di dunia ini.
ADVERTISEMENT