Konten dari Pengguna

Menghadapi Klaim Malaysia atas Batik Indonesia

Haifa Auliatul Pynkan
Mahasiswi Universitas Pamulang - Teknik Informatika
31 Oktober 2024 5:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haifa Auliatul Pynkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber image (https://pixabay.com/id/images/search/batik/)
zoom-in-whitePerbesar
sumber image (https://pixabay.com/id/images/search/batik/)
ADVERTISEMENT
Batik telah lama menjadi bagian dari identitas budaya Indonesia. Kain ini tidak hanya memancarkan keindahan artistik tetapi juga mengandung filosofi dan nilai-nilai luhur yang mencerminkan keragaman budaya Nusantara. Sayangnya, batik pernah menjadi isu sengketa ketika Malaysia mencoba mengklaim batik sebagai bagian dari budayanya. Dalam menyikapi hal ini, bangsa Indonesia tidak hanya perlu mengambil langkah konkret untuk melindungi warisan budaya, tetapi juga menempatkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dalam merespons klaim tersebut. Artikel ini akan membahas bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat dijadikan pedoman dalam menjaga dan mempertahankan warisan budaya Indonesia, khususnya batik, di tengah klaim dari negara lain.
ADVERTISEMENT

1. Sila Pertama "Ketuhanan yang Maha Esa"

Sila pertama Pancasila, mengajarkan bangsa Indonesia untuk bersyukur atas segala anugerah yang diberikan oleh Tuhan, termasuk budaya yang kaya dan beragam. Dalam menghadapi klaim dari negara lain atas batik, penting bagi kita untuk menempatkan rasa syukur tersebut sebagai landasan. Batik merupakan wujud dari kekayaan budaya yang diwariskan oleh leluhur. Dengan menyadari bahwa batik adalah bagian dari identitas kita yang diamanahkan oleh Tuhan untuk menjaga dan melestarikannya dengan penuh kebijaksanaan.
Sebagai bangsa yang religius, Indonesia harus menjunjung tinggi nilai-nilai kedamaian dalam mempertahankan haknya atas batik. Proses mempertahankan warisan budaya ini tidak boleh menimbulkan konflik atau permusuhan, tetapi sebaliknya dilakukan dengan cara yang damai, bijaksana, dan melalui jalur yang sah.
ADVERTISEMENT

2. Sila Kedua "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab"

Dalam sila kedua, terkandung makna bahwa setiap tindakan yang diambil oleh bangsa Indonesia dalam mempertahankan budaya batik harus didasarkan pada prinsip keadilan dan keadaban. Menghadapi klaim dari Malaysia, bangsa Indonesia perlu menempatkan rasa hormat dan penghargaan terhadap hubungan kedua negara.
Ketika Indonesia resmi mengajukan batik sebagai warisan budaya tak benda kepada UNESCO pada tahun 2009, hal ini dilakukan untuk mengakui batik sebagai budaya nasional secara adil dan sah. Dengan begitu, Indonesia mampu menyelesaikan sengketa budaya tersebut tanpa mengorbankan hubungan bilateral dengan Malaysia. Pendekatan ini menunjukkan bahwa dengan mengedepankan sikap yang beradab, bangsa Indonesia dapat mempertahankan haknya dengan cara yang benar.

3. Sila Ketiga "Persatuan Indonesia"

Sila ketiga, sangat relevan dalam konteks menjaga budaya batik sebagai warisan bersama. Persatuan dalam keberagaman menjadi landasan kuat bagi bangsa Indonesia untuk menghargai dan mencintai budayanya. Jika masyarakat Indonesia secara kolektif menyadari pentingnya melestarikan budaya seperti batik, maka upaya pihak lain untuk mengklaim budaya tersebut akan semakin sulit.
ADVERTISEMENT
Dalam mempertahankan batik sebagai identitas bangsa, generasi muda Indonesia memiliki peran penting dalam menjaga dan mengembangkan kecintaan terhadap budaya lokal. Dengan mencintai dan mempopulerkan batik di kehidupan sehari-hari, baik melalui penggunaan busana batik maupun promosi melalui media sosial, generasi muda dapat menunjukkan bahwa batik adalah bagian tak terpisahkan dari jati diri Indonesia. Sikap ini akan memperkuat rasa persatuan dalam menjaga warisan budaya bersama.

4. Sila Keempat "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan"

Dalam sila keempat, terkandung nilai-nilai demokrasi dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan permasalahan. Sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi, Indonesia dapat mengambil langkah-langkah diplomatis dalam menghadapi sengketa budaya dengan negara lain.
Klaim batik oleh Malaysia dapat diselesaikan melalui jalur diplomasi dan kerja sama kebudayaan. Dengan melibatkan organisasi internasional seperti UNESCO dan berbagai forum budaya, Indonesia dapat memperkuat posisi batik sebagai warisan budaya nasional. Penyelesaian melalui musyawarah dan diplomasi ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mampu mempertahankan identitas budayanya secara bijaksana dan tanpa konflik.
ADVERTISEMENT

5. Sila Kelima "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia"

Sila kelima, mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk mempertahankan batik bukan hanya untuk mempertahankan identitas, tetapi juga untuk melindungi pengrajin dan industri batik itu sendiri. Pengrajin batik merupakan salah satu aset penting dalam melestarikan budaya ini, dan mereka harus mendapatkan perlindungan serta kesejahteraan yang adil.
Indonesia dapat memperkuat hak cipta terhadap motif-motif batik tertentu agar karya pengrajin terlindungi dari klaim sepihak. Selain itu, upaya meningkatkan kesejahteraan pengrajin batik melalui program pelatihan, dukungan finansial, dan pasar yang luas adalah bentuk nyata dari keadilan sosial yang diamanatkan oleh Pancasila. Dengan demikian, generasi penerus akan terus termotivasi untuk mengembangkan batik dan menjadikannya kebanggaan bangsa.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Klaim Malaysia atas batik mengingatkan bangsa Indonesia akan pentingnya melindungi dan melestarikan budaya lokal. Di tengah dinamika hubungan internasional dan persaingan budaya global, bangsa Indonesia dapat memaknai nilai-nilai Pancasila dalam menghadapi persoalan ini. Dengan menjunjung tinggi nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, bangsa Indonesia dapat menjaga batik sebagai warisan budaya yang tidak hanya dikenal di dalam negeri, tetapi juga diakui di mata dunia.
Nilai-nilai Pancasila menjadi landasan kuat yang memungkinkan Indonesia untuk mempertahankan warisan budaya secara bijaksana dan beradab, tanpa kehilangan jati diri dan martabat bangsa.