Konten dari Pengguna

Mencapai Tax Ratio 23%: Ambisi Fiskal di tengah Krisis Persepsi Publik

Achmad Farhan
Sedang menempuh pendidikan S-1 Ilmu Administrasi Fiskal di Universitas Indonesia
23 November 2024 23:26 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad Farhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pexels
ADVERTISEMENT
Indonesia tengah menghadapi babak baru dalam sejarah politiknya. Pada tanggal 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih pada Pemilu 2024 resmi mengambil alih tongkat kepemimpinan dari Joko "Jokowi" Widodo sekaligus menandai akhir dari satu dekade kepemimpinannya. Pemerintahan baru Prabowo-Gibran membawa salah satu target fiskal paling ambisius dalam sejarah ekonomi Indonesia, yaitu mendongkrak tax ratio Indonesia ke angka 23%. Secara singkat, tax ratio adalah persentase penerimaan pajak suatu negara terhadap Produk Domestik Bruto-nya. Metriks tersebut mencerminkan seberapa efektif dan efisien pemerintah mengumpulkan penerimaan pajak dibandingkan dengan ukuran ekonominya. Untuk memberikan perspektif, mencapai target tersebut berarti menggandakan tingkat tax ratio Indonesia saat ini. Target ambisius tersebut menuai gelombang skeptisisme dari publik.
ADVERTISEMENT
Skeptisisme publik bukan tanpa alasan. Target ambisius Prabowo-Gibran untuk mencapai tax ratio 23% menghadapi tantangan fundamental, yaitu krisis kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan negara. Persepsi tersebut berasal dari serangkaian skandal penggunaan anggaran yang kontroversial dan kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang acap kali mencoreng reputasi pengelolaan keuangan negara. Stigma persepsi negatif publik terhadap pengelolaan keuangan negara tidak hanya berhenti pada aspek spending-nya, tetapi juga pada lembaga yang bertugas untuk melakukan pemungutan pajak. Berbagai kasus pelanggaran etik oleh oknum otoritas perpajakan, telah mengikis kepercayaan Wajib Pajak terhadap sistem perpajakan nasional.
Mencapai tingkat tax ratio 23% membutuhkan lebih dari sekadar reformasi administratif. Sulit membayangkan target ambisius tersebut untuk tercapai tanpa terjadinya pemulihan kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan negara. Meskipun faktor-faktor semacam struktur ekonomi, kapasitas administrasi, teknologi, dan kebijakan fiskal sering menjadi sorotan utama, salah satu penentu penting yang sering terabaikan adalah kepatuhan pajak. Kepatuhan pajak bukan semata-mata isu teknis, melainkan persoalan yang berkaitan silang dengan persepsi masyarakat, kepercayaan publik, dan keyakinan kolektif terhadap keadilan sistem fiskal dan pengelolaan keuangan publik. Persepsi negatif terhadap sistem fiskal dapat melemahkan keinginan individu ataupun korporasi untuk menaati kewajiban perpajakannya.
ADVERTISEMENT
Membangun kepercayaan publik adalah proses panjang yang memerlukan konsistensi dan pembuktian. Namun, hasilnya akan signifikan dan berkelanjutan. Kepercayaan publik adalah yang mentransformasikan penerimaan fiskal dari sekedar sumber pendapatan negara menjadi instrumen pembangunan nasional. Penerimaan pajak yang dibangun atas kepatuhan sukarela karena tingginya kepercayaan publik merupakan fondasi untuk mendapatkan penerimaan fiskal yang berkelanjutan. Kondisi tersebut bukan hanya sekadar capaian teknis, melainkan menjadi cerminan hubungan yang sehat antara masyarakat dan pemerintah.