Konten dari Pengguna

Pemulihan Kerugian Keuangan Negara pada Kasus Korupsi Timah

Dr Hamdani, MM, MSi, Ak, CA, CIPSAS, CRGP, CFrA, CACP, ACPA
Dosen pada Departemen Akuntansi FEB Universitas Andalas, pemegang sertifikat Auditor Utama BPKP, dan Anggota Komite Standar Akuntansi Pemerintahan. Sebelumnya Staf Ahli Mendagri Bidang Keuangan, Pembangunan dan Ekonomi (2014 sd 2022)
22 Juli 2024 9:05 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr Hamdani, MM, MSi, Ak, CA, CIPSAS, CRGP, CFrA, CACP, ACPA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korupsi Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korupsi Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan nilai kerugian keuangan negara dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pada tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022, mencapai sebesar Rp300 triliun. Angka fantastis ini berdasarkan hasil perhitungan Jampidsus Kejagung, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta sejumlah ahli lingkungan.
ADVERTISEMENT
Kasus kerugian negara tindak pidana penyalahgunaan usaha pertambangan timah menjadi kasus kerugian negara terbesar sepanjang sejarah republik ini. Sebelumnya, tidak pernah Kejagung maupun KPK mengumumkan kerugian keuangan negara dalam jumlah yang jumbo ini. Namun, kerugian keuangan negara yang besar tidak mempunyai makna yang berarti apabila tidak diikuti pemulihan kerugian keuangan negara sebagai pendapatan APBN.
Kerugian negara tersebut dikelompokkan menjadi nilai kerugian ekologis sebesar Rp271,07 triliun dan kerugian keuangan negara sebesar Rp28,93 triliun. Kerugian ekologis tersebut terdiri dari kerugian hutan sebesar Rp223,35 triliun dan kerugian non-hutan sebesar Rp47,72 triliun.
Yang diklasifikasikan atas kerugian lingkungan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan. Kerugian keuangan negara karena kerusakan lingkungan dihitung oleh Bambang Hero Saharjo, guru besar sekaligus ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor.
ADVERTISEMENT
Sedangkan kerugian keuangan negara sebesar Rp28,93 triliun merupakan kemahalan harga sewa smelter oleh PT Timah sebesar Rp2,285 triliun dan pembayaran bijih timah ilegal oleh PT Timah kepada mitra tambang PT Timah sebesar Rp26,649 triliun. Perhitungan kerugian keuangan negara dilakukan langsung oleh BPKP atas permintaan Kejaksaan.

Kerusakan Lingkungan Sebagai Kerugian Negara

Ilustrasi menebang kayu. Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Kasus ini menarik untuk dicermati karena untuk pertama kali kerugian kerusakan lingkungan dimasukkan sebagai pidana korupsi karena dinilai menyebabkan kerugian keuangan negara. Sesuai dengan Pasal 30 ayat 1 huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, untuk pidana tertentu termasuk pidana korupsi proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan oleh Kejaksaan atau KPK tanpa melibatkan Polri. Namun, apabila kasus tersebut merupakan peristiwa pidana umum maka proses penyelidikan dan penyidikan harus dilakukan oleh Polri.
ADVERTISEMENT
Beberapa kasus kejahatan lingkungan yang ditangani Polri telah dilimpahkan ke Kejaksaan untuk proses penuntutan dan telah ditetapkan pidananya oleh pengadilan. Namun, belum satu pun kasus yang didakwa dengan pidana korupsi dan tuntutan terjadinya kerugian keuangan negara. Putusan pengadilan menjatuhkan hukuman kurungan dan denda sebagai pidana umum.
Sebagai yurisprudensi ada rujukan beberapa putusan pengadilan yang menangani perkara kejahatan lingkungan. Pertama, putusan Pengadilan Negeri Pelalawan tanggal 3 November 2020 memutuskan menjatuhkan sanksi membayar denda sebesar Rp3,9 miliar kepada PT. Adei Plantation and Industry karena kelalaiannya menyebabkan kebakaran hutan dan lahan seluas 4,16 hektare pada tahun 2019 yang menyebabkan kerusakan baku mutu air, ambien dan baku mutu udara.
Kedua, putusan Pengadilan Negeri Sengeti tanggal 15 September 2021 yang memutuskan PT Mega Anugerah Sawit terbukti membakar hutan dan dijatuhi pidana denda sejumlah Rp3 miliar dan denda tambahan sebesar Rp543 miliar untuk memulihkan lahan gambut yang terbakar.
ADVERTISEMENT
Ketiga, putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Desember 2022 memutuskan PT Belfat Indah Permai terbukti merusak lingkungan karena membangun tanpa memiliki izin berusaha dan dijatuhi hukuman pidana denda sebesar Rp3 miliar dan pidana tambahan berupa perbaikan sebesar Rp7.494.800.000. Ketiga putusan tersebut menggunakan UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Adapun sanksi denda kerusakan lingkungan diatur pada Pasal 98 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 antara lain setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar. Namun, pada Pasal 99 ayat (1) apabila perbuatan yang sama terjadi karena kelalaiannya dipidana denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp3 miliar.
ADVERTISEMENT
Sedangkan UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara hanya mengatur sanksi pidana penambangan illegal dan penyalahgunaan usaha pertambangan dengan sanksi maksimal Rp100 miliar.
Sedangkan sanksi terkait kejahatan lingkungan tidak diatur secara khusus. Kendati pada Pasal 164 UU tersebut mengenakan pidana tambahan antara lain berupa kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana, namun pembayaran tersebut dibatasi maksimal Rp100 miliar.
Dalam kaitan dengan sanksi kerugian karena kerusakan ekologis sebesar Rp271 triliun secara formil belum diatur pada sanksi pidana melebihi Rp100 miliar. Untuk itu, nilai sanksi atas kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 164 UU Nomor 3 Tahun 2020 untuk kasus PT Timah tidak akan melebihi sanksi maksimal yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2020.
ADVERTISEMENT

