Over Supply Generasi Muda Indonesia dalam Tinjauan Strategi Demografi

Hakam Junus
President of Indonesian Students Association in Australia (PPI Australia) 18/19 Alma mater: PhD (cand.) in Maritime Security and Strategy (Strategic Studies/Geopolitics) at ANCORS University of Wollongong - Australia Master of International Relations at Coral Bell School of Asia Pacific Affairs Australian National University - Australia Bachelor of Arts (Politics/International Relations) at FISIP Universitas Nasional - Indonesia
Konten dari Pengguna
8 Oktober 2018 19:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hakam Junus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Over Supply Generasi Muda Indonesia dalam Tinjauan Strategi Demografi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kalimat Strategi Demografi, atau yang penulis pendekan menjadi Demostrategi mungkin masih terdengar asing di telinga masyarakat. Hal ini wajar, karena penulis mengadopsi konsep Geostrategi yang berasal dari sub-field Geopolitik yang mengkombinasi antara politik dan faktor geografis atau letak wilayah suatu negara.
ADVERTISEMENT
Sama hal nya dengan Geostrategi, Demostrategi di dalam alam pikiran penulis adalah merupakan penggabungan kata dari demografi dan strategi. Defisini luas demografi itu sendiri adalah studi mengenai struktur dari populasi sebuah komunitas masyarakat, bisa jadi itu sebuah negara atau kota atau organisasi dan sebagainya. Salah satu variabel menarik dari demografi adalah terkait kategori usia.
Telah lazim terdengar di telinga masyarakat Indonesia dewasa ini bahwa bangsa Indonesia kini sedang mengalami bonus demografi. Menurut data Badan Pusat Statistik jumlah pemuda di Indonesia sebesar 63,36 juta jiwa atau 1 dari 4 orang Indonesia adalah pemuda. Jumlah yang sangat signifikan, atau 2.6 kali lipat total populasi Australia atau dua kali lipat total populasi Malaysia di segala kelompok usia. Perbandingan jumlah pemuda di Indonesia lebih besar dari dua populasi negara tetangga kita.
ADVERTISEMENT
Tapi sayangnya potensi positif ini juga dapat menjadi ancaman serius apabila pengambil kebijakan gagal membaca potensi ini dan mengambil langkah strategis. Sebagai bagian dari generasi muda dan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-73, penulis mencoba memberikan sedikit kritik membangun dengan solusi pengelolaan demografi yang tepat dan strategis untuk kemajuan bangsa.
Landasan Hukum Keterlibatan Pemuda dan Membaca Arah Dunia Internasional
Pada tanggal 13-15 Agustus 2018, baru saja diadakan perhelatan Conference of Indonesian Diaspora Youth 2018 di Jakarta atas prakarsa dan kerjasama Indonesian Diaspora Network, Perhimpunan Pelajar Indonesia dari berbagai negara dan Aliansi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI Dunia), serta berbagai elemen kepemudaan lainnya yang ada baik di Indonesia maupun di mancanegara.
ADVERTISEMENT
Konferensi tersebut membahas salah satu tema menarik yaitu terkait bagaimana para pemuda yang hadir di dalam perhelatan tersebut melihat Proyeksi Reformasi dalam Tiga Dekade Mendatang dalam meneruskan semangat demokrasi yang terjadi di Indonesia sejak 20 tahun silam.
Mengingat reformasi yang ada di Indonesia ialah reformasi sistem politik dan sistem pemerintahan, maka jelas bingkai yang diambil dalam tulisan ini juga terkait politik dan sistem pemerintahan dalam hal ini tentu berkaitan pula dengan penegakan hukum dan kesejahteraan masyarakat khususnya untuk golongan muda dan diaspora muda.
Menurut definisi, yang dimaksud pemuda itu adalah kelompok masyarakat dalam rentang usia 15-32 tahun (UNDP Youth Strategy 2014-2017, 47) atau usia 16-30 tahun menurut UU No.40 2009 tentang Kepemudaan Pasal 1 Ayat 1.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2003, negara-negara di dunia telah berkomitmen untuk meningkatkan partisipasi Generasi Muda melalui UN General Assembly Resolution 58/133 tahun 2003 tentang partisipasi penuh dan efektif dari Generasi Muda dan Organisasi-organisasi Kepemudaan di dalam mempromosikan dan mengimplementasikan “The World Program of Action” dan mengevaluasi progres yang dicapai serta hambatan-hambatan di dalam pengimplementasiannya.
Di dalam UU No.40 2009 tentang Kepemudaan Pasal 1 Ayat 16 menyebutkan bahwa Pemuda berperan aktif sebagai kekuatan moral, kontrol sosial dan agen perubahan dalam segala aspek pembangunan nasional.
Namun jika diteliti lebih lanjut, upaya melibatkan pemuda dan pemberdayaan potensi kepemudaan di dalam pembangunan bangsa agak sedikit berbeda dengan upaya melibatkan dan pemberdayaan potensi perempuan.
