Tentang Kartini, Kebaya dan Belenggu Stereotip Gender

Halimatus Sadiyah
Media and gender enthusiast.
Konten dari Pengguna
21 April 2020 15:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Halimatus Sadiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya sungguh gagal paham dengan kebiasaan masyarakat kita yang memeringati Hari Kartini dengan berkebaya. Kalau bukan karena penerapan social distancing, pasti sudah banyak kita jumpai pawai kebaya dan pakaian tradisional lainnya yang diramaikan oleh anak-anak usia sekolah setiap tanggal 21 April. Di hari itu pula, kaum perempuan ramai-ramai mengunggah foto mereka yang berkebaya warna warni di media sosial. Tak lupa dengan tagar #HariKartini atau #KartiniDay. Meski tidak ada yang salah dengan hal tersebut, saya merasa hal-hal semacam itu hanya berhenti pada tahap ritual yang superfisial. Padahal, masih ada segudang permasalahan krusial menimpa perempuan yang harusnya diperjuangkan oleh Kartini-Kartini masa kini.
ADVERTISEMENT
Contoh paling nyata dan banyak kita temui dalam kehidupan sehari-hari adalah soal stereotip gender yang sering kali membelenggu perempuan, salah satunya ungkapan bahwa tempat perempuan adalah di dapur, sumur dan kasur. Dapur merujuk pada kegiatan memasak, sumur melambangkan aktivitas mencuci, sementara kasur jadi simbol pelayanan istri pada suami dalam urusan hubungan badan. Katanya, bukan perempuan sejati kalau tidak bisa memasak. Katanya, sudah ‘kodrat’ perempuan untuk terampil dalam urusan merawat rumah. Katanya, istri harus jago di ranjang supaya suaminya tidak ‘jajan.’ Dan masih banyak katanya-katanya yang lain.
Saya baru beranjak remaja saat pertama kali mendengar stereotip soal dapur, sumur, kasur tersebut. Saat itu, saya dan teman-teman sedang membahas rencana masa depan kami seusai lulus dari sekolah menengah atas. Lalu, seorang kawan nyeletuk, “jadi perempuan ujung-ujungnya juga cuma dapur, sumur, kasur.” Tak ada yang membantah celetukan teman saya tersebut. Toh, sejak kecil, kami menyaksikan ibu-ibu kami melakukan itu semua.
ADVERTISEMENT
Meski zaman sudah berubah dan makin banyak perempuan yang berkiprah di beragam sektor penting di negeri ini, doktrin dapur, sumur dan kasur tetep lestari. Perempuan dituntut untuk mengambil sebagian besar, jika tidak seratus persen, tugas domestik rumah tangga yang sebetulnya juga menjadi tanggung jawab laki-laki. Karena alasan itu pula, banyak perempuan karir, terutama setelah melahirkan, dihadapkan pada keputusan sulit untuk memilih mengembangkan karir atau mengurus keluarga. Sebuah dilema yang nyaris tidak pernah dihadapkan pada laki-laki. Padahal, mereka juga bagian dari keluarga itu sendiri.
Tak jarang saya mendengar ungkapan bahwa istri tidak boleh melupakan ‘kodratnya’ sebagai perempuan meski ia seorang wanita karir. Ini berarti, jika ada suami-istri yang sama-sama mencari nafkah, baik bekerja di luar atau di dalam rumah, maka pekerjaan domestik rumah tangga tetap menjadi ‘tugas utama’ si istri. Siapapun, jika mau berpikir logis, akan mengatakan bahwa hal tersebut tidak adil. Namun, ketidakadilan tersebut nyatanya sudah terlalu lama kita normalkan.
ADVERTISEMENT
Pada 2017, studi yang dilakukan Pew Research Center mengungkap bahwa semakin banyak perempuan millennial yang bekerja dibanding generasi sebelumnya. Jumlahnya meningkat 72 persen dibanding tahun 2000. Meski begitu, perempuan tetap menjadi subjek yang paling banyak mengerjakan tugas mengurus rumah dibanding laki-laki.
