Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Mental Inferior
15 November 2024 13:33 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Hammam Zhofron Abdullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Wah, karya mu ini mirip dengan karya orang barat, ya?”
ADVERTISEMENT
“Yah ini mah ngikutin film dari negara itu, ya?”
Ungkapan ini sering sekali terdengar dikala ada seorang seniman Indonesia yang menerbitkan suatu karya, lalu sebagian masyarakat kita akan mengomentari demikian. Jadi mereka tidak percaya ada seniman hebat yang lahir di tanah ini. Fenomena demikian dapat dengan mudah ditemukan pada beberapa komentar masyarakat kita di berbagai platform media sosial terkait postingan karya-karya seniman dari Indonesia.
Sebetulnya sudah sejak lama kita banyak menyaksikan bagaimana masyarakat kita menggaungkan bangsa asing, lantas mengkerdilkan bangsa sendiri. Bahkan tidak hanya karya, kita juga dapat melihatnya dari bagaimana beberapa kalangan masyarakat kita beranggapan bahwa orang Barat (Meski tidak intelektual) tetap di anggap keren. Orang barat akan lebih di hargai dan mendapatkan akses apapun di indonesia. Lalu mereka akan mengatakan, “Orang-orang Indonesia itu sangat ramah.” Ini ironi. Karena di waktu yang sama, saudara-saudara sebangsa kita banyak yang di remehkan dan di tindas di negeri sendiri.
ADVERTISEMENT
Sejarah
Dilihat dari sisi historis, fenomena ini dapat dilihat penyebabnya. Ketika penduduk hindia-belanda dibagi menjadi golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera (Pribumi). Penempatan golongan Bumiputera pada kelas ketiga diyakini sebagai penyebab dari sifat inferior (Inferiority Complex) yang sampai saat ini mendarah daging pada masyarakat kita. Masyarakat Indonesia di cekoki stereotip “Inlander bodoh” yang tanpa sadar membentuk mentalitas ini secara turun temurun. Di tambah selama ratusan tahun, negara-negara barat menjajah Indonesia, juga negara-negara yang lain di Asia. Sambil menanamkan stigma bahwa bangsa-bangsa yang berada dijajah ini lebih “rendah” atau kurang beradab. Pandangan ini dibuat untuk membenarkan kolonialisme, padahal justru bangsa kolonial yang mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia di wilayah yang mereka jajah.
ADVERTISEMENT
Mantan Presiden RI ke-7 Joko Widodo dalam pidatonya (2021) pernah mengatakan, “Ketemu bule saja kayak ketemu siapa gitu, sedih kita. Kita kadang-kadang terlalu mendongak kayak gini." Beliau juga meneruskan,” Saya tidak ingin mental inferior, mental inlander, mental terjajah ini masih ada, masih bercokol di dalam mentalitas bangsa kita.”
Kritik, Saran, Harapan
Jika kita ingin menjadi bangsa yang maju, maka harus menyingkirkan rasa tidak percaya diri, dan berani berdiri diatas kaki sendiri. Belajar untuk menghargai karya anak bangsa, dan tidak mengkerdilkan produk lokal. Kualitas pendidikan juga perlu sekali di benahi, kesejahteraan para guru, juga tarif pendidian yang terjangkau. Jika sumber daya manusia nya lemah, maka mentalitas pecundang akan terus mengalir dalam diri kita. Sebagaimana Soekarno dalam banyak kesempatan menyebutkan revolusi mental, untuk jadi merdeka, kita perlu mengimplementasikannya dari dalam diri. Bukan pengakuan dari bangsa lain, namun bagaimana kita sebagai bangsa dapat menyelesaikan problematika tanpa campur tangan dari pihak asing. Bisa di simpulkan, solusi dari mental inferior ini, adalah dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) kita, sehingga produktifitas meningkat, juga menghasilkan output yang berkualitas, yang mampu bersaing di tingkat Internasional.
ADVERTISEMENT
Terakhir, kita perlu pandai bersikap dan memposisikan diri. Penulis percaya, masih banyak anak bangsa yang mencintai Indonesia, yang memiliki mimpi untuk terus maju. Kita hanya tinggal sama-sama berjuang, supaya mimpi itu dapat terwujud di masa depan. Indonesia juga memiliki kesempatan dan potensi yang sama untuk menjadi negara maju. Tidak berendah diri, sambil tetap menjunjung tinggi persamaan kedudukan semua bangsa tanpa memandang ras dan pengaruh bangsa tersebut.
Oleh: Hammam Zhofron Abdullah, mahasiswa UIN Bandung