Sebagai perbandingan, di dalam konteks membahas peningkatan pertisipasi perempuan di dalam bidang politik Indonesia memiliki UU no.31 tahun 2002 tentang Partai Politik, UU no.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan UU no.2 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD yang di dalamnya juga mengatur tentang Pemilu tahun 2009. Inti pokok dari undang-undang tersebut menyebutkan secara eksplisit terkait syarat keterwakilan perempuan sejumlah 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan partai di tingkat pusat.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut UU no.10 tahun 2008 menegaskan bahwa Partai Politik baru dapat mengikuti pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan pusat. Bahkan di Pasal 55 ayat 2 ditentukan bahwa dari tiga bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan. Hal ini merupakan terobosan nyata dan serius di dalam upaya meningkatkan peranan perempuan di dalam dunia perpolitikan Indonesia, mengingat di dalam tatanan pemerintahan yang bersifat demokrasi, proses pemilihan individu-individu yang kelak akan menjadi para pengambil kebijakan khususnya dibidang legislatif akan melalui mekanisme pemilihan umum baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.
Walaupun banyak pihak yang bersuara miring terkait partisipasi perempuan, namun hal ini seharusnya dilihat sebagai suatu langkah positif dimana Indonesia sudah melangkah lebih maju di dalam pengakuan hak-hak serta upaya-upaya melibatkan perempuan untuk dapat duduk menjadi pembuat kebijakan. Hal yang masih belum diterapkan di beberapa negara lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun bagaimana dengan Pemuda?
Sekalipun telah ada undang-undang kepemudaan, tidak ada persentase secara eksplisit yang di dukung oleh undang-undang guna mendorong keterlibatan golongan muda untuk dapat menjadi pengambil kebijakan di Indonesia. Hal ini tentu menjadi pertanyaan serius terkait upaya melibatkan generasi muda untuk dapat menjadi pegambil kebijakan sekaligus penentu masa depan bangsa dalam posisi-posisi yang strategis. Adalah hal yang ironis mengingat signifikannya jumlah pemuda di Indonesia sebagaimana telah penulis jabarkan sebelumnya, dimana pemuda tidak secara maksimal dilibatkan di dalam proses penentuan masa depan bangsa melalui kebijakan hari ini yang secara langsung akan berdampak terhadap generasi muda. Generasi yang paling merasakan dampak kebijakan hari ini tidak hanya dimasa kini, namun juga dimasa depan.
ADVERTISEMENT
Tren Negatif yang Melanda Generasi Muda Hari ini
Telah banyak kita dengar tren negatif yang mengjangkiti generasi muda penerus bangsa. Beberapa tren yang dicermati di dalam tulisan ini termasuk tren radikalisme dan aksi terorisme yang dilakukan oleh generasi muda, tren tawuran dan pemakaian narkoba diantara pemuda, tren prostitusi dan human trafficking yang banyak menelan korban generasi muda serta tren penghasilan rendah dan angka pengangguran di generasi muda.
a. Radikalisme dan aksi terorisme
April 2018, sebagaimana dilansir oleh laman VOA Indonesia, Kepala BIN Budi Gunawan di dalam ceramah umum di hadapan Badan Eksekutif Mahasiwa Perguruan Tinggi se-Indonesia mengatakan bahwa sekitar 39 persen mahasiswa di Indonesia sudah terpapar paham radikal.
Dari data yang diperoleh BNPT sebagaimana dilansir oleh Rappler Indonesia, berdasarkan riset terhadap 110 pelaku tindakan terorisme pada tahun 2012, paling banyak ada di rentang usia 21-30 tahun (47,3 persen), disusul oleh rentang usia 31-40 tahun (29,1 persen) dan usia di bawah 21 tahun sebesar 11,8 persen. Hal ini tentu sangat menghawatirkan mengingat besarnya jumlah populasi rentang usia muda di Indonesia.
ADVERTISEMENT
b. Tawuran dan Pemakaian Narkoba
Tidak hanya radikalisme dan terorisme yang menghantui pemuda Indonesia. Catatan KPAI tahun 2016, berdasarkan pantauan data di dunia pendidikan khususnya pelajar dalam kurun waktu 2011 hingga 2016, terdapat 363 anak korban tawuran pelajar dan 441 anak pelaku tawuran pelajar. Sebuah angka yang menghawatirkan mengingat banyaknya masa generasi muda yang harus kehilangan masa depannya secara sia-sia di Indonesia.
Selain tawuran, angka penggunaan narkoba dikalangan generasi muda juga sangat menghawatirkan, sebagaimana dilansir oleh laman Sindonews, BNN menyatakan bahwa pengguna narkoba di Indonesia mencapati 5.1 juta orang dimana 40% diantaranya berasal dari kalangan mahasiswa dan pelajar. Terlihat jelas bagaimana suramnya potret generasi muda hari ini.
