Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Menemukan Kebenaran di Era Post-Truth
24 Januari 2025 22:12 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Hammam Zhofron Abdullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dewasa ini kita semua pasti sepakat, bahwa aliran informasi mengalir begitu cepat. Tidak tanggung-tanggung, masyarakat dengan berbagai latar belakang memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses informasi di media sosial. Cepatnya arus informasi memungkinkan kita untuk mendapat berita terkini secara langsung (Live), mempelajari hal baru dengan mudah, bahkan sampai menggerakan masa dalam kondisi darurat. Sebagai contoh, perkembangan teknologi dan informasi memungkinkan adanya kolaborasi global yang mempercepat penanganan COVID-19 3 tahun silam. Namun di sisi lain, banjir informasi ini sering kali tidak diiringi dengan kualitas atau akurasi. Dengan dukungan algoritma, informasi palsu atau hoaks begitu mudah menyebar, membuang pandangan pakar namun memperkuat opini pribadi yang kemudian menciptakan keresahan dan perpecahan di kolom komentar, bahkan ada yang berujung pada keributan di kehidupan nyata.
ADVERTISEMENT
Seorang penulis dan aktivis asal Lincolnville, Amerika Serikat, Eli Pariser, dalam bukunya yang berjudul The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You (2011) menjelaskan bagaimana algoritma media sosial cenderung memperkuat pandangan seseorang, yang kemudian menciptakan ruang tertutup pandangan kita. Sehingga menyebabkan kita semakin terpisah dari sudut pandang lain dan semakin sulit menerima pandangan yang berbeda.
Algoritma dan Post-Truth
Mungkin diantara pembaca pernah mendengar istilah post-truth, yang dimana merujuk pada suatu kondisi ketika opini pribadi lebih mempengaruhi pandangan publik dibandingkan fakta objektif. Hari ini kebenaran seringkali menjadi kabur karena fakta dianggap kurang penting dibanding dengan narasi yang mampu membangkitkan perasaan atau memperkuat keyakinan seseorang. Bagian menariknya adalah, media sosial sangat mendukung era post-truth, terbukti dengan sistem algoritma yang akan menentukan konten apa yang muncul di halaman for your page (Fyp) setiap pengguna. Algoritma seperti ini bekerja dengan mempelajari preferensi, perilaku, dan interaksi sehingga segala postingan yang muncul di beranda hanyalah postingan yang kita sukai, baik dari segi informasi maupun emosi. Tentu, tujuan utamanya adalah memastikan pengguna tetap menggunakan aplikasi selama mungkin.
ADVERTISEMENT
Hal ini kemudian menciptakan echo chamber atau ruang gema, yang dimana kita hanya mendengar informasi yang mendukung pandangan kita sendiri, sementara pandangan yang berbeda diabaikan atau dipandang dengan skeptis. Seseorang yang sudah terjebak pada ruang gema ini akan cenderung hanya mengingat informasi yang mendukung keyakinan atau pandangan mereka, menjadikan informasi yang ia dapatkan sebagai standar, sambil meremehkan informasi lain yang bertentangan. Dari sisi psikologis hal ini disebut dengan Confirmation Bias.
Bias ini sering kali terjadi secara tidak sadar dan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan serta cara seseorang memahami situasi. Dan yang paling berbahaya adalah ketika hal ini terjadi kepada orang yang minim referensi, bias ini akan mempersempit sudut pandang mereka, menyebabkan opini yang terpolarisasi sehingga masyarakat terbagi menjadi kelompok-kelompok yang mempertahankan narasi tertentu tanpa kebenaran objektif yang kemudian menjadi penghalang untuk berpikir kritis serta menutup diri dari sudut pandang baru.
ADVERTISEMENT
Mempertahankan Kesadaran
Untuk keluar dari era post-truth tentu membutuhkan usaha kolektif dan individu untuk mengutamakan kebenaran, mengurangi pengaruh emosi dalam menilai sesuatu, serta memperkuat budaya berpikir kritis. Kita harus senantiasa menjaga kesadaran untuk menyeleksi bebagai informasi yang sampai di kepala. Mulai dari menyadari ketika ada kecenderungan hanya menerima informasi yang sesuai dengan keyakinan sendiri, cobalah mencari sudut pandang yang berbeda dan terbuka terhadap argumen yang bertentangan. Karena dengan diskusi, itu dapat membantu memahami kebenaran secara lebih objektif.
Sebagai penutup, seorang tokoh paling berpengaruh di dunia menurut buku The 100 karya Michael H. Hart, yaitu Muhammad (610M) pernah berkata: “Cukuplah seseorang disebut berdosa ketika ia menyampaikan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim)
ADVERTISEMENT
Oleh: Hammam Zhofron Abdullah, mahasiswa UIN Bandung