Konten dari Pengguna

Tanggung Jawab Gubernur Pada Kasus Korupsi Hibah APBD Pemerintah Provinsi Jatim

Dr Hamdani, MM, MSi, Ak, CA, CIPSAS, CRGP, CFrA, CACP, ACPA
Dosen pada Departemen Akuntansi FEB Universitas Andalas, pemegang sertifikat Auditor Utama BPKP, dan Anggota Komite Standar Akuntansi Pemerintahan. Sebelumnya Staf Ahli Mendagri Bidang Keuangan, Pembangunan dan Ekonomi (2014 sd 2022)
5 Agustus 2024 8:29 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr Hamdani, MM, MSi, Ak, CA, CIPSAS, CRGP, CFrA, CACP, ACPA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanggal 30 Juli 2024 mengumumkan telah melakukan pencegahan keluar negeri terhadap 21 orang terkait dengan penyidikan perkara dugaan korupsi suap pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Timur pada tahun anggaran 2019—2022. Tindakan ini dilakukan menyusul serangkaian penggeledahan beberapa tempat di Jatim dengan menyita sejumlah uang dan dokumen yang memiliki keterkaitan dengan korupsi hibah APBD Jatim.
ADVERTISEMENT
Pengumuman ini berselang hampir 20 bulan setelah peristiwa operasi tangkap tangan Sahat Tua Simanjuntak, Wakil Ketua DPRD Jatim yang telah dipidana dalam kasus yang sama. Kasus ini merupakan pengembangan perkara pidana korupsi hibah APBD yang telah menyeret sebanyak empat orang sebagai terpidana dua penerima suap dan dua oknum pokmas sebagai pemberi suap. Pemberian suap dimaksud sebagai imbalan memuluskan pencairan dana hibah sekitar Rp200 miliar kepada pokmas dari tahun 2020 sampai 2023.
Sebelum pencegahan tersebut, KPK telah meningkatkan status penanganan perkara ke tahap penyidikan. Sesuai UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, proses penyidikan diatur pada Pasal 45 sampai Pasal 50. Mengingat Pasal 46 UU Nomor 19 Tahun 2019 yang mengatur penetapan terangka sebelum pasal terkait penggeledahan, maka ketika penyidik KPK melakukan penggeledahan dan penyitaan, patut diduga sudah ada penetapan tersangka yang diumumkan bersamaan dengan penahanannya.
ADVERTISEMENT
Menggunakan pasal penyuapan sebagai delik korupsi yang menjerat delapan orang penerima suap dan 17 orang pemberi suap terkesan merekayasa penanganan kasus sebagai perbuatan transaksional belaka. Kontradiksi dengan kasus korupsi belanja APBD selama ini keterlibatan oknum DPRD tidak berdiri sendiri tetapi berkonspirasi dengan eksekutif. Untuk itu penyidikan kasus ini harus membuktikan keterlibatan unsur eksekutif Pemprov dalam menyetujui pengganggaran dan pencairan dana. Selain itu, unsur eksekutif bertanggungjawab memastikan penggunakan dana hibah sesuai dengan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) yang ditandatangani.
Pertanyaan publik mengemuka melihat adanya kontroversi penanganan kasus ini yang tidak melibatkan unsur eksekutif pada Pemprov Jatim dari gubernur, wakil gubernur, sekda dan pimpinan SKPD. Padahal penganggaran dan pencairan hibah APBD Jatim tidak terlepas dari peran, wewenang dan tanggung jawab eksekutif Pemprov Jatim selaku pengelola dana hibah APBD.
ADVERTISEMENT
Pasal 3 ayat 1 PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah antara lain mengamanatkan pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, transparan, memperhatikan rasa keadilan, kepatutan, dan taat pada regulasi. Untuk itu, gubernur berkewajiban menerapkan sistem pengendalian intern yang memadai dalam mengamankan APBD.

