Pemindahan Ibu Kota dan Faktor-faktor yang Kerap Terlupakan

Hakam Junus
President of Indonesian Students Association in Australia (PPI Australia) 18/19 Alma mater: PhD (cand.) in Maritime Security and Strategy (Strategic Studies/Geopolitics) at ANCORS University of Wollongong - Australia Master of International Relations at Coral Bell School of Asia Pacific Affairs Australian National University - Australia Bachelor of Arts (Politics/International Relations) at FISIP Universitas Nasional - Indonesia
Konten dari Pengguna
31 Juli 2019 11:04 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hakam Junus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, berita terkait pemindahan ibu kota semakin hangat setelah lampu hijau akan pemindahan ibu kota dikonfirmasi oleh para pengambil kebijakan.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut tentu mendapat tanggapan beragam, mulai dari pro maupun kontra.
Saya selaku masyarakat biasa yang lahir dan besar di ibu kota Jakarta tentu menyambut positif hal ini. Harapannya agar kota tercinta, Jakarta, akan sedikit lebih lengang dan sudah tentu Jakarta tidak akan menjadi satu-satunya tujuan utama arus urbanisasi dari desa dan kota lainnya. Sebuah fenomena yang akan membuat Jakarta semakin sesak dan berdampak buruk terhadap kualitas hidup warga Jakarta.
Namun, pengalaman tinggal di luar negeri selama menempuh pendidikan master dan doktoral membentuk sudut pandang saya akan kota ideal yang awam terkait ilmu teknik perencanaan wilayah dan kota.
Selaku pelajar studi ilmu hubungan internasional yang berbasis pada studi strategis dan geopolitik, tentu ketika ditanya terkait pemindahan ibu kota yang tersentak dalam benak saya terkait ibu kota baru adalah beberapa kata kunci seperti:
ADVERTISEMENT
Namun lain halnya ketika saya memakai kacamata awam saya sebagai rakyat biasa, tentu beberapa hal yang terpikir oleh saya adalah:
ADVERTISEMENT
Hal-hal di atas berangkat dari pengalaman saya tinggal selama dua tahun di Canberra (Australian Capital Territory/ACT), Ibu Kota Australia.
Sejarah Canberra sangat menarik untuk dicermati dan dijadikan komparasi. Canberra adalah ibu kota baru Australia. Pada tahun 1927, Pemerintah Dederal Australia memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota Australia dari Melbourne yang kala itu telah tumbuh menjadi kota besar.
Dengan kata lain, Indonesia dapat belajar dari Australia terkait pemindahan ibu kota, dalam hal ini studi komparasi dengan Kota Canberra selaku ibu kota baru Australia menggantikan Melbourne.
Ada beberapa hal menarik untuk dicermati dari Canberra sebagai bahan refleksi kita bersama untuk menentukan calon ibu kota baru untuk Indonesia dimulai dari faktor kemacetan dan populasi, faktor kesehatan lingkungan, dan faktor cuaca dan suhu.
ADVERTISEMENT
Jumlah populasi
Canberra, Australia. Ilustrasi: pixabay.
Jumlah populasi di Canberra hanyalah sekitar 395 ribu jiwa atau 4 persen dari jumlah populasi Jakarta yang berjumlah 9.608.000 jiwa.
Luas Canberra adalah sekitar 814,2 kilometer persegi (km2) sedangkan luas Jakarta 661,5 km2. Bahkan luas provinsi/state Ibu Kota Australia secara total yang bernama Australian Capital Territory (ACT) adalah 2.358 km2. Canberra hanyalah sebuah kota di ACT. Jika dibandingkan, maka luas DKI Jakarta sebagai sebuah provinsi hanyalah 28 persen dari total luas ACT selaku provinsi di mana Kota Canberra berada.
Sudah jelas dari perbandingan ini, Jakarta jauh lebih padat dari Canberra yang sudah tentu berpengaruh terhadap kemacetan di jalan.
Jalan-jalan di Canberra sangat lengang dan jauh dari kemacetan, adapun kemacetan hanya sesekali terjadi di titik-titik tertentu semisal ada kontruksi jalan, jam kantor, jam keluar sekolah, atau arus masuk pengendara dari luar Canberra ke Canberra pada jam-jam tertentu. Kemacetan-kemacetan tersebut pun relatif tidak berlangsung lama atau lebih dari 10-15 menit.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya, dengan kendaraan pribadi, seseorang hanya membutuhkan waktu sekitar 5 sampai 20 menit untuk berkendara dari satu lokasi ke lokasi lainnya di Canberra tanpa menemui kemacetan.
