Kebaikan Bukan Monopoli Orang Kaya

Hammam Izzuddin
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta. Penulis lepas.
Konten dari Pengguna
15 Februari 2021 13:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hammam Izzuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Negative Space/Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Negative Space/Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah tentu benar jika ada yang bilang orang kaya memiliki kemampuan lebih besar untuk berbuat baik ketimbang yang miskin. Sebab, memangnya orang miskin bisa memberikan santunan dana pada sesama fakir dan membuatnya menjadi berkecukupan? Rasanya tidak.
ADVERTISEMENT
Dengan kekayaan, seseorang bisa memberikan ribuan paket sembako pada fakir di sebuah desa. Mereka bisa membuatkan rumah bagi puluhan gelandangan jika mau. Kebaikan-kebaikan semacam itu adalah hal yang muskil dilakukan orang yang penghasilannya setara UMR Jogja.
Bill Gates, mantan orang terkaya dunia dengan Bill & Melinda Gates Foundation Trust miliknya dan istri punya dana US$ 49,8 miliar per 31 Desember 2019. Coba konversi dalam kurs rupiah saat ini, jumlah itu sepertinya bisa dibelikan vaksin Sinovac untuk seluruh orang miskin di Indonesia. Kita perlu menjadi super kaya agar bisa berbuat kebaikan semacam Gates.
Tak usah jauh-jauh ke Amerika, saya pribadi merasakan betapa kekayaan seseorang bisa menyelamatkan kehidupan yang di ujung tanduk. Bapak saya pernah bangkrut habis-habisan saat saya masih SD, utang menumpuk bahkan rumah disita. Untunglah mertuanya alias kakek nenek saya dari Ibu tergolong orang mampu di desa. Utang yang tersisa ratusan juta bisa dilunasi. Dan karena itu hidup saya berlanjut sampai saat ini.
ADVERTISEMENT
Orang kaya walaupun buruk wataknya, kalau dia iseng mendermakan sekian persen hartanya saja bisa mengubah hidup seseorang. Sedangkan kalau anda miskin dan berwatak buruk, maka anda adalah bagian yang paling tidak diharapkan dari sebuah tatanan sosial.
Sampai sini sudah jelaslah bahwa kebaikan-kebaikan itu akan semakin mudah dilakukan jika kita kaya. Pada suatu kesempatan, Nadin Amizah betul jika bercakap dalam Podcast Dedy Corbuzier bahwa Bundanya mendorong untuk menjadi orang kaya agar semakin bisa menebar kebajikan di alam semesta ini. Tak elok jika Nadin mendapat cercaan di sosial media, sebab begitulah cara kerja dunia dari perspektifnya.
Mungkin yang terlewat oleh Nadin adalah fakta bahwa tak semua orang miskin membenci hidup dan dunia yang dipijakinya sekarang. Orang miskin juga bisa bahagia dan bersuka cita atas apa yang mereka miliki. Mereka punya keluarga, punya harapan, dan hidup dengan standar yang berbeda dengan orang kaya. Orang miskin masih bisa ketawa-ketiwi meski keesokan harinya bingung bagaimana membayar biaya sekolah anak bulan depan. Hal yang tak terbayangkan bagi orang yang tak pernah mengalami guncangan finansial semasa hidup.
ADVERTISEMENT
Jika dikatakan orang miskin terlalu benci terhadap dunia sehingga tak punya waktu untuk berbuat baik, mungkin orang kaya juga bisa terlalu mencintai dunia sehingga lupa berbuat kebajikan. Benci dan cinta berlebih sama-sama bisa memabukkan. Makanya lebih baik secukupnya, seperti minum obat.
Selanjutnya, tak boleh luput bahwa kebaikan itu ada banyak bentuknya. Tak selalu perkara materi finansial . Uang memang yang paling mudah dikuantifikasi oleh manusia sebagai kadar kebaikan, namun bukan berarti kebaikan hanya persoalan itu. Kebaikan bisa berupa waktu, kesempatan, tenaga, bahkan keberpihakan. Manusia tak bisa menilai semua kebaikan itu dengan rinci, sebab kita tak diciptakan untuk menghitung amal perbuatan.
Jangan lupa bahwa mayoritas orang miskin di Indonesia telah mendermakan suara mereka untuk memilih pejabat. Pejabat ini mayoritas sudah kaya dan semakin kaya setelah menjabat. Maka bisa jadi itu salah satu bentuk kebaikan. Apakah mereka yang dipilih betul-betul ingat pada nasib para penyumbang suaranya? Saya tak berani jamin.
ADVERTISEMENT
Saya jadi ingat sebuah kalimat dari Reza Wattimena, seorang peneliti di bidang Filsafat, bahwa menjadi baik adalah bagian dari proses pelestarian diri manusia (self-preservation). Immanuel Kant, filsuf Pencerahan asal Jerman, juga menegaskan, bahwa moralitas, yakni pemahaman tentang baik dan buruk, sudah selalu tertanam di dalam akal budi kita sebagai manusia (Vernunft). Dalam konteks ini kiranya bahwa baik si miskin maupun si kaya sama-sama memiliki dorongan untuk berbuat baik, dalam takaran apa pun itu.
Kalau menjadi kaya itu mudah dan cukup dengan kerja keras, saya kira sebagian besar orang miskin sudah jadi kaya. Kemudian mereka berpeluang sama untuk memanfaatkan kekayaan itu untuk berlaku baik dengan skala materi yang besar. Tapi untuk menerabas kemiskinan sangatlah susah. Sebagian dari mereka yang dikaruniai kekayaan sejak lahir barangkali juga menyadari ini.
ADVERTISEMENT
Menilik riset dari SMERU Institute, kita bisa melihat bahwa kemiskinan tak semata bisa dientaskan dengan kerja keras. Ada 1.522 anak yang diriset kemudian dibandingkan pendapatan mereka pada tahun 2000 ketika mereka berusaha 8-17 tahun dengan pendapatan mereka pada 2014 ketika mereka menginjak usia 22-31 tahun. Hasilnya, mereka yang terlahir dari keluarga miskin penghasilannya 87% lebih rendah dari yang tidak.
Jika mereka yang tumbuh dari keluarga miskin harus menjadi kaya agar bisa berbuat baik, betapa semakin susah hidup mereka. Sudah miskin, bekerja keras tapi masih miskin, dan belum bisa berbuat baik sesuai standar orang kaya. Sudahlah, mau miskin ataupun kaya, semuanya perlu belajar dan membuka mata. Kebaikan selalu ada dan bisa dikerjakan di sekitar kita.
ADVERTISEMENT