Peran Gubernur dan Jajarannya Dalam Pengelolaan Hibah

Ilustrasi Kebocoran Dana: istockphoto.com
Pengelolaan hibah mencakup proses penganggaran dan pencairan belanja hibah diatur secara ketat dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah Dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari APBD sebagaimana diubah terakhir dengan Permendagri Nomor 99 Tahun 2019. Belanja hibah dianggarkan dalam APBD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan.
ADVERTISEMENT
Belanja hibah diberikan kepada pokmas yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus setiap tahun anggaran. Pemberian hibah ditujukan untuk menunjang pencapaian sasaran program dan kegiatan Pemda dalam mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat untuk masyarakat.
Proses penganggaran hibah untuk pokmas pada APBD Jatim dimulai dari penyampaian usulan hibah kepada gubernur yang menunjuk SKPD terkait untuk melakukan verifikasi dan evaluasi usulan. Kepala SKPD terkait menyampaikan hasil evaluasi untuk mendapat pertimbangan Tim Anggaran Pemerintah Daerah. Setiap pemberian hibah dituangkan dalam NPHD yang ditandatangani oleh gubernur dan penerima hibah.
Sedangkan pencairan belanja hibah ini dilakukan setelah Gubernur menetapkan daftar penerima dan nilai hibah dengan identitas dan domisili penerima hibah yang jelas. Penyaluran/pencairan hibah dilakukan setelah peraturan gubernur tentang penjabaran APBD ditetapkan dengan mekanisme pembayaran langsung ke rekening penerima hibah.
ADVERTISEMENT
Pengelola hibah dapat mencairkan dana hibah dimaksud setelah melakukan pengujian secara material dan formil atas dokumen penerima hibah dimaksud. Pengelola hibah dapat melakukan pengujian secara fisik ke lapangan dan melakukan konfirmasi penerima hibah dimaksud.
Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2004 menyatakan pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti sebagai dasar pengeluaran atas beban APBD bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud. Untuk itu sebelum pencairan atas belanja hibah APBD dimaksud, keabsahan dokumen penyaluran dana hibah tersebut harus dibuktikan melalui tiga jenis pengujian yakni wetmatigheid (sah menurut aturan), rechtmatigheid (sah menurut administrasi), dan doelmatigheid (benar dan sesuai secara fisik/material).
ADVERTISEMENT
Pengujian wetmatigheid dilakukan untuk memastikan tagihan atas beban APBD itu sesuai dengan regulasi yang berlaku dan dana yang digunakan tersedia dalam dokumen pelaksanaan anggaran. Pengujian rechmatigheid dilakukan untuk memastikan legalitas dan formalitas dokumen tagihan valid, lengkap, dan dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan pengujian doelmatigheid dilakukan untuk memastikan secara fisik output dari pelaksanaan kegiatan itu sesuai dengan standar dan kriteria indikator output yang dimaksud.
Seandainya gubernur dan jajaran eksekutif tidak membiarkan belanja hibah menjadi bancakan oknum DPRD, maka penganggaran dan pencairan belanja hibah berbasis pokok-pokok pikiran (Pokir) DPRD tidak diusulkan pada rancangan APBD. Namun, sudah menjadi rahasia umum pada pembahasan APBD tidak jarang disusupi praktik politik dagang sapi, sehingga belanja hibah semacam ini ditenggarai sebagai alat tawar menawar antara eksekutif dengan legislatif memuluskan pembahasan APBD.
ADVERTISEMENT
Pidana suap tidak sepenuhnya dapat didakwakan kepada oknum DPRD karena pencairan atau realisasi dana hibah dimaksud tidak menjadi kewenangan oknum DPRD. Pasalnya menurut UU Nomor 31 Tahun 1999, suap terjadi dalam situasi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Ketika terjadi korupsi belanja hibah dari APBD, KPK tidak dapat menimpakan peristiwa pidana korupsi dimaksud sebagai hubungan transaksional belaka antara oknum legislatif dengan penerima hibah. Mengingat kejadian tersebut terjadi secara berulang pada periode tertentu, maka pihak eksekutif tidak bisa melepaskan tanggung jawab atas kasus korupsi tersebut. Tingkat kesalahan jajaran eksekutif membiarkan atau tidak menghalangi penganggaran dan pencairan memicu terjadinya praktik culas ini.
ADVERTISEMENT