Hal ini tentu menjadi nilai tambah akan efisiensi.
Di Jakarta, kita sangat sulit untuk membuat janji meeting lebih dari 5 kali dalam sehari. Dengan asumsi, rata-rata waktu kemacetan di jalan yang kita alokasikan sekitar 1 sampai 1,5 jam, jika kita memiliki rapat yang terdapat di lokasi yang berjauhan maka kita akan menghabiskan waktu 5 x 1-1,5 jam atau sekitar 5 hingga 7,5 jam per hari hanya untuk di perjalanan.
Jika kita memulai hari pada pukul 6 pagi, kita asumsikan setiap rapat menghabiskan waktu 2 jam termasuk waktu yang dihabiskan untuk ke tempat parkir, dalam sehari bisa ada 5 rapat, maka totalnya kita membutuhkan waktu 10 jam untuk rapat.
ADVERTISEMENT
Jika kita ambil median 6 jam 15 menit untuk total kita berada di perjalanan ditambah waktu rapat selama 10 jam, maka kita yang memulai aktivitas dari pukul 6 pagi akan mengakhiri aktivitas pada pukul 10 malam lebih 15 menit.
Lantas, pukul berapakah kita akan sampai di rumah? Pukul berapa kita akan istirahat dan bersosialisasi dengan keluarga ketika keesokan harinya kita harus kembali memulai aktivitas pada jam 6 pagi?
Faktor kemacetan, jumlah populasi, tata ruang kota, serta infrastruktur kota tentu menjadi pertimbangan utama.
Kondisi kota Jakarta yang tidak terlepas dari kemacetan, berdampak tidak hanya terhadap efisiensi, tetapi juga pada kesehatan fisik dan psikis warganya, para pengambil kebijakan yang berstatus sebagai PNS dan non-PNS di lembaga-lembaga publik juga termasuk di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Faktor ini sangatlah krusial agar pemilihan ibu kota baru tidak terperangkap pada situasi yang sama seperti di ibu kota lama.
Kesehatan lingkungan
Ilustrasi negara paling sehat di dunia. Foto: Shutter Stock
Menurut rilis dari National Geographic "The World's Top Cities for People and the Planet" terhadap 100 kota besar di dunia, Canberra berada pada peringkat 25 terbaik untuk lingkungan; peringkat 20 untuk ekonomi seperti sistem transportasi, kemudahan berbisnis, konektivitas ekonomi pada tingkat global, dan lainnya; serta peringkat 17 untuk faktor sosial seperti kualitas kesehatan, pendidikan, work-life balance, dan sebagainya.
Jakarta, sebagaimana kita dengar berita di media nasional terkait buruknya kualitas udara, bahkan termasuk yang terburuk di dunia menurut Air Visual dalam situsnya pada bulan Juli 2019.
Hal ini yang kadang dikesampingkan dan dianggap kurang penting padahal menjadi faktor esensial di mana kualitas lingkungan akan berpengaruh terhadap kesehatan.
ADVERTISEMENT
Kesehatan adalah investasi mahal yang tidak hanya berdampak pada personel dari masing-masing individu tetapi juga produktivitas kerja setiap instansi, lembaga, dan perusahaan yang ada di kota tersebut.
Faktor-faktor yang dapat memengaruhi lingkungan di antaranya adalah polusi dari asap kendaraan bermotor, asap pabrik, hingga kebakaran hutan. Faktor lainnya seperti bencana alam gempa dan gunung meletus juga dapat memengaruhi kondisi ekonomi sebuah kota dan kesehatan masyarakatnya.
Dan faktor terakhir adalah curah hujan dan banjir. Sistem drainase menjadi hal penting di dalam sebuah kota karena jika terjadi hujan yang cukup lebat atau badai, kota tersebut tidak lantas menjadi lumpuh seperti yang terjadi di Jakarta pada tahun-tahun silam.
