Omnibus Law UU Cipta Kerja: Sudahkah Berpihak Pada Nilai-Nilai Publik?

Halifa Nurnadhifa
Mahasiswa Sarjana Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
24 Desember 2020 20:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Halifa Nurnadhifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketua DPR RI dan Wakil Ketua DPR RI. Sumber: dpr.go.id/ Foto: Kresno/Man
zoom-in-whitePerbesar
Ketua DPR RI dan Wakil Ketua DPR RI. Sumber: dpr.go.id/ Foto: Kresno/Man
ADVERTISEMENT
Masih ingatkah Anda dengan aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia pada bulan Oktober lalu? Pasalnya, demonstrasi terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja tersebut tidak hanya berisikan kaum buruh, tetapi juga dari sekelompok besar masyarakat, mahasiswa, hingga pelajar. Apakah Omnibus Law UU Cipta Kerja ini memang tidak berpihak pada nilai-nilai publik yang dipegang oleh masyarakat hingga mengundang demonstrasi besar tersebut?
ADVERTISEMENT
Gagasan nilai publik merupakan ruh dari pelayanan dan kebijakan publik serta tata pemerintahan yang baik, sehingga harus dipegang teguh oleh pejabat birokrasi sebagai pelayan publik. Untuk itu, para manajer di institusi pemerintahan atau organisasi sektor publik diharapkan mampu menciptakan nilai-nilai publik yang khusus, sebagaimana sektor bisnis menciptakan nilainya tersendiri berupa nilai ekonomis bagi para pemodal. Pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai produk pemerintah berbentuk kebijakan publik harus dapat mencerminkan nilai-nilai publik, termasuk dalam kasus pembuatan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau biasa disebut Omnibus Law UU Ciptaker yang mendapatkan banyak kritik dari pihak oposisi hingga menciptakan kontroversi di tengah masyarakat.

Omnibus Law UU Ciptaker dan Kontroversinya yang Fenomenal

Omnibus law merupakan istilah baru di telinga masyarakat Indonesia. Dilatarbelakangi oleh pidato pelantikan Presiden Jokowi periode 2019-2024, di mana beliau mengartikan omnibus law sebagai satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang, bahkan puluhan undang-undang. Omnibus Law UU Ciptaker ini merupakan satu dari dua UU yang ingin dibuat oleh DPR bersama pemerintah dalam bentuk omnibus law (yang lainnya UU Pemberdayaan UMKM). Permasalahannya muncul ketika dari mulai proses perencanaan hingga pengesahan UU ini, masyarakat terutama buruh merasa tidak dilibatkan. Tak hanya itu, prosesnya terbilang sangat singkat bila dibandingkan proses pembuatan UU lain, terlebih UU ini berbentuk omnibus law yang secara logika akan memerlukan waktu lebih panjang. Dugaan adanya konflik kepentingan pun tak terelakkan. Banyak pihak menduga pemerintah dan DPR ditunggangi kepentingan elit politik dan pengusaha, bukan berpihak pada masyarakat.
ADVERTISEMENT

Penciptaan Nilai Publik (Public Value Creation)

Penciptaan nilai publik (public value creation) berasumsi bahwa nilai publik dapat dicapai ketika proses pengambilan keputusan didasarkan atas hubungan yang erat antara dimensi institusi, politik, dan korporasi untuk memastikan komitmen semua dimensi dalam mencapai tujuan bersama. Penciptaan nilai publik digagas oleh Mark Moore (1995) dalam bukunya Creating Public Value, di mana menurutnya perlu dilakukan perubahan paradigma organisasi sektor publik dari New Public Management (NPM) menuju konsep penciptaan nilai publik (public value creation), sebab banyak kritik dari beberapa penulis akademis terhadap pengelolaan sektor publik dalam paradigma NPM yang diyakini kesulitan untuk menunjukkan kekhususan pelayanan publik dan menciptakan nilai publik dalam pelayanan publik. Penciptaan nilai publik dibangun dari suatu strategi organisasional yaitu Trilogi Strategi (a strategic triangle), yang menjadi pembeda antara pelayanan publik dan pelayanan oleh sektor swasta. Komponen Trilogi Strategi yaitu sebagai berikut (Pasaribu, 2014):
ADVERTISEMENT
Pelayanan publik diberikan melalui pelayanan yang bermutu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan prinsip-prinsip yang benar seperti keterbukaan, keadilan, dan kepastian hukum.
Manfaat dari pelayanan publik kental akan kepentingan publik yang bukan mencari keuntungan dan lebih mengutamakan manfaat sosial, seperti ketertiban pengurangan kemiskinan, kesehatan publik, dan kenyamanan kota.
Setiap organisasi pelayanan publik dibentuk untuk menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah melalui partisipasi dan keterlibatan yang lebih nyata.