Tebang Pilih Penanganan Perkara

Ilustrasi Transaksi Korupsi Berupa Suap: istockphoto.com
Kesan KPK dalam penanganan kasus korupsi hibah APBD Jatim tidak bekerja secara profesional dan imparsial terlihat dari belum adanya pejabat eksekutif Pemprov Jatim yang dicekal dan dinyatakan terlibat. Tebang pilih penanganan kasus ini sulit ditepis karena KPK meletakkan kasus tersebut hanya peristiwa transaksional oknum DPRD dengan pokmas. Padahal perbuatan tersebut tidak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai delik suap antara oknum DPRD dengan pokmas, melainkan kental aroma korupsi belanja hibah APBD.
Penggeledahan yang dilakukan KPK terhadap ruangan kerja Gubernur, Wakil Gubernur dan Sekda Jatim ternyata tidak membuah hasil apapun. Adhy Karyono Sekda Jatim memberikan pernyataan tidak ada jajaran Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang terlibat kasus korupsi suap dana hibah yang menyeret Sahat Tua Simanjuntak Wakil DPRD Jatim.
ADVERTISEMENT
Kalau sampai saat ini KPK hanya menemukan tujuh orang anggota legislatif dan 18 pihak swasta yang terjerat korupsi hibah ini, apakah KPK sudah melaksanakan tugas penindakan secara murni atau telah disusupi kepentingan politik tertentu. Polemik yang berkembang menjelang kontestasi Pilkada diduga ada upaya pemaksaan penanganan kasus ini tidak menggerus elektabilitas kandidat tertentu.
Fakta ini menununjukkan KPK tidak paham tata kelola belanja APBD khususnya hibah, bahwa tidak ada proses penganggaran dan pencairan belanja APBD yang luput dari peranan eksekutif pemda. Sebaliknya legislatif tidak terlibat dalam ranah pelaksanaan anggaran, tetapi terlibat bersama eksekutif pada proses pembahasan persetujuan APBD. Sulit membayangkan betapa naifnya tata kelola keuangan Pemprov ketika perselingkuhan oknum DPRD dengan pokmas untuk membegal belanja hibah APBD sama sekali tidak diketahui oleh aparat Pemprov Jatim.
ADVERTISEMENT
Menurut UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi peristiwa pidana tersebut memenuhi delik korupsi. Sesuai ketentuan UU tersebut, pidana korupsi harus memenuhi tiga unsur untuk dapat didakwa melakukan perbuatan korupsi yakni perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menurut Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 2004, kerugian daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Dalam ketentuan ini, kerugian negara sebagai unsur korupsi baru dinyatakan terjadi pada saat pencairan dana hibah dimaksud. Kelalaian ataupun kesengajaan pejabat eksekutif yang diserahi tanggung jawab mengelola hibah yang tidak cermat ketika menandatangani dokumen pencairan dana hibah yang menjadi tanggung jawabnya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pidana suap yang dilakukan oleh pokmas kepada oknum DPRD tidak sepenuhnya dapat dilakukan secara sempurna oleh oknum DPRD dimaksud tanpa diketahui oleh eksekutif. Kendati DPRD memiliki hak budget untuk membahas dan menyetujui anggaran bersama eksekutif, namun kewenangan eksekusi belanja hibah tidak berada pada kewenangan oknum DPRD tersebut.
Menurut UU Nomor 31 Tahun 1999 pertanggungjawaban korupsi juga menjadi tanggung jawab pihak yang tidak menerima aliran dana korupsi, mana kala memiliki keterlibatan dalam proses terjadinya korupsi tersebut. Ketentuan ini, telah memperluas cakupan perkara ini sebagai tindakan korupsi dimana adanya kerugian keuangan negara akibat perbuatan melawan hukum, tidak saja memperkaya diri sendiri, tetapi orang lain atau suatu korporasi. Pertanggungjawaban pidana selain menjerat penerima suap, tetapi juga melibatkan pihak yang diduga mengetahui, turut serta menciptakan kondisi dan membiarkan terjadi peristiwa pidana.
ADVERTISEMENT