Aliran Dana Korupsi dan Pemulihan Kerugian Negara

Ilustrasi korupsi Foto: Thinkstock
Indikator validitas perhitungan kerugian keuangan negara dari hasil audit investigasi terlihat dari besaran uang pengganti dalam putusan hakim Pengadilan Tipikor. Proses persidangan di samping memeriksa bukti kejahatan yang didakwakan juga menguji kerugian negara yang timbul dari perbuatan korupsi tersebut.
Apabila pidana uang pengganti tersebut jauh lebih rendah dari kerugian negara yang dihitung BPKP, maka perhitungan kerugian keuangan negara tersebut dinilai kurang valid dan diragukan keabsahannya.
Kejagung menyebut para tersangka kasus korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah periode 2015-2022 bakal dibebankan untuk membayar kerugian negara sebesar Rp300 triliun. Pada persidangan harus dipisahkan kerugian keuangan negara sebesar Rp28,93 triliun dan kerugian akibat kerusakan lingkungan sebesar Rp271,07 triliun.
ADVERTISEMENT
Untuk kasus korupsi tuntutan membayar kerugian keuangan negara sebagai uang pengganti merupakan pidana tambahan. Dasar pengenaan uang pengganti tersebut diatur sesuai Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi
Kendati kerugian keuangan negara sebesar Rp28,93 triliun diperoleh berdasarkan audit penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP, namun hakim tidak bisa menjatuhkan pidana tambahan sebesar kerugian keuangan negara yang dihitung. Penuntut umum harus mampu mengajukan bukti nilai kerugian keuangan negara yang mengalir kepada penerima dana haram tersebut.
Apabila penuntut tidak dapat membuktikan penerimaan aliran dana sebesar kerugian negara yang dihitung BPKP, maka dana yang dapat dipulihkan sebagai pendapatan negara maksimal sebanyak aliran dana yang diterima terdakwa sebagai uang pengganti. Kenyataan ini menyebabkan besaran uang pengganti yang dikenakan kepada terdakwa sebagai pidana tambahan tidak mampu memulihkan kerugian keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, kerugian akibat kerusakan lingkungan sebesar Rp271,07 triliun tidak dapat dituntut menggunakan ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999. Pasalnya, peristiwa pidana tersebut tidak memenuhi delik korupsi, melainkan kejahatan pidana umum.
Sesuai ketentuan UU tersebut, pidana korupsi harus memenuhi tiga unsur untuk dapat didakwa melakukan perbuatan korupsi yakni perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Ketentuan material yang mengatur sanksi pidana kegiatan pertambangan illegal (illegal mining) hanya menggunakan UU Nomor 32 Tahun 2009 dan UU Nomor 3 Tahun 2020. Kedua ketentuan tersebut hanya menetapkan sanksi pidana denda terberat sebesar Rp100 miliar termasuk dana yang diperlukan untuk pemulihan kerusakan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Aparat penegak hukum selama ini terlalu berfokus pada penghitungan kerugian negara semata ketika menangani kasus korupsi dengan dimensi sumber daya alam. Padahal korupsi sektor ekstraktif seperti pertambangan selalu membawa dimensi kerusakan ekologis maupun sosial yang massif.
Faktanya kasus korupsi yang mempertimbangkan aspek kerugian lingkungan beberapa kali dianulir oleh putusan hakim. Apabila proses pidana ini tidak dikawal pada persidangan dan hakim hanya berpegang pada aturan normatif yang ada maka besaran pidana tambahan berupa denda nyaris tidak mampu memulihkan kerugian negara.