Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Tren Digital Produk di Indonesia : Antara Peluang dan Jerat Overclaim
8 Februari 2025 19:13 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Hammam Zhofron Abdullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Sumber: Dokumen Pribadi](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkjnhk4p3kbvqbfk1e7xvwwa.jpg)
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, media sosial sedang ramai oleh trend bisnis digital. Dari e-book, kursus online, hingga template desain, berbagai jenis produk digital hadir sebagai solusi bagi masyarakat yang ingin belajar atau meningkatkan keterampilan mereka. Selain itu, semakin mudahnya akses internet dan perkembangan teknologi telah membuka banyak peluang bagi individu untuk menciptakan dan memasarkan produk digital tanpa harus memiliki modal besar. Hal ini menjadikan industri digital produk semakin menarik, terutama bagi mereka yang ingin mendapatkan penghasilan tambahan atau bahkan menjadikannya sebagai sumber pendapatan utama.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik tren positif ini, muncul fenomena yang cukup mengkhawatirkan, yaitu praktik overclaim, atau janji keuntungan tinggi yang ternyata hanya berujung pada penjualan kelas dengan kualitas yang tidak sesuai ekspektasi. Banyak individu terutama influencer yang memanfaatkan antusiasme masyarakat terhadap bisnis digital dengan memberikan janji-janji yang berlebihan, seperti penghasilan besar dalam waktu singkat atau kebebasan finansial instan. Sayangnya, banyak dari janji tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, dan konsumen yang sudah terlanjur percaya justru mengalami kekecewaan.
Fenomena Overclaim dalam Bisnis Digital Produk
Banyak iklan digital yang menawarkan peluang cuan besar dengan embel-embel "cuma rebahan bisa dapat jutaan", "penghasilan ratusan juta dalam sebulan", atau "bisa cuan ratusan juta modal 0 rupiah". Janji-janji seperti ini sering kali terlalu berlebihan dan tidak realistis, sehingga menarik banyak orang yang ingin mendapatkan keuntungan cepat tanpa memahami proses sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Bentuk praktik overclaim ini bisa dilihat dari berbagai skema pemasaran yang digunakan. Umumnya, seseorang yang tertarik dengan penawaran ini diarahkan untuk membeli kursus online atau mentoring berbayar. Kursus ini sering kali dipasarkan sebagai “rahasia sukses” atau “jurus ampuh” dalam bisnis digital. Sayangnya, materi yang diberikan dalam kursus tersebut sering kali sudah tersedia secara gratis di internet atau hanya berupa teori tanpa bimbingan yang nyata. Bahkan dalam beberapa kasus, kelas yang dijual hanya berisi materi yang diulang-ulang dan tidak memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan bisnis peserta. Ini menyebabkan banyak peserta e-course merasa tertipu setelah menyadari bahwa mereka hanya membeli sesuatu yang tidak sepadan dengan harga yang mereka bayarkan. Padahal niat ingin menambah jumlah uang, justru uang terbuang begitu saja.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada juga model bisnis digital yang menggunakan sistem afiliasi di mana peserta kursus justru diarahkan untuk merekrut orang lain agar bisa mendapatkan penghasilan. Bukannya membangun bisnis digital yang nyata, skema semacam ini malah lebih menyerupai pemasaran berjenjang yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan peserta yang berada di level bawah. Dengan semakin banyaknya orang yang mengalami pengalaman buruk dari praktik overclaim ini, kepercayaan terhadap bisnis digital produk pun mulai menurun. Banyak orang yang akhirnya merasa skeptis terhadap semua bentuk pelatihan atau kursus online, meskipun masih ada banyak pelaku bisnis yang benar-benar menyediakan produk berkualitas dan memberikan manfaat nyata bagi konsumennya. Hal ini jelas merugikan orang yang memang betul-betul menjual produk digital.
ADVERTISEMENT
Mengapa Praktik Ini Marak?