c. Prostitusi dan Human Trafficking
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dipungkuri bahwa prostitusi dan human trafficking masih menjadi sebuah pergumulan khusus bangsa Indonesia. Masih banyak anak-anak di bawah usia dan kaum muda umumnya terjerumus dan sekaligus menjadi korban kekerasan-kekerasan ini. Bahkan UNICEF sendiri memperikirakan sekitar 30% anak-anak perempuan di Indonesia di bawah usia 18 tahun berprofesi sebagai pelacur. Mirisnya lagi, banyak remaja yang juga sebagai mucikari. Tahun 2014, Kemensos mencatat ada kurang lebih 161 lokalisasi di Indonesia dan baru 23 diantaranya sudah ditutup. Kondisi ini dapat dipastikan masih terus berlangsung dan bahkan semakin buruk seiring dengan kemajuan teknologi, dimana semua transaksi prostitusi dapat dilakukan secara online. Apalagi baru beberapa hari Asian Games berlangsung di Jakarta, kita dihebohkan dengan adanya berita pemulangan empat atlet basket asal Jepang karena kedapatan menggunakan jasa prostitusi ini. Sekali lagi, Indonesia saat ini tidak hanya diperhadapkan pada situasi bahayanya prostitusi orang dewasa, tetapi juga terhadap anak-anak. Jumlah anak-anak yang menjadi korban kekerasan dan ekploitasi seksual per tahunnya pada kisaran 40.000 – 70.000 sebagaimana yang dilaporkan UNICEF.
ADVERTISEMENT
Sementara pada beberapa kasus human trafficking sangat berkorelasi positif dengan prostitusi. Pada banyak kasus, misalnya permasalahan TKI/TKW asal Nusa Tenggara Timur dapat dikategorikan bagian dari kasus human trafficking. Dimulai dari kasus kekerasan seksual selama proses ‘pemindahan’ dari NTT ke lokasi-lokasi penampungan sementara, baik di Jawa, Kalimantan dan Sumatera, sampai negara tujuan dan juga kasus-kasus kekerasan lainnya yang dialami selama di negara tujuan. Bahkan banyak juga kembali ke Indonesia dalam peti mayat. Tercatat sejak Januari – Juni 2018, sudah 46 pahlawan devisa muda dari NTT kembali ke keluarga mereka dengan sudah tidak bernyawa. Dan, ini adalah klimaks dari tindakan keji human trafficking yang sangat-sangat tidak manusiawi. Selain itu, Pastor Feliks Kosat, pada satu kesempatan diwawancarai VOA tahun 2016, memaparkan beberapa data terkait human trafficking di NTT. Tahun 2015, misalnya, tercatat 941 TKW asal NTT yang bermasalah. 726 TKW mengalami hal yang sama di tahun 2016. Dari data-data yang disampaikan, ada 1.667 TKW dari NTT menjadi korban human trafficking di tahun sebelum 2015.
ADVERTISEMENT
d. Penghasilan rendah dan angka pengangguran
Sesuai data BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia berjumlah 6,87 juta orang atau 5,13% per Februari 2018. Dibandingkan satu tahun sebelumnya, terjadi penurunan 2%; yaitu 7,01 juta orang atau 5.33% per Februari 2017. Bila dilihat dari latar belakang Pendidikan, angka pengangguran masih tinggi pada tamatan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yaitu 8,92%, Diploma I-III 7,92%, Sekolah Menegah Atas (SMA) 7,19%, Universitas 6,31%, Sekolah Menegah Pertama (SMP) 5,18% dan tamatan Sekolah Dasar (SD) ke bawah 2,67%. Menariknya adalah semakin tinggi angka pendidikan, maka semakin rendah pendapatan per kapita. Berdasarkan data Sakernas Agustus 2014, sebanyak 60,01% pemuda terlibat dalam aktivitas ekonomi. Sebanyak 55.31% diantaranya bekerja dengan pendapatan Rp. 1.000.000, - keatas; sementara 44,69% memiliki pendapatan kurang dari Rp. 1.000.000, -.
ADVERTISEMENT
Secara konstitusional, Indonesia sendiri sudah menjamin hak-hak warga negaranya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana diatur dalam UUD’45 Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2).
Nasionalisme vs Ekonomi
Setelah kita mencermati tren-tren negatif diatas khususnya bagaimana tingkat penghasilan generasi muda di Indonesia, penulis mengajak pembaca untuk melihat permasalahan generasi muda cemerlang kita yang kini menuai berbagai prestasi serta bersekolah di luar negeri, atau yang juga dikenal sebagai bagian dari Diaspora Muda Indonesia.
Sebagaimana dilansir laman PPI Dunia, sebuah Aliansi Perhimpunan Pelajar Indonesia diberbagai negara di dunia, sedikitnya terdapat 86,420 mahasiswa Indonesia yang kini menempuh pendidikan di luar negeri yang tersebar di 53 negara. Dari jumlah tersebut mayoritas, atau sekitar 20,000 lebih mahasiswa Indonesia di luar negeri menempuh pendidikan di Australia.
ADVERTISEMENT
Banyak dari mereka yang memiliki potensi serta kemampuan luar biasa yang membuat negara tempat tujuan studi atau perusahaan-perusahaan internasional ditempat mereka menempuh studi tertarik untuk melakukan rekrutmen.
