Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Apa Kabar Revolusi Mental?
27 Agustus 2019 12:40 WIB
Tulisan dari Hamdi Mansur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
APA KABAR REVOLUSI MENTAL?*
Oleh : Hamdi,S.Sos**
Di era pemerintahan Jokowi – JK yang akan berakhir Oktober ini dimunculkan (kembali) slogan revolusi mental sebagai salah satu jalan keluar mengatasi berbagai penyakit akut yang melanda bangsa ini, khususnya penyakit korupsi; kolusi; dan nepotisme (KKN). KKN telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan di berbagai sektor, di setiap lini dan lapisan masyarakat. Krisis multidimensi sedang melanda bangsa ini, dan yang dianggap sebagainya keladinya adalah mentalitas dan moralitas yang semakin rendah. Maka muncullah gerakan revolusi mental sebagai solusi mengatasi krisis tersebut.
ADVERTISEMENT
Istilah Revolusi Mental pertama kali dicetuskan Presiden RI pertama Soekarno dalam pidato kenegaraan memperingati proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1957. Revolusi Mental ala Soekarno adalah semacam Gerakan Hidup baru untuk menggembleng manusia Indonesia menjadi manusia baru, “yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat Elang Rajawali, dan berjiwa Api”.
Semangat revolusi mental ini juga kemudian menjadi dasar bagi Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1964 untuk memperkenalkan gagasan Trisakti, yaitu Indonesia yang berdaulat secara fisik; mandiri secara ekonomi; dan berkepribadian secara sosial budaya. (Panduan Umum Revolusi Mental, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, halaman 1)
ADVERTISEMENT
Gagasan Revolusi Mental ini kemudian pada tahun 2014 digaungkan kembali oleh presiden ke 7 Republik Indonesia Joko Widodo. Presiden Joko Widodo menyerukan untuk memulai sebuah Gerakan Nasional Revolusi Mental untuk mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru demi mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkpribadian. (ibid).
Apa sebenarnya Revolusi Mental itu ? Revolusi Mental adalah gerakan nasional untuk mengubah cara pandang, pola pikir, sikap-sikap, nilai-nilai, dan perilaku bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat mandiri dan berkepribadian. Gerakan Revolusi Mental ini bertumpu pada tiga nilai-nilai dasar, yaitu integritas, kerja keras, dan gotong royong. Integritas menyangkut perilaku jujur; dapat dipercaya; berkarakter; bertanggung jawab; dan konsisten. Kerja keras meliputi aspek etos kerja; daya saing; optimis; inovatif; dan produktif. Gotong royong dijabarkan ke dalam kerjasama; solidaritas; tolong-menolong; peka; komunal; dan berorientasi pada kemaslahatan.
ADVERTISEMENT
Melalui gerakan Revolusi Mental tersebut penulis berkeyakinan perubahan bangsa dan negara ini dapat terwujud menuju ke arah yang lebih baik. Perubahan ke arah kebaikan itu harus dimulai dari hal-hal kecil, dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang juga. Kita tidak bisa terlalu banyak berharap bangsa ini bisa berubah menjadi lebih baik dari perilaku para pemimpin dan pejabat, karena sebagian dari mereka justru banyak yeng terbelit masalah, mulai dari abuse of power, gratifikasi, korupsi, hingga masalah moral.
Rakyat juga pasti berharap masalah-masalah besar di negeri ini, seperti kemiskinan, kriminalitas, pertahanan keamanan, dan korupsi akan segera teratasi. Di sisi lain, mungkin sebagian dari kita sedang menunggu-nunggu mukjizat akan hadirnya satrio piningit yang bisa menyulap kesengsaraan menjadi kebahagiaan dalam waktu sekejap.
ADVERTISEMENT
Sesuatu yang besar itu bermula dari hal yang kecil. Begitu pula dengan perubahan bangsa dan masyarakat. Bagaimana kita (sebagai bangsa) bisa merubah perilaku korupsi di negeri ini yang sudah menggurita jika perilaku kita sebagai individu justru (masih) melakukan pungutan liar dan korupsi kecil-kecilan? Kita masih mengutip atau memberi ongkos/biaya di luar biaya yang resmi ketika mengurus KTP, SIM, IMB, surat nikah, dan sebagainya.
Apakah adanya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) belum cukup? Jelas belum. Karena KPK biasanya (hanya) menangani perkara-perkara korupsi kelas kakap yang nilainya miliran hingga truliunan rupiah (meskipun ada kasus tertentu yang melibatkan petinggi lembaga negara “hanya” senilai 100 juta rupiah). Bagaimana dengan korupsi yang di luar itu dan hanya bernilai ratusan ribu atau beberapa juta rupiah saja? Bisa jadi mentalitas “suka menerabas” (meminjam istilah Koentjaraningrat) masih melekat pada diri para koruptor itu.
