Konten dari Pengguna

Imigran Tionghoa dalam Hubungan Panjang Indonesia dan Tiongkok

HAIDHAR FADHIL WARDOYO
Mahasiswa hubungan internasional, Universitas Islam Indonesia
3 Januari 2023 11:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari HAIDHAR FADHIL WARDOYO tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Gambar: Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hubungan antara Indonesia dan Tiongkok sejatinya telah terjalin, bahkan sebelum keduanya menjadi negara yang merdeka. Secara diplomatik, hubungan Indonesia dan Tiongkok secara resmi dimulai pada tahun 1950, kemudian sempat terhenti di tahun 1967, dan kembali mesra pada tahun 1990 sampai hari ini. Namun jauh sebelum itu, hubungan kedua negara sebenarnya telah terjalin sejak abad ke-7 melalui jalur perdagangan.
ADVERTISEMENT
Dinamika ini kemudian menghasilkan beberapa hal yang terus eksis sampai saat ini, seperti etnis Tionghoa, tata boga, kuliner, kerajinan, sampai agama. Semua yang bermula dari sekadar singgah untuk berdagang kemudian terus meluas hingga menjadi imigran yang menetap. Adapun apabila ditelusuri lebih dalam, imigran Tionghoa ini telah melebur dan menjadi satu kesatuan, bahkan memiliki peran yang signifikan dalam pasang surut kehidupan bangsa dan perjuangan untuk meraih kemerdekaan.

Gelombang Imigran Tionghoa

Beberapa abad yang lalu, gelombang imigran Tionghoa pergi meninggalkan tanah airnya dan menyebar ke seluruh penjuru dunia, salah satunya Indonesia. Faktor yang melatarbelakangi hal ini ada dua, pertama adalah ekonomi, kedua adalah politik. Faktor ekonomi menjadi alasan utama demi mencari penghidupan yang lebih layak dan sulitnya mencari pekerjaan di daratan Cina saat itu. Faktor politik juga menjadi salah satu alasan karena banyak imigran Tionghoa yang pergi dari tanah airnya atas tidak ingin dijajah dan diatur di bawah kekuasaan bangsa lain. Hal ini dapat dilihat pada abad ke-12 dan ke-17, ketika daratan Cina dikuasai oleh Dinasti Mongol dan Dinasti Manchu.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, imigran Tionghoa tersebut banyak yang menetap dan beranak-pinak, baik melalui perkawinan lintas etnis dengan masyarakat lokal atau perkawinan dengan sesama imigran Tionghoa. Hal ini juga turut membentuk konsep multikulturalisme di Indonesia melalui keberagaman yang nyata.
Gelombang imigran Tionghoa semakin besar setelah Perang Candu yang terjadi pada tahun 1839-1842. Ekonomi Cina yang saat itu masih dalam era Dinasti hancur lebur. Migrasi besar-besaran pun terjadi karena masyarakatnya ingin penghidupan dan kehidupan yang lebih baik.
Beberapa tahun setelahnya, sekitar tahun 1860-1890 Hindia Belanda yang saat itu menguasai Indonesia membuka lahan perkebunan dan pertambangan. Hal ini tentu semakin mendorong dan meningkatkan kedatangan imigran Tionghoa untuk kemudian menetap di wilayah sekitar lahan dan tambang tersebut. Ditambah dengan adanya kebijakan pelonggaran izin dari pemerintah Hindia Belanda saat itu seakan semakin menggiring kedatangan imigran Tionghoa dalam jumlah yang lebih besar.
ADVERTISEMENT

