Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menakar Relasi Kuasa Presiden Terhadap KPK
22 September 2024 15:58 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Dr Hamdani, MM, MSi, Ak, CA, CIPSAS, CRGP, CFrA, CACP, ACPA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2024 yang masa jabatannya diperpanjang akan mengakhiri tugasnya pada 20 Desember 2024. Sejak kelahiran KPK dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 telah terbentuk enam panitia seleksi (pansel) calon pimpinan (capim) KPK.
ADVERTISEMENT
Dari enam pansel yang pernah terbentuk, dua pansel terakhir bentukan Jokowi menuai kontroversi. Pansel capim KPK 2019-2024 menghasilkan pimpinan KPK terburuk dalam sejarah KPK, dimana sebanyak tiga pimpinan KPK terkena sanksi pelanggaran kode etik dan satu ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi yang seharusnya mereka berantas.
Sedangkan pansel 2024-2029, komposisinya didominasi unsur pemerintah yang berbeda dengan dua pansel sebelumnya. Ketika pansel periode 2019-2024 yang berasal dari kalangan profesional di luar pemerintahan saja menghasilkan beberapa orang pimpinan KPK yang bermasalah, keraguan publik terhadap sosok pimpinan KPK 2024-2029 yang terpilih sulit ditepis.
Jokowi menjadi satu-satunya Presiden RI yang memiliki tiga kali kesempatan menetapkan pansel capim KPK untuk memilih capim KPK periode 2015-2019, periode 2019-2024, dan periode 2024-2029. Putusan MK yang memperpanjang masa jabatan dewan pengawas (Dewas) dan pimpinan KPK menjadi lima tahun membuat presiden berikutnya yang menjabat dua periode pun maksimal hanya dua kali memperoleh kesempatan menetapkan pansel capim KPK.
ADVERTISEMENT
Pengumuman Pansel KPK tanggal 11 September 2024 telah menghasilkan 20 capim KPK untuk seleksi akhir menjadi 10 orang yang diserahkan kepada Presiden dan dipilih DPR. Jika Pansel buru-buru menyelesaikan pemilihan capim KPK sebelum tanggal 20 Oktober 2024, maka Prabowo tidak mempunyai kesempatan memilih pimpinan lembaga anti rasuah ini pada periode pertama pemerintahannya. Sebaliknya Jokowi mendapat ruang menentukan figur kepemimpinan KPK selama tiga periode.
Kendati proses seleksi akhir wawancara dilakukan Pansel KPK pada tanggal 17-20 September 2024, namun hasil akhir Pansel berupa penetapan 10 nama capim KPK sebaiknya dilakukan setelah Prabowo dilantik. Hal ini sejalan dengan komitmen Prabowo pada kampanye Pilpres untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi dengan kepemimpinan KPK yang berani, kredibel dan berintegritas. Untuk itu, Prabowo harus diberi kesempatan memilih pimpinan KPK yang memenuhi kriteria yang diinginkannya.
ADVERTISEMENT
Mengingat pelantikan pimpinan KPK periode 2024-2029 pada tanggal 20 Desember 2024, dua bulan setelah pelantikan Prabowo sebagai Presiden RI ke-8, maka Pansel capim KPK seyogianya menetapkan 10 nama capim KPK setelah Prabowo dilantik. Apabila tidak, maka pimpinan KPK pada pemerintahan Prabowo sepenuhnya figur yang diinginkan Jokowi. Benturan kepentingan akan terjadi apabila KPK menangani pengaduan dugaan korupsi pasca lengsernya Jokowi yang kemungkinan memiliki katerkaitan dengannya.
Rumpun Kekuasaan Bukan Dalam Penguasaan
Relasi kuasa Presiden terhadap Pimpinan KPK mengalami pasang surut selama lima periode kepemimpinan KPK yaitu tahun 2003-2007, 2007-2011, 2011-2015, 2015-2019, dan 2019-2024. Sepanjang tiga periode pertama pimpinan KPK mampu menjaga independensi dalam relasi kuasa terhadap Presiden. Fakta ini tercermin keberanian KPK menangani kasus korupsi yang memiliki keterkaitan atau hubungan dengan Presiden.