Sekalipun banyak pula yang kembali untuk mengabdi di Indonesia, namun tidak sedikit yang justru menemui fakta bahwa jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tidak berbanding lurus dengan supply generasi muda di Indonesia. Indonesia kini oversupply angkatan kerja sedangkan demand lapangan pekerjaan tidak sebanyak itu, ditambah dengan kebijakan-kebijakan moratorium yang semakin mempersempit peluang pemuda untuk berkontribusi ke dalam pemerintahan. Pun ketika lulusan-lulusan luar negeri ini kembali ke Indonesia, mereka akan berkompetisi dengan lulusan-lulusan universitas di Indonesia di dalam berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan. Sudah jelas dan pasti mereka yang tidak memiliki ijazah pendidikan formal akan semakin tersingkir di dalam persaingan ini. Dan kesemuanya adalah generasi muda kita yang seharusnya memiliki kesempatan yang setara.
ADVERTISEMENT
Alhasil perusahaan-perusahaan dapat dengan mudah menentukan harga jasa para pemuda ini melalui mekanisme gaji yang tidak sebanding dengan biaya hidup. Hal yang berdampak tidak hanya kepada gagalnya pemuda-pemuda harapan bangsa ini untuk dapat hidup layak dan memenuhi kebutuhan dasarnya secara ekonomi, contoh kasus dalam hal membeli rumah misalnya sangat tidak mungkin dilakukan oleh seorang fresh graduate dengan pendapatan pas-pasan namun apakah memiliki rumah bukan termasuk kebutuhan pokok manusia sebagai mahluk ekonomi? Dampak lain adalah rendahnya daya beli masyrakat yang berdampak pula pada melesunya ekonomi dan sektor bisnis dua tahun terakhir.
Tentulah secara natural kebutuhan hidup layak untuk mencukupi keluarganya akan menjadi fokus utama mereka sebagai mahluk ekonomi dan pada titik itulah nasonalisme dan kebutuhan akan ekonomi akan berhadapan. Sebagian orang bisa dengan bias nya mengatakan bahwa nasionalis sejati tidak akan terpengaruh oleh hal-hal tersebut, faktanya kita tidak dapat menafikan bahwa manusia bukan lah mahluk yang sempurna dan masing-masing dari mereka memiliki permasalahan hidup dan titik jemu yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Seharusnya pertanyaan diarahkan kepada mengapa nasonalisme harus dihadapkan pada kenyataan ekonomi? Apakah menjadi nasionalis lantas tidak dapat hidup layak secara ekonomi? Tentu tidak demikian. Bahkan faktanya banyak koruptor di Indonesia yang bertempat tinggal dan berkewarganegaraan Indonesia serta memiliki harta berlimpah jauh lebih dari cukup untuk hidup layak dan memiliki posisi strategis di dalam menentukan masa depan negara namun justru memilih untuk berkhianat kepada bangsa dan rakyat Indonesia dengan menjadi koruptor. Dan jumlah mereka tidak sedikit, ini fakta publik yang sudah sangat meresahkan dan mengancam stabilitas nasional. Jalan keluar terbaik tentu diperlukan agar Indonesia tidak kehilangan potensi-potensi muda berbakatnya sehingga mereka tetap dapat berkontribusi terhadap Tanah Air. Skenarionya saat ini adalah memilih the right people dan di letak kan ditempat yang tepat, berhasilnya para koruptor untuk duduk diposisi-posisi strategis menunjukan bahwa selama ini mekanisme yang berjalan belum sepenuhnya berhasil mengangkan the right people tersebut.
ADVERTISEMENT
Strategi Demografi Indonesia
Melihat fakta-fakta diatas sudah jelas generasi muda hari ini memiliki tantangan yang berbeda dengan generasi muda di era Sumpah Pemuda 1928, di era Revolusi Kemerdekaan 1945, di era pergantian Orde ditahun 1966 dan di era Reformasi 1998. Generasi muda hari ini tidak lagi menghadapi penjajah Belanda dan Jepang, tidak lagi menghadapi rezim otoriter, sehingga pendekatan solusinya pun akan berbeda. Oleh karena perbedaan tantangan tersebutlah maka diperlukan suatu mekanisme yang melibatkan generasi muda secara langsung di dalam perumusan kebijakan untuk solusi yang menentukan nasib mereka dan masa depan bangsa. Karena mayoritas merekalah yang akan merasakan kehidupan di 100 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia ditahun 2045. Oleh karenanya, jangan sampai mereka menanggung beban warisan generasi pada tahun tersebut dikarenakan kegagalan para pengambil kebijakan di dalam melihat potensi masalah dan memilih solusi yang tepat. Sebagai bagian dari generasi muda, penulis merasa berkewajiban untuk memberikan solusi strategis atas permasalahan bangsa.
