Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Perjalanan Menuju Aktualisasi Diri
6 Juli 2024 22:35 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Hammam Zhofron Abdullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat kecil, kebanyakan dari kita pasti memiliki mimpi. Harapan tentang bagaimana kehidupan kita di masa depan yang begitu cerah, penuh dengan cita-cita yang di gantungkan pada langit-langit kamar. Semakin lama manusia mengarungi kehidupan di dunia, semakin tergambar pula kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian. Cita-cita saat masih kanak-kanak seringkali berubah seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman yang dilewati. Akhirnya, saat terlalu banyak kekecewaan dalam memperjuangkan sesuatu, memaksa kita kembali tenggelam mengalah pada dunia, dan Pragmatis terhadap kehidupan adalah jalan yang dipilih sekaligus menjadi solusi dalam menghadapi kecemasan serta kekecewaan.
ADVERTISEMENT
Disamping itu banyak pula mereka yang betul-betul mati-matian mengejar impiannya, tidak boleh tidak impian itu harus diraihnya. Tentu banyak yang berhasil, namun tidak sedikit yang justru tersungkur terlalu dalam karena setelah berjuang lebih keras dari yang lain, malah realita tidak berjalan mulus seperti yang telah dirancangnya.
Hal ini menjadi konflik batin bagi manusia yang pastinya memiliki masalah dan tantangan masing-masing dalam kehidupannya. Ketika kita menghadapi situasi yang jauh berbeda dari apa yang diharapkan, penting untuk mengenali dan mengelola emosi kita. Emosi seperti kecemasan adalah respons alami terhadap ketidakpastian atau kegagalan yang sering kali dikaitkan dengan rasa takut. Namun dengan sikap positif, kita dapat melihatnya sebagai peluang untuk tumbuh dan belajar.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya yaitu Emotional First Aid: Healing Rejection, Guilt, Failure, and Other Everyday Hurts, Guy Winch menyebut setidaknya ada 3 luka psikologis ketika kita mengalami kegagalan. Pertama, kegagalan melemahkan keyakinan, motivasi, serta optimisme, membuat kita merasa tidak berdaya dan tidak memiliki jalan keluar. Kedua, menyebabkan keputusan terhadap kemampuan, ataupun kapasitas kita yang tidak akurat. Ketiga, rasa gagal memicu stress dan ketakutan yang tidak kita sadari, sehingga merusak upaya-upaya yang telah disusun sebelumnya. Ketiga dampak ini tentu berpengaruh tidak baik terhadap proses pengembangan diri kita. Riset menyebutkan rasa gagal dapat menjadikan pandangan kita akan diri kita menjadi lebih kecil, sehingga potensi untuk berinovasi dan berpikir kreatif akan terhalangi.
Menerima kegagalan dan aktualisasi diri
ADVERTISEMENT
Tentunya memeluk semua rasa gagal bukanlah perkara mudah, bahkan sulit sekali. Kita hidup di dunia yang hanya memandang prestasi, dan mudah sekali untuk mengubur ribuan kebaikan dengan satu kesalahan. Namun, jika akhirnya kita menerima kegagalan tersebut, kelapangan dalam hati akan terasa, pengalaman pernah gagal menjadi gambaran total tentang bagaimana kita akan bersikap kedepannya, sehingga akan muncul cahaya dalam diri yang kita sebut rendah hati.
Jika kita menilik bagaimana Stoa (Sebuah aliran filsafat) mencapai titik kebahagiaan ditengah kegagalan, salah satunya dengan Dikotomi kendali. Bahwa di alam ini ada dua hal, yaitu ada didalam kendali seperti persepsi, keinginan pribadi, tindakan, dan sejenisnya. Kedua, ada di luar kendali seperti opini orang lain, keberhasilan, dan cuaca. Kita tidak bisa mencari kebahagiaan melalui hal-hal yang ada diluar kendali kita, karena bagaimanapun hal tersebut tidak pernah selalu berjalan sesuai dengan keinginan kita. Seperti ketika satu dunia mati listrik, dan tugas kita masih banyak yang belum selesai, kemudian kita berteriak memaki kepada orang lain. Apakah kita akan bahagia ? Tentu tidak, bukan.
ADVERTISEMENT
Maka, yang bisa kita lakukan adalah fokus pada apa yang masih berada pada kendali kita, dengan melakukan apapun yang terbaik, yang kita mampu. Berusaha untuk menghargai hal-hal kecil yang kita miliki, sehingga akan timbul rasa cukup yang dapat mendamaikan isi hati. Sebetulnya, kebahagiaan akan selalu sederhana saja, namun seringkali trend ditengah masyarakat menjadikan standar kebahagiaan itu sangat tinggi. Bukannya bahagia, justru kita akan kewalahan untuk mengejar semua itu. Tanyakanlah pada diri kita sendiri, kebahagiaan seperti apa sebenarnya yang kita mau?
Pengalaman gagal akan terus hadir pada kehidupan kita, tidak dapat dihindari. Mengalami kegagalan bukan membuktikan bahwa kita payah, gagal bukanlah akhir dunia. Kegagalan membuktikan bahwa kita manusia. Manusia yang terus berkembang mengaktualisasikan dirinya melalui pelajaran atas kegagalan yang dialaminya, untuk bercahaya di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Oleh: Hammam Zhofron Abdullah, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Sunan Gunung Djati Bandung.