ADVERTISEMENT
Pada awal reformasi MPR memberi mandat kepada pemerintah untuk mengubur perilaku KKN dari bumi pertiwi dengan TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Sebagai tindak lanjut TAP MPR tersebut, diterbitkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, dan UU Nomor 30 Tahun 2002.
Periode kedua Pemerintahan Jokowi, KPK mulai masuk dalam rumpun eksekutif yang secara kelembagaan berada di bawah Presiden. Padahal menurut UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat, sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada KPK.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, pada UU Nomor 19 Tahun 2019 KPK secara kelembagaan merupakan bagian dari cabang kekuasaan pemerintahan atau termasuk ranah kekuasaan eksekutif yang sering disebut lembaga pemerintah. UU Nomor 19 Tahun 2019 mengatur agar kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi jelas sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan pemerintahan. Dalam ketentuan ini, KPK disebut sebagai lembaga negara dalam rumpun eksekutif, sehingga Presiden perlu mengendalikan melalui lembaga Dewas KPK.
Independensi Pimpinan KPK tidak berjalan optimal dengan keberadaan Dewas yang berkedudukan dan bertanggungjawab kepada Presiden. Berbeda dengan pimpinan KPK yang diseleksi oleh Presiden dan dipilih oleh DPR, Dewas KPK dipillih oleh Presiden dari dua nama yang disampaikan Pansel Dewas dan Pimpinan KPK.
ADVERTISEMENT
Sebelum revisi UU KPK, pengawasan terhadap pimpinan KPK tetap berjalan secara maksimal, terbukti dengan penjatuhan sanksi perlanggaran etika kepada Ketua KPK periode 2011-2015, Abraham Samad yang dinilai teledor secara administrasi. Sedangkan dalam urusan penanganan perkara, komisioner KPK tidak dikontrol melalui lembaga semacam Dewas, sebagai wujud dari independensi terhadap pengaruh kekuasaan manapun.
Sikap Jokowi yang membiarkan kekosongan pimpinan KPK pasca Firli Baihuri ditetapkan tersangka menimbulkan tanda tanya komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Sejak Nawawi menjadi ketua sementara terlama yang dilantik tanggal 27 November 2023 sampai saat ini, satu formasi pimpinan KPK masih dibiarkan kosong. Berbeda halnya saat Abraham Samad dan Bambang Wijayanto yang notabene berseberangan dengan penguasa, Jokowi berani menerbitkan Perpu penggantinya tanpa melibatkan DPR.
ADVERTISEMENT
Penanganan Kasus Korupsi Seputar Istana
Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi beberapa kasus pengaduan masyarakat kepada KPK terkait keluarga dan kerabatnya praktis tidak direspon sebagaimana mestinya. KPK hanya memanggil dan meminta keterangan pelapor tanpa kejelasan penanganan. Ada beberapa kasus yang menyangkut keluarga istana atau kemungkinan memiliki katerkaitan dengan Presiden Jokowi yang tidak ditangani sebagaimana mestinya.
Pertama, pelaporan oleh Ubaedilah Badrun, akademisi Universitas Negeri Jakarta terkait adanya aliran uang yang mencurigakan lewat perusahaan yang dibentuk anak Presiden Jokowi bersama dengan anak dari Pengusaha besar berkongsi membentuk perusahaan yang bernama PT Wadah Masa Depan. Ketiganya kembali berkongsi membuat perusahaan yang lain yang bernama PT Harapan Bangsa Kita atau yang lebih dikenal dengan GK Hebat membawahi beberapa kuliner UMKM di antaranya adalah Sang Pisang, Mangkokku, Markobar, Yang-Ayam, dan Ternakopi
ADVERTISEMENT
Kedua, anak dan menantu Jokowi, Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu, dilaporkan terkait dengan jatah tambang 'Blok Medan' yang terungkap di sidang mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Ghani Kasuba di Halmahera Timur oleh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Selatan dan Jakarta Barat tanggal 9 Agustus 2024. Ketiga, pengaduan dugaan gratifkasi fasilitas pesawat jet pribadi yang dilakukan Bobby Nasution dan Kaesang Pangareb penanganannya dalam internal KPK menimbulkan kontroversi.