ADVERTISEMENT
Meminjam teori Neoclassical Realism yang dipakai oleh Gideon Rose dalam ilmu Hubungan Internasional menjelaskan bagaimana pemahaman dan kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup suatu negara (state survival). Contohnya untuk menjelaskan bagaimana negara-negara seperti Uni Soviet dan Yugoslavia runtuh karena gagal mengimplementasikan kebijakan yang tepat di dalam menjawab tantangannya namun sebaliknya negara seperti Tiongkok, Korea Selatan dan India justru mampu bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi dunia dan negara seperti Jerman dan Jepang mampu bangkit kembali setelah terpuruk pada akhir Perang Dunia II. Kesemuanya disebabkan oleh keberhasilan para pengambil kebijakannya untuk dapat membaca permasalahan yang ada dan memberikan solusi yang tepat untuk permasalahan tersebut. Berikut adalah beberapa solusi yang ditawarkan oleh penulis.
a. Kehadiran Negara di Generasi Muda Kelas Bawah
ADVERTISEMENT
Fenomena generasi muda kelas menengah kebawah sebagaimana telah dibahas sebelumnya tentunya menjadi permasalahan serius yang membutuhkan strategi yang tepat. Selama ini sangat lazim kita temui fakta bahwa pendidikan formal di Indonesia seolah menjadi solusi praktis untuk memajukan bangsa. Ada anggapan semua yang berbahaya di dalam masyarakat yang meyakini bahwasanya pendidikan S1, S2 atau bahkan S3 dan spesialisasi lainnya diperlukan agar menjadi orang sukses.
Pasalnya tidak demikian. Sebagaimana lampiran table dibawah ini, berdasarkan data BPS tahun 2018, angka pengangguran pada tingkat universitas juga cukup tinggi sehingga mematahkan argumentasi bahwa pendidikan universitas semata dapat menjamin seseorang mendapat masa depan yang lebih baik.
Akses ke tingkat pendidikan tinggi seperti universitas juga tentunya tidak dapat dinikmati oleh semua pemuda dikarenakan faktor ekonomi. Oleh karenanya pemerintah perlu memikirkan strategi komprehensif seperti mengembangkan lembaga-lebaga pelatihan vokasional yang dapat membekali generasi muda kurang mampu dengan berbagai kemampuan praktikal dan menghapus diskriminasi ijazah pendidikan diploma dan universitas untuk lapangan pekerjaan yang sebetulnya lebih membutuhkan sumberdaya manusia dibidang keahlian. Dibutuhkan control yang ketat dari pemerintah di dalam sosialisasi dan implementasi hal ini.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini lazim diterapakan di negara-negara maju seperti Australia sebagai contoh. Banyak generasi muda Australia yang tidak memilih jenjang pendidikan S1, S2 atau S3 dan lebih memilih pendidikan dan pelatihan keterampilan yang membuat mereka memiliki sertifikat atau ijazah sehingga mereka dapat bekerja. Bahkan tidak jarang upah yang mereka terima sama besar dengan upah mereka dengan gelar sarjana yang bekerja di dalam kantor.
Namun masalah tidak berhenti disini, peta lapangan pekerjaan di Indonesia masih sangat tidak menghargai keterampilan pada level tersebut sehingga berdampak pada rendahnya upah yang diberikan. Oleh karenanya dengan banyak nya angkatan kerja khususnya pada golongan pemuda, ada baiknya pemerintah mulai memberdayakan strategi pengelolaan demografi dengan melakukan pembekalan keterampilan dan bahasa asing untuk para pemuda pada kategori ini untuk kemudian dikirim keluar negeri atau negara-negara yang membutuhkan dengan kontrak tertentu yang diawasi oleh pemerintah. Tentunya di dahului dengan negosiasi G to G, atau antar pemerintahan, sehingga tenaga kerja terampil (skilled labour) tersebut dapat diserap dinegara-negara maju yang kekurangan tenaga kerja terampil di dalam populasinya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian pemerintah dapat menekan angka pengangguran dan kemiskinan serta para pemuda tersebut dapat menghasilkan devisa untuk negara sebagai tenaga kerja Indonesia di luar negeri dan dapat mengangkat level ekonomi keluarganya masing-masing karena penghasilan untuk golongan dengan keterampilan khusus ini cukup fantastis di negara-negara maju. Di Australia untuk seorang tukang las, cleaning service atau orang-orang yang bekerja pada perbaikan jalan dapat menghasilkan upah hingga 40-50 juta rupiah perbulannya. Pun biaya hidup di Australia tergolong yang paling mahal di dunia, tetap jumlah tersebut tergolong besar untuk ukuran Australia sekalipun. Terbayang bagi kita semua jika angkatan kerja terampil kita dapat diberdayakan untuk kerja di Australia, berapa yang dapat dihasilkan untuk mengangkat ekonomi keluarganya masing-masing jika skema ini berhasil dilakukan?
ADVERTISEMENT
Tentu semudah itu dalam mengirimkan tenaga kerja keluar negeri karena terkait regulasi negara-negara tujuan. Pun demikian hal ini bukan tidak mungkin dilakukan dan dapat dianalisa serta disiapkan strateginya oleh pemerintah. Yang terpenting adalah negara hadir untuk golongan generasi muda Indonesia yang kurang mampu.