Fenomena overclaim dalam bisnis digital produk semakin marak karena beberapa alasan utama. Salah satunya adalah meningkatnya minat masyarakat terhadap passive income atau penghasilan pasif, di mana seseorang bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja secara konvensional. Banyak orang yang ingin memiliki kebebasan finansial dan mudah tergiur dengan janji keuntungan instan dari bisnis digital, tanpa menyadari bahwa membangun bisnis tetap memerlukan usaha, strategi, dan konsistensi.
Selain itu, tidak semua orang paham bagaimana cara mengevaluasi validitas suatu bisnis digital. Mereka cenderung percaya dengan tampilan iklan yang meyakinkan, testimoni “sukses” yang sering kali dibuat-buat, dan janji manis yang diberikan oleh penyelenggara kursus. Hal ini diperparah dengan maraknya penggunaan strategi pemasaran berbasis Fear of Missing Out (FOMO), di mana calon peserta didorong untuk segera membeli dengan ancaman “kesempatan terbatas” atau “hanya dibuka selama 3 hari!”. Dengan cara ini, banyak orang yang akhirnya terjebak tanpa sempat melakukan riset lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kurangnya regulasi di Indonesia juga turut berkontribusi dalam maraknya praktik ini. Bisnis digital produk belum memiliki pengawasan yang ketat seperti industri keuangan atau sektor lainnya. Hal ini memberikan ruang bagi oknum tidak bertanggung jawab untuk menawarkan produk yang tidak berkualitas tanpa takut terkena sanksi hukum yang berat. Selama tidak ada regulasi yang mengatur dengan jelas, praktik overclaim kemungkinan besar akan terus terjadi dan semakin berkembang.
Fenomena overclaim ini tidak hanya merugikan individu yang tertipu, tetapi juga merusak industri digital secara keseluruhan. Banyak orang yang setelah tertipu menjadi ragu terhadap semua bentuk bisnis digital, padahal ada banyak produk digital yang benar-benar bermanfaat dan memberikan nilai nyata. Selain itu, dampak finansial bagi konsumen juga sangat besar, karena tidak sedikit orang yang rela mengeluarkan uang ratusan ribu hingga jutaan rupiah untuk kursus yang ternyata tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan. Hal ini tentu saja merugikan secara finansial dan bisa membuat seseorang kehilangan kepercayaan diri dalam mencoba bisnis digital yang lebih sehat.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, munculnya banyak kursus online yang tidak berkualitas membuat orang-orang menjadi enggan untuk membeli kelas atau pelatihan digital yang sebenarnya bisa sangat bermanfaat jika dibuat dengan serius dan profesional. Akibatnya, para pendidik atau mentor yang benar-benar kompeten pun ikut terkena dampaknya karena calon peserta sudah lebih dulu merasa curiga dan skeptis. Jika fenomena ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin bisnis digital yang sejatinya menawarkan banyak peluang akan kehilangan reputasi baiknya di mata masyarakat.
Akhir Kata
Perkembangan produk digital di Indonesia memberikan dua sisi mata uang yang menarik untuk dicermati. Di satu sisi, ledakan penggunaan teknologi digital membuka peluang yang sangat luas bagi para pelaku usaha untuk mengembangkan berbagai produk digital yang inovatif. Namun di sisi lain, persaingan yang semakin ketat seringkali mendorong praktik overclaim dalam pemasaran produk digital, yang dapat merugikan konsumen, juga menciptakan lingkungan bisnis yang tidak sehat dalam ekosistem digital Indonesia.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi tantangan ini, mari membangun literasi digital yang lebih kuat di masyarakat sehingga masyarakat dapat lebih kritis dalam menilai klaim produk digital. Para pelaku usaha juga perlu mengedepankan transparansi dan kejujuran dalam memasarkan produk mereka, dengan fokus pada nilai nyata yang dapat diberikan kepada pengguna. Pemerintah dan lembaga juga harus berperan aktif dengan memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap praktik pemasaran produk digital, serta memberikan panduan yang jelas tentang standar klaim yang dapat dipertanggungjawabkan. Yang tidak kalah pentingnya adalah membangun komunitas digital yang sehat, di mana umpan balik pengguna yang jujur dan meninjau tujuan menjadi budaya yang mengakar dalam ekosistem digital Indonesia.