Konten dari Pengguna
Membaca Ulang Kesenjangan Sosial Remaja di Sekolah
31 Agustus 2025 12:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
Kiriman Pengguna
Membaca Ulang Kesenjangan Sosial Remaja di Sekolah
Meski seragam sama, kesenjangan sosial remaja di sekolah tetap nyata dan memengaruhi pergaulan serta prestasi belajar.Hanesa Harvriza Manurung
Tulisan dari Hanesa Harvriza Manurung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam lingkungan sekolah, sering kali terlihat adanya perbedaan mencolok antara siswa satu dengan yang lain. Ada yang datang dengan kendaraan pribadi mewah, ada pula yang harus berjalan kaki atau naik angkutan umum. Fenomena ini menjadi potret nyata bahwa meski mengenakan seragam yang sama, latar belakang ekonomi siswa tetap memperlihatkan jarak sosial. Banyak masyarakat menganggap bahwa hal tersebut adalah masalah kecil, namun bagi para siswa kesenjangan sosial bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilalui. Menurut saya, hal ini masuk ke kategori masalah yang cukup kompleks serta membuat sebagian siswa merasa minder atau bahkan dipandang berbeda oleh teman-temannya.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan sosial juga tampak dari cara siswa bergaul. Tidak jarang kelompok pertemanan terbentuk berdasarkan status ekonomi, misalnya mereka yang mampu lebih sering nongkrong di kafe atau membeli barang bermerek, sedangkan siswa lain memilih kegiatan sederhana karena keterbatasan biaya. Hal-hal tersebut sangat menghambat perkembangan siswa saat bersosialisasi dengan teman sekitar, serta menghambat dalam proses pembelajaran karena memiliki fasilitas yang berbeda, teruma perbandingan antara fasilitas sekolah swasta dengan fasilitas sekolah negeri. Banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi sebuah kesenjangan sosial. Seorang ilmuan, Sosiolog Pierre Bourdieu pernah menjelaskan konsep modal sosial dan kultural, bahwa perbedaan akses terhadap sumber daya akan membentuk kelompok dan pola interaksi yang berbeda. Opini saya, kondisi ini bisa membuat persahabatan kehilangan makna sebenarnya karena lebih dipengaruhi oleh materi daripada rasa kebersamaan, dan menghilangkan tujuan bersekolah yaitu untuk mengejar pendidikan yang sama, sedangkan di Indonesia sistem pendidikan sangat berbanding jauh tergantung dari sekolah yang ditempati.
ADVERTISEMENT
Selain pergaulan, perbedaan fasilitas belajar juga menjadi masalah. Siswa yang ekonominya cukup bisa dengan mudah membeli buku tambahan, mengikuti bimbingan belajar, atau memiliki akses ke teknologi canggih. Sebaliknya, siswa yang kurang mampu harus berjuang keras dengan fasilitas terbatas. Hal ini sejalan dengan pandangan Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan, yang menekankan bahwa ketidaksetaraan dalam akses pendidikan akan melahirkan ketidakadilan sosial. Menurut saya, ketimpangan ini berpotensi memengaruhi prestasi akademik sehingga menciptakan kesenjangan yang semakin besar di sekolah.
Kesenjangan sosial pun berimbas pada rasa percaya diri siswa dan dapat menurunkan minat siswa dalam belajar disekolah maupun berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Mereka yang kurang mampu sering merasa terpinggirkan dan sulit menunjukkan potensi karena takut dibandingkan dengan teman yang lebih berada. Hal ini bisa menimbulkan rasa rendah diri, bahkan menjauhkan mereka dari aktivitas sekolah. Menurut psikolog Erik Erikson, masa remaja adalah tahap penting dalam pembentukan identitas diri, sehingga jika tidak didukung lingkungan yang sehat, maka krisis identitas bisa terjadi. Saya memahami bahwa rasa minder ini adalah hambatan besar bagi perkembangan remaja, karena sekolah seharusnya menjadi tempat yang inklusif untuk semua siswa tanpa ada kesenjangan sosial.
ADVERTISEMENT
Pemerintah memiliki peran penting dalam mengurangi kesenjangan sosial yang dialami remaja SMA, khususnya di Jakarta, di mana perbedaan akses pendidikan antara daerah perkotaan dan pinggiran masih cukup nyata dan terlihat jelas. Melalui kebijakan seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Daerah, serta program pelatihan guru, pemerintah berupaya memberikan kesempatan belajar yang lebih merata bagi siswa dari berbagai latar belakang. Namun, pelaksanaan kebijakan tersebut masih menghadapi sejumlah kendala, seperti pendataan penerima yang kurang tepat, penyalahgunaan dana, serta distribusi fasilitas dan tenaga pengajar yang belum merata, sehingga hal tersebut menyulitkan para orangtua, karena masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup kekurangan dan benar benar membutuhkan fasilitas tersebut untuk anak mereka dapat bersekolah dan menempuh pendidikan yang baik. Selain itu, kesenjangan ini sering menimbulkan dampak psikologis pada siswa, seperti rasa minder dan tekanan mental, yang dapat memperkuat lingkaran kemiskinan. Menurut saya, pemerintah perlu lebih serius dalam memperbaiki mekanisme pengawasan serta memperluas jangkauan kebijakan agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh kelompok remaja yang paling rentan.
ADVERTISEMENT
Namun, para siswa juga mampu belajar untuk merubah pola pikir mereka agar dapat mengurangi kesenjangan sosial ini. Misalnya dengan membangun budaya saling menghargai, membuat kegiatan bersama yang tidak memandang status ekonomi, atau membentuk komunitas yang menekankan solidaritas dan kepedulian, karena kesenjangan sosial sendiri dalam lingkungan sekolah akan mempengaruhi pola pikir para siswa, sehingga siswa perlu menyadarkan diri dan membangun jiwa saling menghargai agar tidak terjadi adanya perbandingan diantara para siswa lagi. Membangun program dan memberikan siswa sebuah ajaran atau teguran dari siswa yang lain juga berpengaruh agar dapat merubah mindset siswa maupun siswi untuk paham akan kesatuan serta kesetaraan di kalangan setiap siswa. Siswa bisa mengadakan program berbagi buku, kelompok belajar bersama, atau lomba yang menonjolkan kreativitas daripada materi. Opini saya, jika para siswa mulai menumbuhkan empati dan kebersamaan, maka kesenjangan sosial bisa diperkecil sehingga sekolah benar-benar menjadi ruang dimana para siswa dapat tumbuh bersama tanpa melihat perbedaan antara satu dengan yang lain.
ADVERTISEMENT