b. Kehadiran Negara di Generasi Muda Penyandang Disabilitas
Secara spesifik bila kita melihat permasalahan yang dihadapi warga negara penyandang disabilitas, sudah semestinya pemerintah turut mengambil peran strategis untuk mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Secara konstitusi, pemerintah sudah meratifikasi konvensi dan menetapkan undang-undang khusus tentang peyandang disabilitas, namun hal ini belumlah cukup pada tataran implementasi di lapangan. Lebih dari 7 juta orang penyandang disabilitas di Indonesia yang belum secara bebas dan merdeka mendapatkan layanan pendidikan, pekerjaan serta kemudahan akses untuk bergerak. Misalnya, kita ambil contoh di Australia, semua fasilitas umum sudah mengakomodir kebutuhan para penyandang disabilitas sehingga mereka dengan mudah bisa akses kemana saja. Sementara di Indonesia, khususnya di Jakarta, meskipun transportasi umum sudah menyediakan bangku prioritas untuk mereka, namun akses ke halte belum inklusif. Hal semacam inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selain itu dalam konteks membangun kemandirian para peyandang disabilitas, ada tiga hal utama yang harus menjadi fokus perhatian semua pihak. Pertama, mereka harus mendapatkan sebuah ‘kebebasan’ inklusif sesuai dengan keterbatasan yang mereka miliki. Hal ini juga tidak terbatas pada bagaimana hak-hak mereka secara penuh dipenuhi dan dihargai. Kedua, harus ada ruang partisipasi yang cukup bermakna bagi untuk menentukan kemana tujuan hidup mereka. Ruang-ruang inilah yang akan memberi rasa percaya diri yang tinggi bagi mereka untuk berinteraksi dan menikmati kehidupan sosial mereka. Ketiga, yang tidak kalah penting adalah akses terhadap teknologi. Kemandirian dan kemampuan menggunakan atau memanfaatkan teknologi secara tidak langsung akan mendorong mereka bersaing secara kompetitif, misalnya dalam aspek ekonomi.
ADVERTISEMENT
c. Demostrategi: Potensi Diaspora Indonesia
Menurut data yang dimiliki oleh Kementerian Luar Negeri, jumlah Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri adalah sebesar 4.694.484 jiwa, atau 1.86% dari total penduduk Indonesia, hingga 6 juta jiwa. Jumlah tersebut dua kali lipat penduduk Swiss atau Austria.
Dengan jumlah diaspora yang cukup besar, Indonesia berkesempatan untuk mendukung populasi diasporanya untuk masuk ke dalam sendi-sendi ekonomi dan sosial masyarakat negara-negara maju. Tentu tidak jarang jika diaspora tersebut terbentur aturan yang anti terhadap dwi kewarganegaraan. Mereka, khususnya diaspora muda, akan dihadapkan pada fakta pilihan antara Nasionalisme vs Ekonomi. Jika kita bicara realita, banyak sekali diaspora Indonesia yang masih memiliki aset bahkan bisnis yang menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang tidak sedikit di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tidak tanggung-tanggung, mereka pun masih berkenan hadir dan mendukung baik secara finansial, waktu, ide dan tenaga di dalam setiap kesempatan seperti perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia diluar negeri bahkan kegiatan-kegiatan amal lainnya.
Di dalam Conference of Indonesian Diaspora Youth 2018 yang bertemakan perumusan visi Indonesia di tahun 2045, tidak sedikit penulis jumpai anak-anak muda Indonesia yang telah berkarir di luar negeri bahkan lahir dan besar di luar negeri, masih rela datang ke Jakarta dengan biaya pribadi dan ikut agenda konferensi selama tiga hari dan penuh diskusi dari pagi hingga malam hari yang sangat melelahkan untuk berdiskusi terkait masa depan bangsa. Apakah mereka dapat dikatakan tidak nasionalis sekalipun telah berpindah kewarganegaraan? Mengapa mereka harus berpindah kewarganegaraan? Jawabannya tentu terletak pada kebijakan yang penulis lihat kurang strategis. Dan seperti yang penulis sampaikan sebelumnya, tidak sedikit koruptor yang berpasport Indonesia, bertempat tinggal di Indonesia dan bahkan menduduki posisi sebagai pengambil kebijakan yang menentukan masa depan bangsa tetapi justru menghianati Indonesia. Maka siapa sebetulnya yang pantas diberikan label penghianat negara?
ADVERTISEMENT
Potensi diaspora ini sudah dimainkan oleh negara-negara dengan populasi berlebih namun tidak dapat diserap sendiri di dalam negeri mereka akibat keterbatasan demand lapangan pekerjaan. Ada juga negara-negara maju yang telah berpikiran strategis terkait populasinya seperti negara-negara aging population yang kekurangan supply generasi mudanya untuk menjalankan roda pemerintahan dan mendapat asupan ide-ide segar dan progresif. Mereka mendapatkan supply generasi muda berkualitas dari negara-negara berkembang. Hal ini lah yang seharusnya dipikirkan oleh negara berkembang agar tidak kehilangan generasi muda berkualitasnya. Pada akhirnya tolak ukur maju tidaknya suatu negara bukan hanya bicara soal perkembangan teknologi semata tapi juga dari sisi pola pikir para pengambil kebijakan serta masyarakatnya secara umum, apakah strategis atau tidak?