Omnibus Law UU Ciptaker dalam Perspektif Penciptaan Nilai Publik

Pada kasus Omnibus Law UU Ciptaker, pembuatan UU ini sudah cukup baik dari komponen pelayanan, yaitu ditujukan untuk mengeluarkan Indonesia dari status negara berpenghasilan menengah dengan memudahkan investor asing untuk masuk dan menciptakan lapangan kerja baru. Meski niatnya baik, masih banyak ditemukan kritik dari banyak pihak yang seakan mempertanyakan esensi dari keberadaan Omnibus Law UU Ciptaker itu sendiri bahwa UU ini dinilai cacat hukum (ketentuan dan prosedur penyusunan UU yang berbentuk omnibus law tidak tercantum dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, minim partisipasi publik padahal menjadi prasyarat yang tercantum dalam Pasal 96 UU 12/2011, ketiadaan naskah akademik dan draf RUU dalam proses perencanaan dan penyusunan, hingga penghapusan pasal setelah proses pengesahan UU) dan cacat substansi (banyak klausul dan pasal yang bermasalah, seperti penggunaan PP untuk mengubah UU, penghapusan hak cuti dan hak upah atas cuti, penghapusan kewajiban Analisis Dampak Lingkungan atau AMDAL dalam izin usaha, dan banyak lagi).
ADVERTISEMENT
Dari komponen manfaat, banyak pasal dari Omnibus Law UU Ciptaker yang merugikan buruh, seperti menurut kajian Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bahwa Pasal 88C ayat (2) yang tidak mewajibkan gubernur menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota, sehingga berpotensi memunculkan kembalinya rezim upah murah. KSPI juga menemukan bahwa Omnibus Law UU Ciptaker menghilangkan periode batas kontrak yang tercantum pada Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Presiden KSPI, Said Iqbal dalam CNN Indonesia (2020) menyatakan ketiadaan batas kontrak membuat karyawan kontrak dapat diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi karyawan tetap. Hal ini berarti tidak ada kepastian dalam bekerja.
Komponen kepercayaan adalah yang terparah, sebab sebagian besar pihak menilai bahwa dari mulai perencanaan hingga pengesahan Omnibus Law UU Ciptaker, partisipasi masyarakat kurang dilibatkan. Polemik ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat kepada DPR dan pemerintah ini melahirkan demonstrasi yang berujung kerusuhan di berbagai daerah oleh kaum buruh, mahasiswa, hingga pelajar. Selain itu, menurut data dari Komisi Pemilihan Umum dan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam Tempo.co (2019), disebutkan bahwa sebanyak 45% atau 262 anggota DPR RI 2019-2024 merangkap menjadi pengusaha dan tercatat memiliki saham, menjabat komisaris, hingga menduduki kursi direksi di 1.016 perusahaan, sehingga turut memperdalam kekhawatiran akan adanya konflik kepentingan dalam proses pembentukan UU ini. Jika hal tersebut terjadi, maka bukan hanya anggota DPR tidak mengindahkan gagasan nilai publik, tetapi juga melanggar Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2015 tentang Kode Etik DPR, Pasal 2 ayat (1), (2), dan (5) yang berkaitan dengan prioritas kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat dalam setiap tindakan anggota DPR, menyalahi poin kelima etika pelayanan publik menurut Kinchin (2007), yaitu tidak ada konflik kepentingan, serta menggambarkan bahwa relasi antara masyarakat dan negara atau pemerintah tidak berjalan sempurna berdasarkan teori state-society relations, karena hal tersebut menandakan rendahnya akuntabilitas dan intensi anggota DPR dalam membangun otoritas publik yang efektif.
ADVERTISEMENT