Rekam jejak KPK dalam penanganan kasus korupsi yang bersentuhan dengan istana tercermin dari perjalanan setiap periode kepemimpinan nasional. Pada masa Megawati yang membidanginya, KPK jilid satu baru seumur jagung dan praktis belum menyentuh perkara yang kemungkinan ada kaitan Presiden RI ke 5 tersebut. Setelah Megawati lengser, KPK era kepemimpinan Antasari Azhar sebagai Ketua terbukti juga tidak menemukan dugaan korupsi yang berkaitan dengan kerabat Megawati.
ADVERTISEMENT
Menjelang periode pertama pemerintahan SBY berakhir, proses hukum kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) menjerat mantan anggota Dewan Gubernur BI, Aulia Tantowi Pohan, sebagai tersangka baru dalam kasus yang diduga merugikan negara Rp100 miliar tersebut. Pengumuman Aulia yang juga besan Presiden SBY itu menjadi tersangka disampaikan langsung Antasari di gedung KPK tanggal 29 Okotober 2008 yang membuktikan KPK tidak gamang mengusut koruptor dalam lingkaran istana.
Pada periode kedua pemerintahan Presiden RI ke-6, KPK menjebloskan ke penjara tujuh elit Partai Demokrat yang tersandung korupsi. Setelah menetapkan Nazaruddin sebagai terdakwa kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang, rentetan kasus korupsi elit partai demokrat diungkap KPK. Skandal Hambalang, korupsi Kementerian ESDM, dan suap telah menyeret sejumlah elit Partai Demokrat sebagai terpidana yakni Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Siti Hartati Murdaya, Andi Alifian Malarangeng, Sutan Bhatoegana, dan Jero Wacik.
ADVERTISEMENT
Kedudukan KPK di luar pengaruh kekuasaan presiden dengan keseriusan menuntas koruptor menusuk langsung ke jantung penguasa membuat kepercayaan publik meningkat. Peristiwa ini menjadi penyebab melorotnya perolehan kursi Partai Demokrat di DPR dari 150 kursi pada periode 2009-2014 menjadi 61 kursi pada periode berikutnya. Squad KPK dibawah kepemimpinan Abraham Samad tidak pernah ragu mengusut korupsi partai yang berlambang mercy yang kemungkinan mendapat intervensi SBY dan malahan ketika terjadi cecak jilid dua SBY pasang badan membela KPK.
Kekhawatiran publik apabila Prabowo memilih pimpinan KPK sesuai kepentingannya dan digunakan untuk kepentingan politik perlu dikesampingkan. Keluarga inti Prabowo, yang hanya mempunyai anak tunggal dalam kaitan dengan kemungkinan kecil persentuhan dengan dugaan korupsi tentu berbeda dengan Jokowi yang memiliki tiga pasang anak menantu. Selain itu kemungkinan Jokowi secara langsung atau tidak langung melalui anak, menantu, saudara, keponakan dan ipar diadukan kepada KPK lebih terbuka seperti telah terjadi selama ini.
ADVERTISEMENT
Kemungkinan adanya kepentingan Jokowi mendapatkan suaka dari pimpinan KPK periode 2024-2029 menjadi argumentasi Pansel KPK menyampaikan 10 nama capim KPK setelah kekuasaan Jokowi berakhir. Banyak pengaduan terhadap orang dekat Jokowi yang masuk kepada KPK ketika berkuasa, kemungkinan akan bertambah setelah tidak menjabat lagi.
Beberapa pengamat menilai Jokowi yang kepemimpinannya dilahirkan dari rahim reformasi pada akhirnya dinisbatkan mendegradasi kualitas demokrasi yang melahirkannya. Sebagai lembaga pilar reformasi, KPK harus menyadari sejarah pendiriannya untuk menjawab harapan masyarakat dalam pemberantasan dan pencegahan korupsi. Sudah waktunya menjaga lembaga yang lahir sebagai jawaban tuntutan reformasi menjaga jarak dengan penguasa dan tidak lagi bagaikan monster pada kancah politik nasional.