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh Pakistan. Pakistan mengizinkan warga negaranya untuk dapat memiliki kewarganegaraan ganda dengan beberapa negara seperti Inggris, Italia, Perancis, Belgia, Eslandia (Iceland), Australia, Selandia Baru (New Zealand), Swedia, Amerika Serikat, Irlandia, Belanda, Swiss dan Kanada. Tapi mereka tidak membuka peluang dwi kewarganegaraan dengan negara-negara berkembang. Mengapa? Jelas pengambil kebijakan di Pakistan melihat potensi dengan memiliki komunitas masyarakat diaspora di negara-negara maju tersebut.
Tidak sedikit negara-negara maju juga menerapkan hal yang sama seperti Australia, Amerika Serikat, Kanada, Denmark, Inggris, Swiss, Korea selatan, Israel, Perancis, Finlandia, Jerman, bahkan negara tetangga kita Filipina pun sudah demikian. Dengan demikian negara-negara tersebut dapat memainkan peran strategis diasporanya di luar negeri sebagai koneksi dan juga penghubung di dalam komunikasi lintas negara dan lintas masyarakat.
ADVERTISEMENT
Negara-negara tersebut juga dapat bekerjasama dengan diasporanya jika sewaktu-waktu dibutuhkan dan juga dapat menyerap pemasukan dan investasi dari diaspora tersebut untuk menghidupkan denyut nadi perekonomian negara dan membuka peluang lapangan pekerjaan di dalam negeri karena faktanya, sebagian besar dari diaspora tersebut masih memiliki keluarga di negara asal mereka yang tentunya dapat memastikan ikatan identitas dan nasionalisme mereka. Dan yang terpenting, diaspora merasakan bahwa negara hadir untuk mereka yang jika tidak, maka pengambil kebijakan justru menempatkan mereka di dalam posisi sulit dimana mereka diharuskan memilih kewarganegaraan. Maka kami melihat ada baiknya pemerintah mulai berpikir strategis untuk menyebar generasi muda Indonesia, jika tidak, lalu siapa yang akan memberikan mereka lapangan pekerjaan, kehidupan yang layak, atau bahkan ketika generasi muda hari ini memasuki masa pensiun dan kurang produktif mereka di tahun 2045, berapa besar jaminan sosial yang harus pemerintah pikirkan skemanya?
ADVERTISEMENT
Tentu alasan menghidupkan denyut nadi entrepreneurship dapat dijadikan solusi, sebagaimana yang digadang-gadang sebagai strategi pengambil kebijakan hari ini, namun kita tidak bisa menafikan bahwa tidak semua orang berjiwa entrepreneur. Maka solusi apa yang ditawarkan untuk mereka yang tidak? Jika jawabannya adalah skema investasi padat karya, maka kita perlu menyadari bahwa Indonesia bukan lah menjadi satu-satunya negara tujuan investasi dan kita tentu tidak dapat melarang perpindahan modal (capital movement) dari satu negara ke negara lain. Maka sudah barang tentu kita bersaing dengan negara-negara lain demi merebut investasi tersebut. Kondisinya malah bisa berbalik layaknya pasar monopsoni dimana banyak penjual yang mejual prodak yang sama tapi sedikit jumlah pembelinya, alhasil pembeli akan leluasa menentukan harga pasar.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan penulis paling tidak generasi muda dapat diberikan jalan keluar dimana angkatan kerja ini dapat disalurkan melalui mekanisme pengiriman skilled labour ke pasar pekerjaan di luar negeri dan menjadi diaspora. Selanjutnya ketika jalan sudah dibuka, maka mereka akan dapat menjadi mandiri dan tidak tergantung oleh pemerintah lagi. Mereka bahkan dapat mengganti uang yang digunakan oleh pemerintah untuk masa pendidikan mereka dengan jumlah gaji yang mereka terima di luar negeri dalam pola angsuran. Hal yang wajar terjadi di negara-negara maju yang menerapkan sistem student loan. Disitu lah titik keberhasilan terbesar para pengambil kebijakan karena pemimpin yang baik harus lah memikirkan generasi selanjutnya dan menyiapkan kader pengganti pemimpin bangsa.
d. Pemerintah Harus Melibatkan Generasi Muda Sebagai Bagian dari Pembuat Kebijakan
ADVERTISEMENT
Melihat banyaknya permasalahan diatas, maka menurut hemat penulis ada baiknya jika generasi muda dilibatkan di dalam proses pengambilan kebijakan karena hal ini menyangkut sebuah tantangan generasi yang berbeda dari waktu ke waktu.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya terkait amanat PBB dan UU no.40 tentang Kepemudaan tahun 2009 untuk melibatkan generasi muda di dalam lingkaran pengambil kebijakan bukan untuk sekedar partisipasi di sidelines, kita dapat melihat bagaimana tren dunia internasional di dalam melibatkan generasi mudanya.
• Swedia memiliki Aida Hadzialic yang dilantik sebagai Menteri Pendidikan pada tahun 2014 di usia 27 tahun.
• Republik Irlandia memiliki Simon Harris yang dilantik sebagai Menteri Kesehatan pada tahun 2016 di usia 29 tahun.
• India memiliki Anupriya Patel yang dilantik sebagai Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga pada tahun 2016 di usia 34 tahun.
ADVERTISEMENT
• Austria memiliki Sebastian Kurz yang dilantik sebagai Menteri Luar Negeri dan Integrasi Austria pada tahun 2013 di usia 27 tahun.