Mari kita runut ke belakang untuk melihat akar masalah dari ketidakadilan gender ini. Di masyarakat kita, anak perempuan lazim diajarkan untuk terampil mengerjakan pekerjaan rumah, seperti menyapu, mengepel dan mencuci piring, sejak usia sekolah dasar. Hal yang sama tak selalu berlaku untuk anak laki-laki. Celakanya, kebiasaan yang cenderung diskriminatif ini telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Pada 2016, UNICEF meluncurkan laporan yang mengungkap bahwa secara global anak perempuan usia 5-14 tahun menghabiskan waktu 40 persen lebih banyak dalam mengerjakan pekerjaan domestik dibanding anak laki-laki. Sebagai konsekuensi, anak perempuan memiliki waktu yang lebih sedikit untuk bermain, belajar dan bertumbuh bersama teman sebayanya. Beban mengerjakan tugas domestik tersebut telah dimulai sejak dini dan akan semakin bertambah ketika mereka menginjak usia remaja. UNICEF menyebut kondisi itu sebagai sebuah tantangan global yang harus diubah.
ADVERTISEMENT
Suatu waktu, saya membaca kisah yang dibagikan seorang teman di media sosialnya. Ia bercerita kalau anak laki-laki di desanya bahkan tidak boleh masuk ke dapur, meski hanya untuk mengambil piring. Pamali, katanya. Tentu saja, tidak ada alasan logis di balik pamali tersebut. Di waktu yang lain, setelah membaca sebuah artikel online, saya baru tahu bahwa di dalam budaya Jawa ada julukan cupar, sebuah panggilan ejekan untuk laki-laki yang gemar mengurusi urusan dapur.
Julukan dan stigma seperti itu telah melanggengkan stereotip gender. Tidak seharusnya kita menormalkan ketidakadilan gender hanya karena ia telah menjadi norma sosial yang telah dianut dan diamalkan dari generasi ke generasi. Sudah banyak pula riset akademik yang mengungkap bahwa traditional gender roles yang sangat kaku dapat mengarah pada hal yang lebih mengerikan, yakni menjadi faktor pemicu aksi kekerasan berbasis gender. Ini terjadi karena adanya stereotip tentang pembagian peran antara perempuan dan laki-laki yang sangat kaku. Sehingga, ketika peran itu tidak dijalankan, maka akan ada pihak yang tak puas dan akhirnya melakukan aksi kekerasan.
ADVERTISEMENT
Lalu, sebagai Kartini modern, apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah kondisi tersebut? Bagi saya, jawabannya adalah dengan memutus rantai budaya patriarki dari dalam rumah kita sendiri. Langkah itu bisa dimulai dengan berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengerjakan tugas rumah tangga. Bahwa pekerjaan rumah ada untuk dibagi bebannya bersama, tak peduli ia laki-laki atau perempuan. Jika Anda sebagai istri memasak, maka ajak suami untuk membantu mencuci piring. Jika suami menyapu, maka istri yang mengepel lantai. Bukankah pekerjaan rumah akan terasa lebih ringan jika dilakukan bersama?
Jika kebiasaan untuk berbagi peran domestik dalam rumah tangga sudah terbangun, maka teruskanlah kebiasaan tersebut pada anak-anak. Delegasikan tugas merawat rumah secara adil pada anak laki-laki dan perempuan sesuai dengan umurnya. Di sini, peran orang tua menjadi krusial dalam mempromosikan keadilan gender untuk generasi berikutnya.
ADVERTISEMENT
Urusan berbagi peran dalam tugas domestik ini mungkin terdengar sepele. Tapi percaya lah, tidak akan pernah ada kesetaraan gender bila ketidakadilan itu terus diproduksi di rumah-rumah kita. Dan tentu saja, untuk meraih keadilan gender, usaha itu harus dimulai dari lingkup terkecil di keluarga inti kita sendiri.
Kembali lagi soal Kartini, saya punya keyakinan kuat bahwa pahlawan perempuan yang kita banggakan tersebut pasti ingin diingat karena kerja emansipatorinya, bukan kebayanya.
Selamat Hari Kartini!