Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Relevansi Abenomics dalam Pelonggaran Proteksionisme Agrikultur Jepang
20 Oktober 2022 21:05 WIB
Tulisan dari HAIDHAR FADHIL WARDOYO tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, liberalisasi pasar dan proteksionisme perdagangan menjadi sebuah dilema bagi negara-negara dunia, tak terkecuali Jepang. Pada 2013 silam, Jepang melonggarkan proteksi perdagangannya—terutama di sektor pertanian dan agrikultur—setelah bergabung dalam Trans Pacific Partnership (TPP) atau perjanjian perdagangan bebas bersama Amerika Serikat dan 10 negara lainnya.
Keputusan Jepang di bawah Perdana Menteri Shinzo Abe tersebut dapat dinilai sebagai kebijakan luar negeri yang baik saat itu. Sebab, hal ini sejalan dengan reformasi struktural ekonomi Jepang yang diinisiasi Shinzo Abe, yaitu Abenomics. Kebijakan ekonomi Abenomics bertujuan untuk merevitalisasi perekonomian Jepang dan melepas Jepang dari kemelut stagnasi ekonomi selama dua dekade terakhir.
ADVERTISEMENT
Abenomics berfokus pada tiga strategi, yaitu kebijakan moneter yang konsisten, kebijakan fiskal yang adaptif, dan pertumbuhan ekonomi. Strategi pertama dan kedua dirangsang dengan peningkatan belanja pemerintah dan pelonggaran kuantitatif dari Bank of Japan. Sementara itu, pemerintahan Abe menjadikan sektor agrikultur dan pertanian sebagai kunci dalam pertumbuhan ekonomi Jepang dengan mengubahnya menjadi industri yang menguntungkan dan mesin penggerak ekonomi melalui adanya liberalisasi agrikultur.
Sejalan dengan bergabungnya Jepang ke TPP, reformasi besar-besaran digalakkan di sektor tersebut. Pada tahun 2015, pemerintahan Abe mempelopori serangkaian amandemen terhadap Undang-Undang Koperasi Pertanian 1947. Hal ini bertujuan untuk melonggarkan kontrol dan proteksi ketat oleh Japan Agricultural Cooperatives (JA) terhadap koperasi dan petani lokal. Selain itu, amandemen ini juga bertujuan agar petani lokal dapat bersaing dalam perdagangan yang lebih bebas.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini juga menjadi strategi Abe dalam menghancurkan segitiga besi, atau kepentingan yang saling terhubung antara Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (MAFF), Partai Demokrat Liberal (LDP), dan organisasi koperasi pertanian (Ja-Zenchu). Segitiga besi ini telah lama menjadi penghalang dalam reformasi struktural Abenomics. Kekuatan politik yang begitu besar digunakan untuk menentang modernisasi industri pertanian Jepang dan segala bentuk liberalisasi pasar yang diusahakan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah di sektor agrikultur.
Eksistensi organisasi koperasi pertanian sebenarnya baik dengan tujuan yang mulia, yakni melindungi petani-petani Jepang dari berbagai hambatan ekonomi dan berusaha untuk swasembada pangan. Namun, hal ini lambat laun menjadi kurang relevan mengingat zaman yang terus maju, liberalisasi pasar di mana-mana, tekanan geopolitik, lanskap geografis yang semakin tergerus, dan yang paling utama, yaitu pergeseran demografi sosial di Jepang.
ADVERTISEMENT
Populasi Jepang terus menyusut dan menua dengan cepat setiap tahunnya. Hal ini tentu menandakan akan timbulnya pergeseran konsumsi makanan domestik dan penurunan pekerja untuk mengolah tanah pertanian Pada tahun 2010 saja, 23 persen dari populasi umum berusia 65 tahun atau lebih. Masalah selanjutnya adalah para petani Jepang tidak memiliki penerus pertanian (kōkeisha). Menurut survei pemerintah tahun 2009, data menunjukkan bahwa setidaknya setengah dari petani berusia 65 tahun ke atas sangat kekurangan penerus pertanian.
Timbul pula penurunan signifikan pada penduduk-penduduk di desa yang menyebabkan daerah pedesaan sebagai penopang sektor agrikultur menjadi kosong. Sementara itu, populasi Jepang didominasi oleh warga perkotaan yang tumbuh sebagai tenaga kerja industrial. Maka dari itu, masuknya Jepang ke TPP menjadi penting agar sektor agrikultur dapat menjadi lebih kompetitif.
ADVERTISEMENT
Bergabungnya Jepang ke TPP diperkirakan akan menambah 2 persen PDBnya pada tahun 2025. Lebih jauh, TPP menjadi peluang bagi Jepang untuk menstimulasi industri agrikultur dan pertaniannya yang tidak begitu produktif dengan memungkinkan persaingan asing yang lebih besar. Hal ini juga menegaskan kembali posisi Jepang sebagai pemimpin dan model di Asia Pasifik di tengah kuatnya pengaruh Tiongkok di kawasan.
Jepang telah setuju untuk menghapuskan tarif sebesar 81 persen dari 2328 impor pertanian, kehutanan dan perikanan. Pelonggaran yang jauh lebih rendah daripada negara-negara lain dalam perjanjian tersebut. Terdapat pula pengecualian terhadap beberapa produk sensitif seperti beras, gandum, susu, daging sapi, daging babi, dan gula dengan penghapusan tarif sebesar 30 persen agar tidak mencapai liberalisasi penuh.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, Jepang kini muncul sebagai juara baru Asia untuk perdagangan bebas dan investasi. Keluarnya Amerika Serikat dari perjanjian tersebut pada kepemimpinan Trump pun tidak menjadi hambatan. Jepang memimpin negosiasi ulang dari TPP atau Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP) dan Perjanjian Kemitraan Ekonomi (EPA) Uni Eropa-Jepang. CPTPP menciptakan blok ekonomi yang mencakup 500 juta orang dan produk domestik bruto senilai $11 triliun (sekitar 14 persen dari total PDB dunia). Sementara itu, EPA UE-Jepang menciptakan zona ekonomi 635 juta orang yang mewakili 30 persen dari PDB dunia dan 40 persen dari perdagangan dunia.
Abenomics kemudian menjadi sangat relevan terhadap berbagai macam pelonggaran yang dilakukan pemerintah Jepang terhadap proteksionisme sektor agrikulturnya yang sangat tinggi sebelumnya. Melalui penekanan politik terhadap organisasi koperasi pertanian dan koleganya, Jepang berusaha untuk lepas dari stagnasi ekonomi yang tak kunjung usai. TPP, CPTPP, EPA UE-Jepang, dan berbagai perjanjian perdagangan bebas lainnya dapat menjadi angin segar dalam proses reformasi struktural yang terus berjalan sampai saat ini.
ADVERTISEMENT