• Republik Albania memiliki Klajda Gjosha yang dilantik sebagai Menteri Integrasi Eropa pada tahun 2013 di usia 30 tahun.
• Malaysia memiliki Syed Syaddiq yang dilantik sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga pada tahun 2018 di usia 26 tahun.
Sebuah tren internasional yang jelas memperlihatkan adanya proses regenerasi yang berjalan baik dan sehat di negara-negara tersebut, paling tidak diats kertas keterwakilan pemuda sudah terlihat.
Jika dibandingkan dengan UU yang ditujukan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di Indonesia, maka UU yang ditujukan untuk meningkatkan partisipasi pemuda sangat tidak eksplisit. Tidak adanya persentase angka yang pasti di dalam UU yang mengatur berapa jumlah pemuda yang harus hadir sebagai pengurus pusat dan pendiri partai serta kandidat di dalam pemilihan umum tentu membuat payung hukum keterlibatan generasi muda di dalam lingkaran pengambil kebijakan menjadi lemah.
ADVERTISEMENT
Solusi demostrategi terbaik adalah dengan merevisi UU no.40 tentang Kepemudaan dengan memasukan angka dengan persentasi yang pasti di dalam lingkup politik serta meningkatkan secara signifikan jumlah pemuda yang duduk sebagai pengambil kebijakan baik dilingkungan eksekutif maupun legislatif. Hal ini adalah suatu kewajaran dikarenakan golongan muda merepresentasikan 25%-40% dari jumlah populasi Indonesia. Oleh karenanya golongan tersebut sudah selayaknya dilibatkan di dalam lingkaran pembuat kebijakan untuk mengambil kebijakan yang juga menyangkut masa depan generasinya. Dengan demikian regenerasi terjamin dan pemerintah tidak kekurangan masukan ide-ide segar dan progresif dari golongan muda dan masukan dari golongan yang lebih berpengalaman. Dua sudut pandang yang jika dikombinasikan akan membuat para pengambil kebijakan di Indonesia lebih warna dan lebih kaya opsi strategis.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Indonesia kini mengalami keuntungan dari segi sumber daya manusia melalui bonus demografi. Namun tanpa pengelolaan dan strategi yang jelas, maka Indonesia bisa saja kehilangan momentum ini yang dikemudian hari justru menimbulkan masalah. Oleh karenanya dibutuhkan strategi demografi yang jelas dan tepat guna. Keberadaan masalah-masalah diatas jelas mengindikasikan bahwa diperlukannya strategi yang lebih baik lagi untuk pengelolaan dan pemberdayaan generasi muda Indonesia. Pola-pola pikir konservatif yang merugikan harus lah di dobrak dan diganti dengan pola-pola pikir negarawan yang bersifat strategis demi kemajuan bersama. Indonesia membutuhkan strategi demografi yang jelas dan visioner bukan yang bernada normatif dan statis karena tantangan generasi hari ini sudah ada di depan mata kita. Tentunya dibutuhkan riset lebih jauh mengenai hal ini dan penulis berharap sudut pandang ini dapat menjadi pemantik diskursus akan solusi bersama bagi generasi muda dan masa depan bangsa.
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh:
Hakam Junus
National Board President of PPI Australia 2018-2019
Doctor of Philosophy (cand.) in Maritime Security & Strategy at ANCORS-University of Wollongong-Australia
Awardee LPDP RI
Welhelmus Poek
National Board VP of Strategic Affairs of PPI Australia 2018-2019
Master of International Development at University of Canberra-Australia
Awardee Australian Awards Scholarsip
Reference List:
Badan Pusat Statistik (2017). Statistik Pemuda Indonesia. Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik (2018). Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2018. Badan Pusat Statistik.
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia (2009). Undang-Undang no.40 Tentang Kepemudaan. Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2016). Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Rose, G. (1998). Review: Neoclassical Realism and Theories of Foreign Policy. Cambridge University Press, 144-172.
ADVERTISEMENT
Undang-undang Republik Indonesia nomor 31 2002 (Indo.).
Undang-undang nomor 12 2003 (Indo.).
Undang-undang nomor 10 2008 (Indo.).
Undang-undang nomor 2 2008 (Indo.).
Undang-Undang nomor 40 2009 (Indo.).
United Nations Development Programme (2014). UNDP Youth Strategy 2014-2017. United Nations Development Programme.
United Nations General Assembly (2004). Resolution adopted by the General Assembly on 22 December 2003 58/133. Policies and programmes involving youth. United Nations.
Websites:
https://www.rappler.com/indonesia/148572-fakta-pelaku-tindak-terorisme-masih-berusia-belia
https://www.voaindonesia.com/a/temuan-bin-39-mahasiswa-terpapar-radikalisme-dinilai-harus-ditanggapi-serius-/4370366.html
https://nasional.sindonews.com/read/1257498/15/40-pengguna-narkoba-pelajar-mahasiswa-1510710950
http://ppidunia.org/2017/10/21/kuliah-di-luar-negeri-memang-tidak-mudah-tetapi-kata-menyerah-bukan-jalan-keluarnya/
https://indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/SM17_059.html