Pengalaman saya summer school di Hong Kong University di Hong Kong tahun 2012 menjadi pengalaman unik tersendiri. Saat menempuh sekolah musim panas di Hong Kong, saya mendapati Hong Kong dilanda typhoon Vincente yang menyentuh level 10 dan terburuk dalam 13 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Menariknya, sekali pun badai dan hujan selama 2 hari secara terus menerus, namun dengan sistem drainase yang baik, Hong Kong mampu berbenah dalam waktu singkat. Hal yang tidak terbayang jika dibandingkan dengan Jakarta yang dapat banjir dengan dampak yang buruk hanya karena hujan biasa selama beberapa jam, atau bahkan banjir yang terkirim dari wilayah lain yang lebih tinggi seperti Bogor.
Kesehatan lingkungan sudah sepatutnya menjadi faktor yang menjadi prioritas dalam menentukan calon ibu kota baru untuk Indonesia, karena kesehatan lingkungan berpengaruh terhadap setiap individu yang berdomisili di calon ibu kota baru tersebut dan mungkin dirugikan oleh faktor kesehatan lingkungan yang buruk.
Cuaca dan suhu udara
Ilutrasi cuaca buruk. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Faktor terakhir menurut sudut pandang awam saya yang sangat penting untuk diperhatikan adalah faktor cuaca dan suhu udara.
ADVERTISEMENT
Indonesia menurut situs World Weather Online adalah negara tropis. Jakarta sebagai ibu kota memiliki iklim tropis dengan rata-rata suhu udara 26 derajat celcius di tahun 2018. Suhu tertingginya 30 derajat celcius di bulan Oktober-Desember dan terendahnya 25 derajat celcius pada Juli-Agustus 2018.
Terletak di Australia, Canberra memiliki iklim sub-tropis dengan 4 musim. Menurut situs yang sama, suhu rata-rata di Canberra adalah 14 derajat celcius di tahun 2018 dengan suhu tertinggi berada pada 25 derajat celcius di bulan Desember dan terendah berada pada 5 derajat celcius pada Juli 2018.
Menurut sudut pandang saya, Jakarta adalah kota yang terlalu panas dan lembab (humid) sedangkan Canberra adalah kota yang terlalu dingin dan kering (dry). Saya pribadi merasakan bahwa panasnya Jakarta membuat banyak pengendara kendaraan bermotor yang tidak sabar ketika berada di jalan sehingga membahayakan diri sendiri dan pengendara lain.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain cuaca panas Jakarta yang diperburuk dengan polusi udara sebagaimana dibahas di atas, juga membuat warga Jakarta enggan untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Hal ini sudah tentu berdampak pada hubungan sosial antar-masyarakatnya.
Canberra dengan suhu dinginnya juga membuat penduduk kota, khususnya para imigran seperti saya enggan keluar rumah pada musim-musim bersuhu -5 derajat celcius.
Namun, karena kultur masyarakat Australia yang memang gemar melakukan aktivitas sosial di luar rumah, seperti barbekyu, berolahraga, atau hanya sekadar menikmati udara yang bersih, pada musim atau waktu di mana kondisi cuaca cukup hangat akan banyak ditemui orang-orang yang melakukan aktivitas sosial di atas.
Menurut saya, akan lebih baik jika calon ibu kota Indonesia nanti memiliki suhu udara yang tidak terlalu panas, apalagi lebih panas dari Jakarta, dan tidak pula terlalu dingin.
ADVERTISEMENT
Terkait cuaca, akan lebih baik jika calon ibu kota baru tersebut juga tidak memiliki curah hujan yang begitu tinggi setiap tahunnya karena faktor hujan juga kadang menjadi kendala untuk warga kota melakukan aktivitas khususnya mereka yang menggunakan angkutan umum.
Apabila pemerintahan menghendaki warga ibu kota baru lebih memilih menggunakan transportasi umum ketimbang pribadi, maka yang perlu diperhatikan tidak hanya persoalan ketersediaan moda transportasi umum yang memadai semata, namun juga faktor curah hujan setiap tahunnya dan juga faktor suhu.
Demikian yang sudut pandang yang saya berikan semoga bermanfaat untuk kemajuan Indonesia.
Karena kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kemajuan sumber daya manusianya, khususnya terkait kondisi psikis dan fisik warga ibu kota yang di dalamnya terdapat para pengambil kebijakan dan penentu arah bangsa ke depannya. Faktor psikis dan fisik mereka pun menjadi penting untuk turut dikalkulasi dalam menentukan calon ibu kota baru untuk Indonesia.
ADVERTISEMENT