Konten dari Pengguna

Mulai Kembali Budaya Berkarya dengan Pena

Hammam Zhofron Abdullah
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
30 Januari 2025 20:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hammam Zhofron Abdullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Pada era digital yang serba cepat ini, minat menulis semakin menurun seiring berkembangnya media sosial dan konten instan. Orang lebih tertarik pada video pendek, podcast, dan gambar yang lebih mudah dikonsumsi dibandingkan tulisan panjang yang membutuhkan waktu dan konsentrasi. Selain itu, budaya membaca yang menurun juga berkontribusi pada kurangnya minat menulis, karena membaca dan menulis adalah keterampilan yang saling berkaitan. Teknologi yang semakin canggih, seperti kecerdasan buatan dan alat bantu menulis otomatis, juga membuat banyak orang lebih mengandalkan mesin daripada mengasah keterampilan menulis secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Menulis bukan sekadar aktivitas menuangkan kata-kata di atas kertas atau layar digital. Lebih dari itu, menulis adalah sebuah kekuatan yang mampu mengubah cara berpikir, memengaruhi banyak orang, dan bahkan mengubah dunia. Banyak peristiwa besar dalam sejarah bermula dari sebuah tulisan, ini adalah bukti bahwa kata-kata memiliki daya yang luar biasa untuk membentuk peradaban dan membangun kesadaran kolektif dalam masyarakat. Tahun 1998 misalnya, di Indonesia. Beberapa karya pernah dilarang untuk dibaca khalayak karena dianggap kontroversial. Mengutip dari sebuah artikel yang di publish oleh Universitas Negeri Yogyakarta berjudul “Sastra dan Kekuasaan Orde Baru” dijelaskan bahwa salah satu korban pelarangan buku kontroversial pada masa Orde Baru adalah Bambang Isti Nugroho, yang merupakan mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Pada saat itu Bambang Isti Nugroho dijatuhi hukuman penjara karena membaca dan mengedarkan buku “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer. Kemudian di Timur Tengah tepatnya pada abad ke-9, Khalifah Al-Ma’mun bahkan memberikan imbalan emas kepada para penulis setara dengan berat buku yang ditulisnya.
ADVERTISEMENT
Kenyataan Literasi di Indonesia
Literasi berperan untuk mendukung seseorang berpartisipasi dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Tingkat literasi yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk meningkatkan produktifitas mereka sehingga juga akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup suatu negara. Yang menjadi ironi adalah, ketika mengetahui betapa rendahnya minat baca di Indonesia. Menurut UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) Indonesia menempati peringkat kedua dari bawah soal literasi dunia, yakni hanya 0,001%. Ibaratnya, dari 1000 orang di Indonesia, hanya ada 1 orang yang rajin membaca. Padahal dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung kegiatan membaca, Indonesia berada di atas negara-negara eropa. Sebetulnya ada beberapa faktor yang dapat menjadi sebab minimnya literasi di Indonesia, namun yang paling besar memberikan dampak adalah kurangnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan literasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hari ini di Indonesia, pendidikan bukanlah suatu perhatian utama pemerintah, mereka terlalu sibuk terhadap proyek-proyek besar yang memakan anggaran bahkan sampai ribuan triliun, namun sulit sekali untuk memberikan aliran dana nya untuk perkembangan dunia pendidikan. Seperti sekolah-sekolah terbengkalai tidak terawat (Terutama di daerah terpencil), gaji para guru yang jauh lebih rendah dari UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) , pajak para penulis yang tinggi, sampai sikap masa bodoh mereka terhadap jutaan karya para penulis yang di bajak oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Tentu ini mempengaruhi semangat dari para guru dan penulis, bagaimana mau banyak berkarya dan mengajar dengan maksimal sedangkan mereka tidak dihargai?
Jika Indonesia tetap berada pada situasi seperti ini, maka mimpi untuk meningkatkan minat literasi dan kualitas hidup di Indonesia hanya akan menjadi angan-angan saja. Kalau kita mau belajar dari Jepang, ketika dahulu pada akhir perang dunia ke-2 di luluh lantahkan dengan bom atom. Pertama kali yang dilakukan oleh Kaisar Hirohito pada saat itu adalah mengumpulkan 45.000 guru yang tersisa, dan merevisi semua kebijakan pendidikan dengan baik untuk kembali pulih. Sampai hari ini kita melihat jepang sebagai negara yang maju dari berbagai sektor adalah buah dari perhatiannya yang maksimal terhadap pendidikan dan literasi negaranya.
ADVERTISEMENT
Mari Bangkit Kembali
Kenapa penulis mengajak untuk menulis, tidak langsung meganjurkan untuk membaca? Karena dengan menulis, maka kebutuhan bacaan sebagai bahan tulisan kita akan semakin banyak. Semakin beragam topik tulisan yang kita susun, maka bacaan kita juga akan semakin banyak dan bervariasi. Tere Liye, seorang penulis produktif yang sudah menulis lebih dari 70 buku bahkan sudah menamatkan ribuan buku saat lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA). Penulis sangat berharap, setelah membaca artikel ini para pembaca dapat lebih menyadari pentingnya literasi dan mulai menulis untuk menginspirasi banyak orang. Mulai dari yang kecil saja terlebih dahulu, seperti mulai mencatat apa saja yang akan dilakukan esok hari, atau mengevaluasi diri sendiri hari ini supaya lebih baik kedepannya.
ADVERTISEMENT
Indonesia Emas 2045 tidak akan terwujud tanpa perhatian yang besar tehadap dunia literasi dan pendidikan. Maka dari itu, mari kita semua, putra dan putri Indonesia yang memulainya.