Peran dan Stigma

Seiring dengan masifnya imigran Tionghoa yang telah melebur di penjuru Nusantara, kesadaran sosial terkait kemerdekaan pun turut disuarakan. Melalui berbagai perjalanan perjuangan kemerdekaan, sejarah mencatat begitu banyak peran Tionghoa dalam persiapannya. Mulai dari eksistensi etnis Tionghoa dalam sidang Sumpah Pemuda, aktivitas politik melalui Jong yang mewadahi pemuda kala itu, menyediakan sarana prasarana penunjang kemerdekaan, sampai terjun langsung melawan penjajah dalam berbagai perang dan agresi militer yang datang silih berganti.
Menilik hal ini, hubungan Indonesia yang saat itu di bawah pemerintahan Presiden Soekarno dengan Tiongkok yang juga baru saja merdeka secara resmi terjalin erat. Soekarno dan Mao Zedong selaku orang nomor satu di negaranya masing-masing pun terasa sangat akrab sejalan dengan hubungan negaranya. Perang Dingin dan kebencian Soekarno terhadap imperialisme membuat hubungan Indonesia semakin mesra dengan Blok Timur.
ADVERTISEMENT
Namun, seiring dengan terjadinya tragedi G30S di Indonesia, hubungan kedua negara sempat berjarak, membeku, bahkan cenderung dikatakan seperti memutus hubungan secara diplomatik. Soeharto yang meneruskan kepemimpinan saat itu beralih dari Blok Timur ke Blok Barat. Adapun normalisasi hubungan kemudian baru terjadi pada tahun 1990. Normalisasi ini menjadi hal yang sangat penting, mengingat tujuh tahun setelahnya Asia dilanda badai krisis finansial Asia dan Indonesia juga menderita krisis finansial yang sangat parah.
Hubungan antara Indonesia dan Tiongkok menjadi sangat penting, terlebih di sektor ekonomi. Hubungan pun terus meluas hingga memberikan dampak terhadap aspek sosial. Diskriminasi, penjarahan, serta kekejaman yang menimpa etnis Tionghoa selama periode krisis moneter 1998 tersebut berusaha direkonsiliasi oleh Presiden Habibie melalui Instruksi Presiden (Inpres) yang menghapus beberapa peraturan yang secara nyata terus mendiskriminasi Etnis Tionghoa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, hubungan antara Indonesia dan Tiongkok terus membaik bahkan semakin erat, serupa dengan era Soekarno-Mao dulu. Tiongkok mencuat menjadi mitra dagang terbesar bagi Indonesia. Kerja sama terjalin dalam berbagai sektor, mulai dari investasi, infrastruktur, pendidikan, sampai tenaga kerja dan transfer teknologi.
Meskipun begitu, stigma negatif terhadap imigran Tionghoa atau etnis Tionghoa di Indonesia masih tetap terasa. Padahal, mereka telah sepenuhnya menjadi warga negara Indonesia, berada di bawah hukum yang sama, yakni Pancasila dan UUD 1945. Etnis Tionghoa masih dianggap sebagai orang luar atau outsider dan menjadi sebuah ironi ketika konsep multikulturalisme terus digaungkan sebagai identitas nasional.
Terlebih ketika pandemi Covid-19 yang berasal dari Wuhan, Tiongkok hadir di Indonesia dan menyisakan diskriminasi baru. Belum lagi dengan adanya mega proyek jalur sutra milik Tiongkok yang turut melintasi Indonesia. Hal ini memicu terjadinya lonjakan imigran Tionghoa yang kali ini bukan sengaja melarikan diri dari negaranya, tetapi karena bekerja sebagai tenaga kerja asing dalam proyek-proyek yang menyertai Belt Road Initiative. Stigma baru pun muncul dengan anggapan bahwa etnis Tionghoa merebut pekerjaan warga lokal.
ADVERTISEMENT
Adapun pemerintah seharusnya dapat lebih turun tangan, entah itu untuk memberikan klarifikasi, meredam, atau mengeluarkan kebijakan yang lebih adil bagi masyarakat Indonesia. Sebab, menilik pada sejarah panjang hubungan Indonesia dan Tiongkok, masih saja timbul miskonsepsi terkait imigran Tionghoa dan etnis Tionghoa yang secara resmi sudah menjadi warga negara Indonesia. Lebih jauh, imigran secara langsung telah memberikan manfaat yang begitu banyak bagi hubungan antar negara. Sampai saat ini pun ramai warga negara Indonesia yang menjadi diaspora, bermigrasi meninggalkan tanah air ke daratan Cina dengan alasan yang sama seperti imigran Tionghoa terdahulu, yakni ingin mencari penghidupan yang lebih layak.