ADVERTISEMENT
Meskipun sekarang sudah dibentuk tim khusus Satgas Saber Pungli (Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar) ternyata praktik pungli dan suap belum juga surut di berbagai lembaga dan instansi, baik lembaga pemerintah, militer maupun kepolisian. Bahkan berita penangkapan OTT (operasi tangkap tangan) oleh KPK dan Satgas Saber Pungli semakin ramai saja menghiasi media akhir-akhir ini. Diantaranya berita tertangkapnya oknum pejabat di Kementerian Perhubungan, Bakamla dan seorang kapolsek di Tangerang yang menerima suap dan pungli terkait perkara yang ditanganinya.
Bercermin dari beberapa kasus di atas, maka salah satu nilai dasar Revolusi Mental, yakni integritas (perilaku jujur, dapat dipercaya, berkarakter, bertanggung jawab, dan konsisten) tampaknya belum inheren dengan mentalitas sebagian masyarakat dan para penyelenggara pemerintahan di negeri ini. Ibaratnya, jauh panggang dari api.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, perilaku sebagian dari kita di jalan (baca.: berlalu lintas) pun masih menunjukkan gejala ketidakteraturan, ketidaktertiban, semrawut, ugal-ugalan, dan cuek dengan aturan atau rambu-rambu yang ada. Muara dari semuanya itu adalah kemacetan di mana-mana, mulai dari jalan kampung hingga jalan-jalan protokol.
Tren angka kecelakaan yang semakin tinggi juga dikontribusikan oleh perilaku para pengguna jalan yang tidak peduli dengan rambu-rambu lalu lintas. Contoh kasus kecelakaan di jalan tol Jagorawi yang melibatkan anak (yang masih di bawah umur) pesohor negeri ini dan tabrakan kereta api dengan mobil tangki Pertamina di perlintasan kereta api Bintaro adalah sebagian kecil potret buram lalu lintas kita.
ADVERTISEMENT
Data kepolisian menyebutkan angka kecelakaan di tanah air pada tahun 2017 sebanyak 98.419 kali yang menelan korban 24.213 tewas dan 16,159 luka berat. Menurut mantan Kepala Korps Lalu lintas (Kakorlantas) Polri, Irjen Royke Lumowa, jumlah korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia sekitar 28-30 ribu jiwa per tahun. Korban kecelakaan di Indonesia lebih banyak dari jumlah korban terorisme, bencana tsunami, dan bencana banjir. Kecelakaan lalu lintas di Indonesia termasuk tinggi, ranking dua sampai tiga di bawah di ASEAN.
Faktor human error tak dapat dipungkiri menjadi salah satu penyumbang terbesar penyebab tingginya angka kecelakaan serta semakin parahnya kemacetan di jalan raya. Berkendara sambil menelepon, SMS-an, makan dan minum; mengendarai mobil dalam kondisi mengantuk atau mabuk; menerobos traffic light; ngebut; dan melawan arus adalah beberapa contoh perilaku menyimpang pengendara.
ADVERTISEMENT
Bila perilaku-perilaku permisif dan miring ini tidak kita tinggalkan dan ubah, bukan mustahil angka kecelakaan akan semakin tinggi dan kemacetan pun akan semakin menggila. Dan, seberapa banyak apapun petugas polantas yang diturunkan di jalan tidak akan berarti jika tidak dibarengi kepatuhan dan kedisiplinan para pengguna jalan.
Setali tiga uang dengan kondisi transportasi darat, transportasi laut dan udara pun mengalami kondisi yang tak jauh beda. Sekedar menyebut contoh yaitu kecelakaan tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba Kepulauan Samosir, Sumatera Utara tanggal 18 Juni 2018. Kapal tersebut diperkirakan membawa lebih dari 200 penumpang. Berdasarkan data Basarnas, 3 orang ditemukan tewas, 21 selamat dan 164 orang lainnya masih hilang.
ADVERTISEMENT
Kasus kecelakaan yang sangat dramatis adalah yang menimpa pesawat Lion Air JT-610 yang terjadi di perairan Tanjung Pakis Karawang, Jawa Barat, Senin (29/10/2018). Kecelakaan pesawat yang mulai beroperasi Agustus 2018 itu menelan korban sebanyak 189 jiwa.
Sederet kasus dan masalah di atas tidak akan bisa menemui solusi yang jitu jika kita tidak merubah pola pikir (mind set), mental dan perilaku yang salah kaprah tersebut. Warga masyarakat dan aparat penyelenggara negara yang berintegritas, kerja keras, dan gotong royong (sebagai nilai-nilai dasar Revolusi Mental) yang diharapkan mampu membawa bangsa ini menjadi lebih baik dan bermartabat.
ADVERTISEMENT
Sayang sekali jika gerakan revolusi mental ( yang berjalan hampir lima tahun) hanya indah dalam slogan semata. Seperti ungkapan Aa’ Gym, perubahan itu harus kita mulai dari kita sendiri, mulai dari hal yang kecil, dan mulai dari sekarang. Semoga kondisi bangsa dan negara Indonesia tercinta di masa kini dan mendatang lebih baik daripada masa-masa sebelumnya. Aamiin.
Keterangan :
*Tulisan ini dibuat untuk mengisi kolom User History di Kumparan.com
**Penulis adalah anggota Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia (FAMMI). Tinggal di Depok. HP: 0857 7029 8189.