Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kampus, Kajian, dan Dunia Kritik
7 Oktober 2024 11:46 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Halim HD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
25 lebih sejak tahun 1995 program kajian seni pertunjukan dan lalu berkembang kepada kajian budaya visual, khususnya seni rupa, dan disusul dengan kajian budaya hadir di dalam ruang-ruang perkuliahan program studi pascasarjana.
ADVERTISEMENT
Program yang kian banyak diminati oleh para dosen dan penulis lepas, nampaknya seiring dengan pengembangan dunia kesenian dan kebudayaan dalam kaitannya dengan proses bagaimana memetakan masalah kebudayaan secara umum.
Di sisi lain, bagaimana dunia kesenian dihadapkan dengan suatu tinjauan yang bersifat keilmiahan. Perkembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perubahan sosial yang tak lepas dari perubahan perspektif politik, membuka cakrawala pemikiran bahwa tak sepenuhnya suatu kerangka keilmuan bisa bebas nilai.
Dalam konteks perspektif antropo-historis misalnya, sudah sejak lama ketika munculnya kesadaran bahwa kerangka antropo-historis yang bersumber dari Eropa-Amerika memiliki beban nilai terhadap kondisi kehidupan keilmiahan di “Dunia Ketiga”.
Beban nilai itu menciptakan penilaian kembali terhadap produk keilmuan yang dibentuk oleh masa lampau, kolonialisme yang telah mencabik-cabik kehidupan kebudayaan, kesenian dan masyarakat negeri jajahan.
ADVERTISEMENT
Suatu tematik pemikiran dengan perspektif pos modernisme yang berkembang sejak setengah abad lampau berkaitan dengan kritik terhadap modernisme, walaupun dengan sayup dan masih meraba arah dari perkembangan pemikiran kritis itu.
Tahapan perkembangan pemikiran itu secara simultan berkembang melalui berbagai arah yang memunculkan perdebatan. Berkah perdebatan itulah membongkar kerangka yang telah tertanam sejak abad XVI Ketika Francis Bacon menyatakan “Knowledge is Power”, yang melahirkan daya dorong imperium nilai dalam wujud kolonialisme dan terbentuknya negeri-negeri jajahan yang merupakan dampak dari sirkulasi perdagangan di Eropa.
Logo sentrisme ditancapkan melalui kekuatan ilmu pengetahuan, dan pada sisi lainnya melalui kekuatan ilmu pengetahuan itu pula terjadi proses eksploitasi terhadap semua kemungkinan yang diterapkan kepada negeri jajahan.
ADVERTISEMENT
Ujung dari dampak kekuatan ilmu pengetahuan itu melahirkan secara kasat mata negeri-negeri jajahan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Dari waktu ke waktu pembentukan negeri-negeri yang diduduki kaum kolonial makin kokoh dan menciptakan jurang bukan hanya kemiskinan ekonomis tapi juga kemiskinan budaya.
Wujud yang paling nyata dari cengkeraman kolonialisme tentu saja kepentingan kapital yang memang mendorong kekuatan negeri-negeri Eropa. Di mana satu dengan lainnya saling bersaing dan sekaligus saling berkolaborasi menciptakan ketergantungan negeri jajahan kepada tatanan nilai yang dibentuk oleh suatu imperium nilai yang berpusat di ibukota-ibukota perdagangan seperti Amsterdam, London, Lisabon, Madrid, Paris, Roma, Berlin, Antwerp di samping kota-kota lainnya yang memiliki basis perkembangan perdagangan dan industri seperti kota-kota di Amerika seperti New York, Chicago, Los Angeles, Texas, Boston.
ADVERTISEMENT
Kota-kota itulah yang sampai kini masih memiliki jejak ingatan, memori sosial yang masih menjadi orientasi bagi khususnya kaum kelas menengah-atas dalam berbagai citra produk kebudayaannya.