Sehingga, Omnibus Law UU Ciptaker yang kontroversial ini bila ditinjau dari perspektif nilai publik dapat dikatakan belum mengupayakan penciptaan nilai publik secara optimal oleh lembaga DPR dan pemerintah. Meskipun bertujuan untuk memudahkan investasi dan mendorong kemajuan Indonesia, publik menilai bahwa preferensi nilai-nilai publik yang dipegang teguh oleh masyarakat luas serta DPR sendiri pun belum sepenuhnya dilibatkan dalam proses pembuatan omnibus law ini, sehingga kurang mendapat antusiasme atau bahkan mendapat penolakan publik. Dengan dukungan yang rendah dari publik, hampir dapat dipastikan bahwa kebijakan tersebut akan mendapat banyak hambatan dalam tahap implementasinya.
Oleh karena itu, DPR bersama pemerintah perlu meninjau kembali penyertaan komponen nilai publik dalam produk Omnibus Law UU Ciptaker ini, sebagaimana nilai publik merupakan ruh atau inti dari setiap kebijakan pemerintah. Lebih lanjut, pemerintah bersama DPR perlu memperbaiki hubungannya dengan masyarakat dalam rangka meningkatkan dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadapnya agar segala tindakan dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dapat diimplementasikan secara efektif. Adapun dalam kasus Omnibus Law UU Ciptaker ini, sosialisasi dan klarifikasi lebih lanjut dan komprehensif perlu disampaikan kepada publik agar kekhawatiran mereka terjawab dan tidak merasa dikhianati oleh itikad baik pemerintah.
ADVERTISEMENT
Penulis : Halifa Nurnadhifa, Lilie Syahrina, Natalia Sihotang (Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia)
Referensi
CNN Indonesia. (3 November 2020). Desak UU Ciptaker Dicabut, KSPI Sorot Aturan Merugikan Buruh. Jakarta: CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201103095002-32-565238/desak-uu-ciptaker-dicabut-kspi-sorot-aturan-merugikan-buruh
Haider, H. with C. Mcloughlin. (2016). State-society relations and citizenship in situations of conflict and fragility: Topic guide supplement. Birmingham, UK: GSDRC, University of Birmingham. https://gsdrc.org/wp-content/uploads/2015/07/CON88.pdf
Idhom, A. M. (20 Oktober 2019). Isi Pidato Jokowi saat Pelantikan Presiden 2019-2024 di Sidang MPR. tirto.id. https://tirto.id/isi-pidato-jokowi-saat-pelantikan-presiden-2019-2024-di-sidang-mpr-ej5U
Kinchin, N. (2007). More than Writing on a Wall: Evaluating the Role that Codes of Ethics Play in Securing Accountability of Public Sector Decision‐Makers. Australian Journal of Public Administration, 66: 112-120. https://doi.org/10.1111/j.1467-8500.2007.00519.x
Moerat, Fitra. 2019. Potensi Konflik Kepentingan 262 Pengusaha yang Jadi Anggota DPR, 3 Oktober 2019. Jakarta: Tempo.co. Dilansir pada 16 Desember 2020 dari https://grafis.tempo.co/read/1835/potensi-konflik-kepentingan-262-pengusaha-yang-jadi-anggota-dpr
ADVERTISEMENT
Pasaribu, M. (30 Oktober 2014). Suatu Tinjauan atas Konsep Penciptaan Nilai Publik (Public Value Creation) sebagai Paradigma Baru dalam Pelayanan Publik. PPK BLU Kementerian Keuangan RI. http://blu.djpbn.kemenkeu.go.id/index.php?r=publication/article/view&id=2
Riewanto, A. (13 Oktober 2020). Menguak Cacat Formil UU Cipta Kerja Oleh: Agus Riewanto. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f854ded1a0b5/menguak-cacat-formil-uu-cipta-kerja-oleh--agus-riewanto?page=2
Santika, E. F. (Ed. Iwan Sutiawan). (6 Oktober 2020). UU Ciptaker Dinilai Cacat Prosedur & Langgar Hak Konstitusi. Jakarta: GATRA.com. https://www.gatra.com/detail/news/492121/politik/uu-ciptaker-dinilai-cacat-prosedur--langgar-hak-konstitusi