Pos moderenisme seiring dengan pos kolonial menjadi salah satu tahapan sejarah dalam pemikiran kebudayaan yang membawa dampak kepada sosial politik dan praktik jejaring ilmu pengetahuan. Melalui kedua tahapan itulah, pos modernisme dan pos kolonial, logo sentrisme dari modernisme mengalami gugatan dan sekaligus keretakan tatanan nilai dan munculnya berbagai tematik de-centring, suatu proses desentralisasi.
Tematik dan isu warna kelokalan bermunculan sebagai basis pemikiran dan sekaligus sistem produksi beriringan dengan spirit nasional(isme) dengan nada kekinian: kehendak untuk setara yang merupakan kelanjutan dari periode awal dan tengah abad XX.
ADVERTISEMENT
Namun kita juga menyaksikan realitas yang lain yang seiring dengan proses desentralisasi munculnya globalisasi yang merupakan produk dari munculnya sistem informasi yang didukung oleh internet dan sistem transportasi modern yang demikian canggih.
Transformasi universal (isme) menjadi globalisasi nampaknya tak terelakan, dan sirkulasi sejarah terasa kembali kepada abad XIX di mana sejenis kolonialisme baru menjadi kekuasaan masa kini di dalam praktik politik ekonomi, teknologi dan ilmu pengetahuan, betapa pun gugatan terjadi di semua lini.
Secara sistemik sesungguhnya jika kita menyatakan bahwa tatanan imperium nilai dengan kekuatan imperialisme baru melalui sarana teknologi informasi beserta sistem teknologi produksi dalam aspek kebudayaan, tak mengalami pergeseran yang signifikan.
Di balik itu, kembali kita berhadapan dengan perspektif kekuatan kapitalisme global yang justru kian canggih. Dalam konteks inilah kita perlu mempertanyakan kembali posisi fungsi kampus sebagai institusi ilmu pengetahuan, lembaga riset dan kebudayaan: sejauh mana kampus telah menciptakan suatu sistem produksi ilmu pengetahuan dan menciptakan pola produksi khususnya dalam kaitannya dengan produksi kebudayaan dan pemikiran.
ADVERTISEMENT
Adakah kampus sebagai basis sosial ilmu pengetahuan telah melahirkan para pemikir yang memiliki daya gugatan atas realitas mutahir berkaitan dengan proses perkembangan kehidupan bangsa dan negara, dan pada sisi lainnya, sejauh manakah kampus melahirkan pemikiran kritis terhadap masalah-masalah fundamental yang bisa dijadikan dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan?
Dengan meminjam ungkapan yang dinyatakan pada tahun 1996, setahun-dua setelah program kajian, Sosiolog-Novelis Umar Kayam yang menyatakan bahwa dalam kasus proses pendidikan pasca sarjana kajian seni pertunjukan ada kecenderungan yang kuat tak melahirkan pemikiran kritis, karena proses pendidikan hanya bersifat penjejalan dan penghapalan kutipan teori-teori kepada mahasiswa.
Riset di lapangan terasa tak menemukan konteks yang kuat, yang nampaknya seiring dengan ketiadaan pengajar untuk memahami apa sesungguhnya kajian yang dibutuhkan dalam konteks kesejarahan dan kebutuhan mutahir? Sangat mungkin hal ini pula yang melahirkan pernyataan novelis, Seno Gumira Ajidarma, bahwa tak ada korelasi antara kajian dengan pengembangan daya kritis yang melahirkan kritik terhadap dunia kesenian.
ADVERTISEMENT
Sinisme lain muncul berkaitan dengan posisi-fungsi kampus, bahwa kampus nampak menjadi kepanjangan dari kolonialisme baru di dalam praktik ilmu pengetahuan, betapa pun teori berbagai pos kolonial dan dekolonisasi menjadi bacaan, bahkan menjadi sejenis gaya hidup di dalam perbincangan tentang kesenian dan kebudayaan: pasar teori tanpa kapasitas menciptakan dan hanya menjadi konsumen.
Konsumerisme yang seiring dengan ilmu pengetahuan yang menjadi komoditas inilah yang kini makin terasa dan kampus menjadi agensi dari kekuatan pasar global.